BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur merupakan
suatu patahan pada kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung ataupun tidak langsung. Akibat
dari suatu trauma pada tulang dapat bervariasi tergantung pada jenis, kekuatan
dan arahnya trauma. Patahan tadi mungkin tidak lebih dari suatu retakan, suatu
pengisutan atau perimpilan korteks, biasanya patahan itu lengkap dan fragmen
tulang bergeser. Kalau kulit diatasnya masih utuh, keadaan ini disebut fraktur
tertutup (fraktur sederhana), kalau kulit atau salah satu dari rongga tubuh
tertembus keadaan ini disebut fraktur terbuka (fraktur compound) yang cenderung
mengalami kontaminasi dan infeksi.
Tulang bersifat
relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat :
- Peristiwa trauma tunggal.
- Tekanan yang berulang-ulang.
- Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik).
Penampilan fraktur dapat
sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis fraktur dibagi beberapa
kelompok :
1. Fraktur lengkap
Tulang patah menjadi dua
fragmen atau lebih. Termasuk disini adalah fraktur kominutif yang merupakan
fraktur dengan lebih dari dua fragmen karena ikatan sambungan pada permukaan
fraktur tidak baik, fraktur ini sering tak stabil.
2. Fraktur tidak lengkap
Tulang terpisah secara tidak
lengkap dan periosteum tetap menyatu. Biasanya pada fraktur greenstick tulang
bengkok atau melengkung, ditemukan pada anak. Selain itu fraktur tidak lengkap
bisa terdapat pada fraktur kompresi.
Trauma langsung akibat
benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal dan kerusakan jaringan
lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan penghimpitan tulang akan
mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan kerusakan jaringan lunak
yang lebih luas. Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari
titik trauma dari jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada
olahragawan, penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula
atau metatarsal yang disebakan oleh karena trauma yang berulang.
BAB II
FRAKTUR TERBUKA
DEFINISI
Fraktur
terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luar
melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri, sehingga timbul komplikasi
berupa infeksi.
ETIOLOGI
Fraktur
terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang, 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya
fraktur :
1. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi
trauma yang mengenai tulang, arah dan kekuatan trauma.
2. instrisik meliputi kapasitas tulang
mengasorbsi energi trauma, kelenturan, kekuatan dan densitas tulang.
Setelah
fraktur lengkap, fragmen-fragmen biasanya bergeser. Sebagian oleh gaya berat
dan sebagian oleh tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran biasanya
disebut dengan aposisi, penjajaran (alignment), rotasi dan berubahnya panjang.
Semua
fraktur terbuka harus dianggap terkontaminasi, sehingga mempunyai potensi untuk
terjadi infeksi. Pada fraktur tulang dapat terjadi pergeseran fragmen-fragmen
tulang. Pergeseran fragmen bisa diakibatkan adanya keparahan cedera yang
terjadi, gaya berat, maupun tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran
fragmen fraktur akibat suatu trauma dapat berupa :
- Aposisi (pergeseran ke samping/ sideways, tumpang tindih dan berhimpitan/ overlapping, bertrubukan sehingga saling tancap/ impacted) : fragmen dapat bergeser ke samping, ke belakang atau ke depan dalam hubungannya dengan satu sama lain, sehingga permukaan fraktur kehilangan kontak. Fraktur biasanya akan menyatu sekalipun aposisi tidak sempurna, atau sekalipun ujung-ujung tulang terletak tidak berkontak sama sekali.
- Angulasi (kemiringan/ penyilangan antara kedua aksis fragmen fraktur) : fragmen dapat miring atau menyudut dalam hubungannya satu sama lain.
- Rotasi (pemuntiran fragmen fraktur terhadap sumbu panjang) : salah satu fragmen dapat berotasi pada poros longitudinal, tulang itu tampak lurus tetapi tungkai akhirnya mengalami deformitas rotasional.
- Panjang (pemanjangan atau pemendekan akibat distraction atau overlapping antara fragmen fraktur) : fragmen dapat tertarik dan terpisah atau dapat tumpang tindih, akibat spasme otot, menyebabkan pemendekan tulang.
Hubungan garis fraktur dengan energi trauma :
GARIS FRAKTUR
|
MEKANISME TRAUMA
|
ENERGI
|
Transversal, oblik, spiral (sedikit
bergeser/ masih ada kontak)
|
Angulasi/ memutar
|
Ringan
|
Butterfly, transversal (bergeser),
sedikit kominutif
|
Kombinasi
|
Sedang
|
Segmental kominutif (sangat bergeser)
|
Variasi
|
Berat
|
KALSIFIKASI
Kalsifikasi
fraktur terbuka paling sering digunakan menurut Gustillo dan Anderson (1976),
yang menilai fraktur terbuka berdasarkan mekanisme cedera, derajat kerusakan
jaringan lunak, konfigurasi fraktur dan derajat kontaminasi. Kalsifikasi
Gustillo ini membagi fraktur terbuka menjadi tipe I, II, dan III :
TIPE
|
BATASAN
|
I
|
Luka bersih dengan panjang luka < 1 cm
|
II
|
Panjang luka >1 cm tanpa kerusakan jaringan
lunak yang berat
|
III
|
Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas,
fraktur segmental terbuka, trauma amputasi, luka tembak dengan kecepatan
tinggi, fraktur terbuka di pertanian, fraktur yang perlu repair vaskulr dan
fraktur yang lebih dari 8 jam setelah kejadian.
|
Keterangan :
- Tipe I berupa luka kecil kurang dari 1 cm akibat tusukan fragmen fraktur dan bersih. Kerusakan jaringan lunak sedikit dan fraktur tidak kominutif. Biasanya luka tersebut akibat tusukan fragmen fraktur atau in-out.
- Tipe II terjadi jika luka lebih dari 1 cm tapi tidak banyak kerusakan jaringn lunak dan fraktur tidak kominutif.
- Tipe III dijumpai kerusakan hebat maupun kehilangan cukup luas pada kulit, jaringan lunak dan putus atau hancurnya struktur neurovaskuler dengan kontaminasi, juga termasuk fraktur segmental terbuka atau amputasi traumatik.
Kalsifikasi ini juga termasuk
trauma luka tembak dengan kecepatan tinggi atau
high velocity, fraktur terbuka di pertanian,
fraktur yang perlu repair vaskulr dan fraktur yang lebih dari 8 jam setelah
kejadian. Kemudian Gustillo membagi tipe III menjadi subtipe, yaitu tipe IIIA,
IIIB, dan IIIC :
TIPE
|
BATASAN
|
IIIA
|
Periostenum masih membungkus fragmen fraktur
dengan kerusakan jaringn lunak yang luas
|
IIIB
|
Kehilangan jaringn lunak yang luas, kontaminasi
berat, periostenal striping atau
terjadi bone expose
|
IIIC
|
Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat kerusakan
jaringn lunak
|
Keterangan :
- Tipe IIIA terjadi apabila fragmen fraktur masih dibungkus oleh jaringan lunak, walaupun adanya kerusakan jaringan lunak yang luas dan berat.
- Tipe IIIB terjadi pada fragmen fraktur tidak dibungkus oleh jaringn lunak, sehingga tulang terlihat jelas atau bone expose, terdapat pelepasan periosteum, fraktur kominutif. Biasanya disertai kontaminasi masif dan merupakan trauma high energy tanpa memandang luas luka.
- Tipe IIIC terdapat trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar kehidupan bagian distal dapat dipertahankan tanpa memandang derajat kerusakan jaringan lunak.
DIAGNOSIS
Diagnosis
fraktur terbuka dapat ditegakkan dengan riwayat penderita, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan radiologis.
Riwayat
Faktor
trauma kecepatan rendah atau taruma kecepatan tinggi sangat penting dalam
menentukan klasifikasi fraktur terbuka karena akan berdampak pada kerusakan
jaringan itu sendiri. Riwayat trauma kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat
ketinggian, luka tembak dengan kecepatan tinggi atau pukulan langsung oleh
benda berat akan mengakibatkan prognosis jelek dibanding trauma sederhana atau
trauma olah raga. Penting adanya deskripsi yang jelas mengenai keluhan
penderita, biomekanisme trauma, likasi dan derajat nyeri. Umur dan kondisi
penderita sebelum kejadian seperti penyakit hipertensi, diabetes melitus dan
sebagainya merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan juga. Kalau fraktur
terjadi akibat cedera ringan, curigailah lesi patologi. Nyeri, memar, dan
pembengkakan adalah gejala yang sering ditemukan, tetapi gejala itu tidak
membedakan fraktur dari cedera jaringan lunak. Deformitas jauh lebih mendukung.
Selalu
tanyakan mengenai gejala-gejala cedera yang berkaitan, seperti baal atau
hilangnya gerakan, kulit yang pucat/ sianosis, darah dalam urin, nyeri perut,
hilangnya kesadaran untuk sementara. Tanyakan juga tentang cedera sebelumnya.
Pemeriksaan fisik
Jaringan
yang mengalami cedera juga harus ditangani dengan hati-hati. Untuk menimbulkan
krepitus atau gerakan yang abnormal tidak perlu menimbulkan nyeri, diagnosis
dengan foto rontgen lebih dapat diandalkan. Namun butir-butir pemeriksaan
klinik yang biasa harus selalu dipertimbangkan, kalau tidak kerusakan pada
arteri dan saraf dapat terlewatkan. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah
identisifikasi luka secara jelas dan gangguan neurovaskular bagian distal dan
lesi tersebut. Pulsasi arteri bagian distal penderita hipotensi akan melemah
dan dapat menghilangkan sehingga dapat terjadi kesalahan penilaian vaskular
tersebut.bila disertai trauma kepala dan tulang belakang maka akan terjadi
kelainan sensasi nervus perifer di distal lesi tersebut. Pemeriksaan kulit seperti kontaminasi dan
tanda-tanda lain perlu dicatat.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah :
- Look (inspeksi)
Pembengkakan, memar, dan
deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting adalah apakah kulit
itu utuh atau tidak. Kalau
kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera itu terbuka (compound).
- Feel (palpasi)
Terdapat nyeri tekan setempat,
tetapi perlu juga memeriksa bagian distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan
untuk menguji sensasi. Cedera pembuluh darah adalah keadaad darurat yang
memerulkan pembedahan.
- Movement (gerakan)
Krepitus dan gerakan abnormal
dapat ditemukan, tetapi lebih pnting untuk menanyakan apakah pasien dapat
menggerakkan sendi-sendi di bagian distal dari cedera.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan
radiologis bertujuan untuk menentukan keparahan kerusakan tulang dan jaringn lunak
yang berhubungn dengan derajat energi dari trauma itu sendiri. Bayangan udara
di jaringan lunak merupakan petunjuk dalam melakukan pembersihan luka atau
irigasi dalam melakukan debridement. Bila bayangan udara tersebut tidak
berhubungandengan daerah fraktur maka dapat ditentukan bahwa fraktur tersebut
adalah fraktur tertutup. Radiografi dapat terlihat bayangan benda asing
disekitar lesi sehingga dapat diketahui derajat keparahan kontaminasi disamping
melihat kondisi fraktur atau tipe fraktur itu sendiri. Diagnosis fraktur dengan
tanda-tanda klasik dapat ditegakkan secara klinis, namun pemeriksaan radiologis
tetap diperlukan untuk konfirmasi untuk melengkapi deskripsi fraktur, kritik
medikolegal, rencana terapi dan dasar untuk tindakan selanjutnya. Sedangkan
untuk fraktur-fraktur yang tidak memberikan gejala kalsik dalam menentukan
diagnosa harus dibantu pemeriksaan radiologis sebagai gold standart.
Untuk menghindari kesalahan maka dikenal formulasi
hukum dua, yaitu ;
- Dua pandangan
Fraktur atau dislikasi mungkin
tidak terlihat pada film rontgentunggal, dan sekurang-kurangnya harus dilakukan
dua sudut pandang (anteroposterior dan lateral).
- Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki,
satu tulang dapat mengalami fraktur dan angulasi. Tetapi, angulasi tidak
mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi
mengalami dislokasi. Sendi-sendi di atas dan di bawah fraktur keduanya harus
disertakan pada foto rontgen.
- Dua tungkai
Pada rontgen tulang anak-anak
epifisis yang normal dapat mengacaukan diagnosis fraktur. Foto pada tungkai
yang tidak cedera akan bermanfaat.
- Dua cedera
Kekuatan yang hebat sering
menyebabkan cedera pada lebih dari satu tingkat. Karena itu, bila ada fraktur
pada kalkaneus atau femur, perlu juga diambil foto rontgen pada pelvis dan
tulang belakang.
- Dua kesempatan
Segera setelah cedera, suatu
fraktur (skafoid karpal) mungkin sulit dilihat. Kalau ragu-ragu, sebagai akibat
resorpsi tulang, pemeriksaanlebih jauh 10-14 hari kemudian dapat memudahkan
diagnosis.
Pencitraan khusus
Kadang-kadang fraktur atau keseluruhan fraktur tidak nyata pada
foto rontgen biasa. Tomografi mungkin berguna untuk lesi spinal atau fraktur
kondilus tibia. CT atau MRI mungkin merupakan satu-satunya cara untuk
menunjukkan apakah fraktur vertebra mengancam akan menekan medula spinalis,
sesungguhnya potret transeksional sangat penting untuk visualisasi fraktur
secara tepat pada tempat yang sukar misalnya kalkaneus atau asetabulum, dan
potret rekonstruksi tiga dimensi bahkan lebih baik. Scanning radioisotop berguna
untuk mendiagnosis fraktur tekanan yang dicurigai atau fraktur tidak bergeser yang
lain.
PENATALAKSANAAN
Banyak
pasien dengan fraktur terbuka mengalami cedera ganda dan syok hebat. Bagi
mereka, terapi yang tepat di tempat kecelakaan sangat penting. Luka harus
ditutup dengan pembalut steril atau bahan yang bersih dan dibiarkan tidak
terganggu hingga pasien mencapai bagian rawat kecelakaan.
Di
Rumah Sakit, penilaian umum yang cepat merupakan langkah yang pertama, dan
setiap keadaan yang membahayakan jiwa dapat diatasi. Luka kemudian diperiksa,
idealnya dipotret dengan kamera polaroid. Setelah itu dapat ditutup lagi dan
dibiarkan tidak terganggu hingga pasien berada di kamar bedah. Empat pertanyaan
yang perlu dijawab :
- Bagaimana sifat luka tersebut.
- Bagaimana keadaan kulit di sekitar luka.
- Apakah sirkulasi cukup baik.
- Apakah saraf utuh.
Semua fraktur terbuka, tidak
peduli seberapa ringannya, harus dianggap terkontaminasi, penting untuk mencoba
mencegahnya infeksi. Untuk tujuan ini, perlu diperhatikan empat hal yang
penting :
- Pembalutan luka dengan segera.
- Profilaksis antibiotika.
- Debridement luka secara dini.
- Stabilisasi fraktur.
Penanganan fraktur terbuka
Pada
kasus fraktur terbuka diperlukan ketepatan dan kecepatan diagnosis pada
penanganan agar komplikasi terhindar dari kematian atau kecacatan.
Penatalaksanaan fraktur terbuka derajat III meliputi tindakan life saving dan life limb dengan resusitasi sesuai dengan indikasi, pembersihan
luka dengan irigasi, eksisi jaringan mati dan debridement, pemberian antibiotik
(sebelum, selama, dan sesudah operasi), pemberian anti tetanus, penutupan luka,
stabilisasi fraktur dan fisioterapi. Tindakan definitif dihindari pada hari
ketiga atau keempat karena jaringan masih inflamasi/ infeksi dan sebaiknya
ditunda sampai 7-10 hari, kecuali dapat dikerjakan sebelum 6-8 jam pasca
trauma.
Prinsip
penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum adalah sebagai berikut :
1. Pertolongan pertama
Secara umum adalah untuk
mengurangi atau menghilangkan nyeri dan mencegah gerakan-gerakan fragmen yang
dapat merusak jaringan sekitarnya. Stabilisasi fraktur bisa menggunakan splint
atau bandage yang mudah dikerjakan dan efektif. Luka ditutup dengan material
yang bersih dan steril.
2. Resusitasi
Penatalaksanaan sesuai dengan
ATLS (Advance Trauma Life Support) dengan memberikan penanganan sesuai
prioritas (resusitasi), bersamaan itu pula dikerjakan penanganan fraktur
terbuka agar terhindar dari komplikasi. Kehilangn banyak darah pada frkatur
terbuka derajat III dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan dapat diperberat
oleh rasa nyeri yang dapat menyebabkan syok neurogenik. Tindakan resusitasi
dilakukan dilakukan bila ditemukan tanda syok hipovolemik, gangguan nafas atau
denyut jantung karena fraktur terbukaseringkali bersamaan dengan cedera organ
lain. Penderita diberikan resusitasi cairan Ringer Laktat atau transfusi darah
dan pemberian analgetik selama tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan radiologis
dilakukan setelah pasien stabil.
3. Penilaian awal
Pemeriksaan yang teliti dan
hati-hati merupakan dasar dalam observasi dan penanganan awal yang memadai.
Fakta-fakta pada pemeriksaan harus direkam dengan baik termasuk trauma pada
daerah atau organ lain dan komplikasi akibat fraktur itu sendiri.
4. Terapi antibiotik dan anti tetanus serum
(ATS)
Pemberian antibiotik sebaiknya
diberikan segera mungkin setelah terjadinya trauma. Antibiotik adalah yang
berspektrum luas, yaitu sefalosporin generasi I (cefazolin 1-2 gram) dan
dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin 1-2 mg/kgBB tiap 8 jam) selama
5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan setiap hari dengan memperhatikan
sterilitas, dan pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur dan
sensitifitas terbaru. Bila dalamperawatan ditemukan gejala dan tanda infeksi,
maka dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitifitas ulang untuk penyesuaian
ualng pemberian antibiotik yang digunakan. Pemberian anti tetanus diindikasikan
pada fraktur kruris terbuka derajat III berhubungan dengan kondisi luka yang
dalam, luka yang terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta
luka dengan kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah mendapat
imunisasi anti tetanus dapat diberikan gemaglobulin anti tetanus manusia dengan
dosis 250 unit pada penderita diatas usia 10 tahun dan dewasa, 125 unit pada usia
5-10 tahun dan 75 unit pada anak dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum
anti tetanus dari binatang dengan dosis 1500 unit dengan tes subkutan0,1 selama
30 menit. Jika telah mendapat imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya
diberikan 1 dosis boster 0,5 ml secara intramuskular.
5. Debridement
Operasi bertujuan untuk
membersihkan luka dari benda asing dan jaringan mati, memberikan persediaan
darah yang baik di seluruh bagian itu. Dalam anestesi umum, pakaian pasien
dilepas, sementara itu asisten mempertahankan traksi pada tungkai yang
mengalami cedera dan menahannya agar tetap ditempat. Pembalut yang sebelumnya
digunakan pada luka diganti dengan bantalan yang steril dan kulit di
sekelilingnya dibersihkan dan dicukur. Kemudian bantalan tersebut diangkat dan
luka diirigasi seluruhnya dengan sejumlah besar garam fisiologis. Irigasi akhir
dapat disertai obat antibiotika, misalnya basitrasin. Turniket tidak digunakan
karena akan lebih jauh membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan
struktur yang mati. Jaringan itu kemudian ditangani sebagai berikut :
·
Kulit
Hanya sesedikit mungkin kulit
dieksisi dari tepi luka, pertahankan sebanyak mungkin kulit. Luka perlu
diperluas dengan insisi yang terencana untuk memperoleh daerah terbuka yang
memadai. Setelah diperbesar,
pembalut dan bahan asing lain dapat dilepas.
·
Fasia
Fasia dibelah secara meluas
sehingga sirkulasi tidak terhalang.
·
Otot
Otot yang mati berbahaya, ini
merupakan makanan bagi bakteri. Otot yang mati ini biasanya dapat dikenal
melalui perubahan warna yang keungu-unguannya, konsistensinya yang buruk, tidak
dapat berkontraksi bila dirangsang dan tidak berdarah. Semua otot mati dan yang kemampuan hidupnya
meragukan perlu dieksisi.
·
Pembuluh
darah
Pembuluh darah yang banyak
mengalami perdarahan diikat dengan cermat, tetapi untuk meminimalkan jumlah
benang yang tertinggal dalam luka, pembuluh darah yang kecil dijepit dengan
gunting tang arteri dan dipilin.
·
Saraf
Saraf yang terpotong biasanya
terbaik dibiarkan saja. Tetapi, bila luka itu bersih dan ujung-ujung saraf
tidak terdiseksi, selubung saraf dijahit dengan bahan yang tidak dapat diserap
untuk memudahkan pengenalan di kemudian hari.
·
Tendon
Biasanya, tendon yang
terpotong juga dibiarkan saja. Seperti halnya saraf, penjahitan diperbolehkan
hanya jika luka itu bersih dan diseksi tidak perlu dilakukan.
·
Tulang
Permukaan fraktur dibersihkan
secara perlahan dan ditempatkan kembali pada posisi yang benar. Tulang, seperti
kulit, harus diselamatkan dan fragmen baru boleh dibuang bila kecil dan lepas
sama sekali.
·
Sendi
Cedera sendi terbuka terbaik
diterapi dengan pembersihan luka, penutupan sinovium dan kapsul, dan antibiotik
sistemik : drainase atau irigasi sedotan hanya digunakan kalau terjadi
kontaminasi hebat.
Debridement
dapat juga dilakukan dengan :
·
Pembersihan
luka
Pembersihan luka dilakukan
dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis secara mekanis untuk
mengeluarkan benda asing yang melekat.
·
Eksisi
jaringan yang mati dan tersangka mati (debridement)
Semua jaringan yang kehilangan
vaskularisasinya merupakan daerah tempat pembenihan bakteri sehingga diperlukan
eksisi secara operasi pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan
fragmen-fragmen yang lepas.
·
Pengobatan
fraktur itu sendiri
Fraktur dengan luka yang hebat
memerlukan suatu traksi skeletal atau reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna
tulang. Fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.
·
Penutupan
kulit
Apabila fraktur terbuka
diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari terjadinya kecelakaan),
maka sebaiknya kulit ditutup. Hal ini tidak dilakukan apabila penutupan membuat
kulit sangat tegang. Dapat dilakukan split thickness skin-graft serta
pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum pada luka
yang dalam. Luka dapat dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih
dari 10 hari. Kulit dapat ditutup kembali disebut delayed primary closure. Yang
perlu mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang
mengakibatkan sehingga kulit menjadi tegang.
·
Pemberian
antibiotik
Pemberian antibiotik bertujuan
untuk mencegah infeksi. Antibiotik diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum,
pada saat dan seudah tindakan operasi.
·
Pencegahan
tetanus
Semua penderita dengan fraktur
terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat
imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi bagi yang belum, dapat
diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia).
6. Penanganan jaringan lunak
Pada kehilangan jaringan lunak
yang luas dapat dilakukan soft tissue tranplantation atau falap pada tindakan
berikutnya, sedangkan tulang yang hilang dapat dilakukan bone grafting setelah
pengobatan infeksi berhasil baik.
7. Penutupan luka
Pada luka yang kecil dan tidak
banyak kontaminasi setelah dilakukan debridement dan irigasi dapat langsung
dilakukan penutupan secara primer tanpa tegangan. Pada luka yang luas dan
dicurigai kontaminasi yang berat sebaiknya dirawat secara terbuka, luka dibalut
kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap hari. Setelah 5 – 7 hari dan luka
bebas dan infeksi dapat dilakukan penutupan kulit secara sekunder atau melalui
tandur kulit. Pada anak sebaiknya dihindari perawatan terbuka untuk menghindari
terjadi khondrolisis yaitu kerusakan epiphyseal plate akibat infeksi.
Penyambungan tulang pada anak relatif lebih cepat, maka reposisi dan fiksasi
dikerjakan secepatnya untuk mencegahnya deformitas.
8. Stabilitas fraktur
Dalam melakukan stabilitas
fraktur awal penggunaangips sebagai temporary splinting dianjurkan sampai
dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian bisa dilanjutkan dengan
pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam dengan plate and screw,
intermedullary nail atau external fixator devices sebagai terapi stabilisasi
definitif. Pemasangan fiksasi dalam dapat dipasang setelah luka jaringan luka
baik dan diyakini tidak ada infeksi lagi. Penggunaan fiksasi luar (external
fixation devices) pada fraktur terbuka derajat III adalah salah satu pilihan
untuk memfiksasi fragmen-fragmen fraktur tersebut dan untuk mempermudah
perawatan luka harian.
Imobilisasi Gips (Plaster
of Paris)
Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen
fraktur tidak bergeser setelah dilakukan manipulasi / reposisi atau
sebagai pertolongan yang bersifat sementara agar tercapai imobilisasi dan
mencegah fragmen fraktur tidak merusak jaringan lunak disekitarnya. Keuntungan
lain dari penggunaan gips adalah murah dan mudah digunakan oleh setiap dokter,
non toksik, mudah digunakan, dapat dicetak sesuai bentuk anggota
gerak, bersifat radiolusen dan menjadi terapi konservatif pilihan. Pada
fraktur terbuka derajat III, dimana terjadi kerusakan jaringan lunak yang hebat
dan luka terkontaminasi, penggunaan
gips untuk stabilisasi fraktur cukup beralasan
untuk mempermudah perawatan luka. Setelah luka baik dan bebas infeksi
penggunaan gips untuk fiksasi fraktur dapat dilanjutkan untuk menunjang secondary bone healing dengan
pembentukan kalus.
Pemasangan fiksasi
Pemasangan fiksasi dalam
sering menjadi pilihan terapi yang paling diperlukan dalam stabilisasi fraktur
pada umumnya termasuk fraktur kruris terbuka derajat III. Pilihan metode yang
dipergunakan untuk fiksasi dalam ada beberapa macam, yaitu:
1.
Pemasangan plate and screws
Pemasangan fiksasi dalam pada
fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terjadi komplikasi infeksi, non-union
dan refraktur. Pada penelitian awalnya pemasangan plat pada fraktur terbuka
diketahui telah memperbaiki fraktur dengan penyambungan kortek langsung tanpa
pembentukan kalus. Osteosit langsung menyeberangi gap antar fragmen fraktur.
Tapi pada kenyataannya terjadi osteogenesis meduler dan sedikit pembentukan
kalus periosteum. Pada penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada pemasangan
plat itu sendiri telah mengganggu vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat yang
berakibat gangguan aliran darah yang menyebabkan nonunion. Mengatasi
permasalahan ini para pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan antara lain
LCDCP (limited contact dynamic compression plate) dan ada yang membuat inovasi
baru dengan merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup
yang banyak sehingga terjadi pembentukan kalus (Matter, 1997 cit. Trafton, 2000
). Pemasangan plat perlu hati-hati dalam melakukan irisan jaringan lunak
agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot karena dapat
mengakibatkan non-union. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami kesulitan
dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial. Untuk
pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan dengan pemasangan plat dibawah
kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang dengan bantuan alat fluoroskopi.
2. Pemasangan
screws or wires
Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang
menghasilkan fraktur yang stabil. Pemasangan screw banyak digunakan dalam
fiksasi fraktuur intraartikuler dan periartikuler, baik digunakan secara
tunggal atau kombinasi bersamaan dengan pemasangan plat atau external fixation
device. (Behrens, 1996).
Pemasangan intramedullary
nails/rods
Pada pemasangan reamed
intramedullary nails dapat menyebabkan ujung-ujung fragmen fraktur diafisis
mengalami robekan periosteum kehilangan blood supply sehingga meningkatkan
kejadian infeksi dan non-union. Beberapa penelitian awal menyimpulkan bahwa
penggunaan undreamed intramedullary nails pada fraktur tibia terbuka cukup aman
terhadap vaskularisasi intrameduler dan direkomendasikan untuk stabilisasi
fraktur terbuka derajat I,II dan III A, sedangkan untuk derajat IIIB dan IIIC
sementara disarankan dengan traksi atau fiksasi luar. Secondary nailing
dilaksanakan setelah fiksasi luar dengan syarat tidak ada tanda infeksi local
maupun pin tract infection.
3.
Pemasangan external fixation
devices
Akhir-akhir ini pakar lebih
tertarik pemasangan fiksasi luar daripada pemasangan plat. Menurut Van der
Linden dan Larson (1979) pada penelitian pemasangan plat disbanding konservatif
ternyata angka infeksi lebih tinggi pada pemasangan plat seperti infeksi
superfisial, nekross kulit dan osteomielitis. Kejadian infeksi pada pemasangan
plat akan memerulkan operasi berulang kali. Sedangkan Clifford et al.( 1988)
menyarankan pemasangan plat dilaksanakan untuk stabilisasi fraktur terbuka
derajat I dan derajat II dan fraktur avulse. Menurut Bach dan Hansen (1989)
yang membandingkan pemasangan plat dengan fiksasi luar pada fraktur kruris
terbuka menyimpulkan bahwa pemasangan plat kurang ideal pada fraktur
terbuka derajat II dan III. ( cit. Court-Brown et al., 1996). Penggunaan
fiksasi luar yang pernah sangat popular di Eropa dan Amerika mempunyai resiko
terjadinya komplikasi pada tempat masuknya pin (pin tract infection) sebesar
20-42 %, dan resiko terjadi malunion sebagai akibat reduksi yang kurang memadai
dan akibat pelepasan fiksasi yang terlalu awal setelah lama pemasangan. Pda
fraktur diafisis tibia, pemasangan fiksasi luar dengan unilateral frame
external fixator merupakan indikasi, tetapi pada fraktur yang tibia proksimal
atau lebih distal penggunaan multiplanar external fixator yang lebih cepat.
(Court-Brown et al., 1996).
KOMPLIKASI FRAKTUR TERBUKA
Komplikasi umum
Syok,
koagulasi difus dan gangguan fungsi pernafasan terjadi selama 24 jam pertama
setelah cedera. Juga terdapat reaksi metabolic lambat terhadap cedera yang
terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah cedera, ini mencangkup
peningkatan katabolisme dan membutuhkan dukungan gizi.
·
Sindroma peremukan (Crush syndrome)
Sindroma peremukan
dapat terjadi kalau sejumlah besar massa
otot remuk, seperti tukang batu yang terjatuh, atau kalau suatu turniket
dibiarkan terlalu lama. Bila kompresi dilepaskan, asam miohematin (sitokrom C),
akibat pemecahan otot, dibawa oleh darah ke ginjal dan menyumbat tubulus.
Penjelasan lainnya adalah terjadinya spasme arteria renalis dan sel tubulus
yang anoksia mengalami nekrosis.
Syok hebat, tungkai
yang dilepaskan tidak memiliki nadi dan kemudian menjadi merah, bengkak dan
melepuh, sensasi dan tenaga otot dapat hilang. Sekresi ginjal berkurang dan terjadi uremia
keluaran rendah dengan asidosis. Kalau sekresi ginjal pulih dalam seminggu,
pasien dapat bertahan. Sebagian besar pasien, kecuali kalau diterapi dengan
dialysis ginjal, menjadi semakin mengantuk dan mati dalam 14 hari.
Untuk
menghindari bencana, tungkai yang remuk hebat dan belum ditangani selama
beberapa jam harus diamputasi. Karena itu, kalau turniket dibiarkan selama
lebih dari 6 jam tungkai harus dikorbankan. Amputasi dilakukan di sebelah atas
tempat penekanan dan sebelum tekanan dilepaskan.
Setelah
gaya tekan lenyap, amputasi tidak ada manfaatnya. Tungkai harus tetap dingin
dan syok pasien diterapi. Kalau terjadi oliguria, asupan cairan dan protein
dikurangi, karbohidrat diberikan (melalui mulut atau vena besar), katabolisme
protein dikurangi (dengan pemberian neomisin dan steroid anabolik) dan
keseimbangan elektrolit serum dipertahankan. Dialisis
ginjal harus dimulai.
·
Trombosis vena dan emboli paru-paru
Trombosis vena
dalam (DVT = deep venous thrombosis) adalah komplikasi yang paling sering
ditemukan pada cedera dan operasi. Insiden yang sebenarnya tidak diketahui tetapi mungkin lebih besar dari 30
% (Hedges dan Kakkar, 1988). Trombosis paling sering terjadi dalam vena-vena di
btis, dan jarang dalam vena-vena proksimal dip aha dan pelvis. Thrombosis
terutama berasal dari tempat yang terakhir itu dan fragmen bekunya dibawa ke
paru-paru. Insiden emboli paru-paru setelah operasi ortopedik besar sekitar 5%
dan insiden emboli fatal sekitar 0,5%.
Penyebab
utama DVT pada pasien pembedahan adalah hipokoagulabilitas darah, terutama
akibat aktivitas factor X oleh tromboplastin yang dilepas oleh jaringan rusak.
Sekali trombosis telah terjadi, factor-faktor sekunder menjadi penting, stasis
dapat diakibatkan oleh turniket atau pembalut yang ketat, tekanan terhadap meja
bedah dan kasur, dan imobilitas yang lama, kerusakan endotel dan peningkatan
jumlah dan kelengketan trombosit dapat diakibatkan oleh cedera atau operasi.
Pasien
yang terbanyak menghadapi DVT adalah orang tua, pasien dengan penyakit
kardiovaskular, pasien yang tertahan di tempat tidur setelah cedera dan pasien
yang mengalami artroplasti pinggul (dimana pelebaran reaming pada tulang dan
terlalu banyak manipulasi pada tungkai dapat merupakan factor predisposisi
tambahan).
GAMBARAN KLINIK DVT
Pada
dasarnya, DVT adalah suatu penyakit yang tersamar yang gejalanya lebih sering
samar daripada nyata. Pasien yang mengalami gejala yang sebenarnya sudah
terserang DVT selama beberapa hari (Ruckle, 1986).
Mungkin
terdapat nyeri pada betis atau paha, tetapi setelah cedera atau operasi, bahkan
mereka yang tidak mengeluh harus diperiksa secara teratur untuk mencari ada tidaknya pembengkakan, nyeri pada
jaringan lunak dan sedikit peningkatan suhu dan kecepatan nadi yang muncul
tiba-tiba. Secara khas, pada trombosis betis terdapat peningkatan nyeri pada
dorsiflesi kaki (tanda Homans).
Diagnosis
dan juga tempat trombosis yang tepat, dapat ditetapkan dengan venografi
asendens yang harus dilakukan secara bilateral. Diantara metode non-infansif,
scanning altrasonik mode B sangat akurat untuk mendeteksi DVT proksimal,
peristiwa pendahulu yang paling bermakna untuk emboli paru-paru. Metode
detteksi yang kurang dipercaya adalah pengukuran ambilan fibrinogen berlabel
iodine radioaktif dalam bekuan atau penggunaan teknik Doppler untuk mengukur
aliran darah.
Embolisme
paru-paru, yang hamper selalu berasal dari pelvis atau paha dan bukannya betis,
sulit didiagnosis secara meyakinkan. Hanya sedikit pasien yang mempunyai
tanda-tanda, misalnya nyeri dada, sesak nafas atau hemoptisis. Pasien
kadang-kadang terserang nyeri dada mendadak, berubah pucat dan mati. Semua
pasien DVT harus diperiksa untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda konsolidasi
paru-paru. Pada kasus yang mencurigakan, sinar X pada dada, sintigrafi paru-paru
dan angiografi paru-paru mungkin diperlukan untuk menentukan diagnosis.
Edema
tungkai bawah yang kronis dan ulkus kaki (sindroma pasca flebitis) terjadi pada
hamper semua pasien dengan thrombosis iliofemoral dan pada 10% pasien dengan
thrombosis betis.
PENCEGAHAN
Resiko
DVT dan emboli paru-paru dapat banyak dikurangi dengan terapi profilaksis.
Tindakan fisik yang sederhana antara lain adalah peninggian kaki tempat tidur,
penggunaan kaus kaki elastic atau kaus kaki pembagi tekanan, dan terutama sekali
penggalakkan latihan dan menyuruh pasien beranjak dari tempat tidur dan
berjalan sesegera mungkin. Tindakan ini lebih efektif bila dikombinasikan
dengan terpai antikoagulan, yang sekarang biasanya dianjurkan kepada pasien
yang diketahui resiko tinggi. Regimen yang biasa adalah heparin subkutan dosis
rendah, 5000 unit sebelum operasi dan krmudian tiga kali sehari pasca bedah
hingga pasien dapat bergerak. Sayangnya, cara ini membawa resiko meningkatnya
perdarahan setelah operasi dan ini merupakan kontraindikasi pada orang lanjut
usia. Akhir-akhir ini, diperkenalkan heparin berbobot molekul rendah, ini sama
efektifnya dengan heparin yang tidak difraksionisasi untuk mencegah DVT tetapi
katanya tidak begitu berpotensi menyebabkan perdarahan. Selain itu, pengaruh
utamanya adalah para trombosis vena proksimal, penyebab utama emboli paru-paru.
TERAPI
DVT
local dala betis dapat diterapi hanya dengan memasang kaus kaki elastic dan
memberikan heparin subkutan dosis rendah (5000 unit tiga kali sehari) hingga
pasien dapat bergerak sepenuhnya. DVT dan pasti thrombosis vena paha atau
pelvis, atau emboli paru-paru yang telah pasti, harus diterapi sesegera dengan
istirahat di tempat tidur, penggunaan kaus kaki elastic dan antikoagulasi
penuh. Kecenderungan perdarahan dan ulkus peptikum merupakan konttraindikasi.
Heparin
diberikan secara intravena, dalam dosis tetap sebesar 10.000 unit setiap 6 jam,
dengan protamin sebagi antidote bila terjadi perdarahan, atau sebaiknya dalam
berbagai dosis yang diatur untuk mempertahankan aktivitas tromboplastin
sebagaian pada 1,5-2,0 kali nilai normal. Ini dilanjutkan selama 5-7 hari.
Selama 2 hari terakhir periode ini, diberikan wafarin secara oral dan heparin
dihentikan. Dosis harian wafarin diatur untuk mempertahankan waktu protombin sekitar
dua kali dari normal, terapi dilanjutkan kira-kira selama 3 bulan.
Embolisme paru-paru yang akut
dan berat membutuhkan resusitasi kardiorespiratori, vasopresor untuk syok,
oksigen dan heparin dosis besar (15.000 unit). Streptokinase digunakan bekuan
dan untuk mencegah pembekuan selanjutnya. Antibiotika dapat diberikan untuk
mencegah infeksi paru-paru.
·
Tetanus
Organism
tetanus hanya berkembang dalam jaringan mati. Organism ini menghasilkan
eksotosin yang menuju susunan saraf pusat lewat darah dan saluran getah bening
perineural dari derah yang terinfeksi. Toksin terkait dalam sel tanduk anterior
sehingga tidak dapat dinetralkan oleh antitoksin.
Tetanus
ditandai oleh kontraksi tonik, dan belakangan klonik, terutama pada otot rahang
dan muka (trismus, risus sardonicus), otot dekat luka itu sendiri, dan kemudian
pada leher dan badan. Pada akhirnya, diafragma dan otot interkostal dapat
kejang dan pasien mati karena asfiksia.
PROFILAKSIS
Imunisasi
aktif pada seluruh masyarakat dengan toksoid tetanus hamper mencapai ideal.
Bagi pasien yang sudah diimunisasi, dosis booster toksoid diberikan walaupun
luka terseburt kecil. Pada pasien yang belum diimunisasi, pembersihan luka yang
cepat dan menyeluruh disertai antibiotic mungkin memadai, tetapi kalau luka terkontaminasi
dan terutama kalau operasi tertunda, sebaiknya diberikan antitoksin. Serum kuda
banyak membawa resiko anafilaksis, dan harus digunakan antitoksin manusia
(immunoglobulin tetanus). Kesempatan
ini juga digunakan untuk memulai imunisasi aktif dengan toksoid.
TERAPI
Bila
tetanus telah terjadi, sebaiknya diberikan antitoksin intravena (antitoksin
manusia sebagai pllihan). Sedasi
yang berat dan obat relaksan otot dapat membantu. Intubasi trakea dan
pernafasan terkendali digunakan untuk pasien dengan kesulitan bernafas dan
menelan.
·
Gas gangren
Keadaan yang mengerikan ini ditimbulkan oleh infeksi
klostrodium (terutama C welchii). Organisme anaerob ini dapat hidup dan
berkembang biak hanya dalam jaringan dengan tekanan oksigen yang rendah, karena
itu tempat utama infeksinya adalah luka yang koto dengan otot yang mati yang
telah ditutup tanpa debridement yang memadai. Toksin yang dihasilkan oleh
organisme ini menghancurkan dinding sel dan dengan cepat mengakibatkan nekrosis
jaringan, sehingga memudahkan penyebaran penyakit itu.
Gambaran klinik timbul dalam 24 jam setelah cedera,
pasien mengeluh nyeri hebat dan terdapat pembengkakan di sekitar luka dan
secret yang kecoklatan dapat ditemukan. Pembentukan gas biasanya tidak sangat
nyata. Terdapat sedikit atau tidak ada demam, tetapi denyut nadi meningkat dan
bau yang khas menjadi jelas. Dengan cepat pasien akan mengalami toksemia dan
dapat terjadi koma dan kematian.
Gas gangren, yang ditandai dengan mionekrosis perlu
dibedakan dari selulitis anaerob, dimana banyak pembentukan gas yang dangkal
tetapi toksemia biasanya ringan. Kegagalan mengenai perbedaan itu dapat
mengakibatkan amputasi yang tidak perlu untuk selulitis yang tidak mematikan.
PENCEGAHAN
Luka
yang menembus dalam-dalam pada jaringan otot berbahaya. Luka itu harus
dieksplorasi, semua jaringan yang mati harus dieksisi dan kalau terdapat
sedikit keraguan mengenai kelangsungan hidup jaringan, luka harus dibiarkan
terbuka. Celakanya, tidak ada antitoksinyang efektif untuk C wellchii.
TERAPI
Diagnosis
dini adalah kunci terapi untuk menyelamatkan jiwa. Upaya umum, misalnya
penggantian cairan dan pemberian antibiotika intravena dimulai segera. Oksigen
hiperbatik telah digunakan sebagai cara untuk membatasi penyebaran gangrene.
Tetapi cara utama terapi adalah dekompresi luka dengan segera dan pembuangan
semua jaringan yang mati. Pada kasus yang parah,
amputasi mungkin diperlukan.
·
Emboli lemak
Adanya gumpalan lemak yang diameternya lebih besar
daripada 10 mikrometer dalam sirkulasi, dan sedikit tanda-tanda histologist
dari emboli lemak pada paru-paru, terjadi pada sebagian besar orang dewasa
setelah fraktur tertutup pada tulang panjang. Untungnya hanya sejumlah kecil
pasien yang mengalami sindroma emboli lemak, yang sekarang dianggap sebagai
bagian dari gangguan fungsi pernafasan pasca trauma.
Sumber emboli lemak kemungkinan adalah sumber tulang dan
keadaan ini sering ditemukan pada pasien dengan fraktur multiple yang tertutup.
Tetapi, emboli lemak telah dilaporkan pada berbagai jenis kelainan yang bukan
merupakan cedera kerangka (misalnya luka bakar, infark ginjal dan operasi
kardiopulmoner). Patogenesisnya
masih diperdebatkan.
GAMBARAN KLINIK
Pasien
yang mengalami gejala biasanya orang dewasa muda dengan fraktur tungkai bawah.
Tanda-tanda peringatan dini (dalam 72 jam dalam cedera) adalah sedikit kenaikan
suhu dan denyut nadi. Pada kasus yang lebih berat terdapat sesak nafas dan
sedikit kekacauan mental atau kegelisahan. Petekie harus dicari pada bagian
depan dan belakang dada dan llipatan konjungtiva. Pada kasus yang paling berat
mungkin terdapat gangguan pernafasan yang jelas dan koma sebagi akibat hipoksia
dan sebagian akibat emboli otak. Tanda-tanda pada stadium ini terutama berupa
sindroma gangguan pernafasan pada orang dewasa. Sesungguhnya, emboli lemak merupakan
salah satu dari factor predisposisi utama terjadinya ARDS (Adult Respiratory
Distess Syndrome). Factor-faktor lain yang penting adalh hipovolemia,
penggantian cairan yang tidak tepat dan sepsis.
PEMERIKSAAN KHUSUS
Tidak
ada uji yang tak salah untuk emboli lemak, tetapi tanda-tanda yang cukup
konstan adalah hipoksemia. PO2 darah harus selalu dipantau selama 72 jam
pertama pada setiap cedera besar, dan nilai di bawah 60mmHg harus dicurigai.
TERAPI
Pada
kasus yang ringan tidak diperlukan terapi, tetapi diperlukan pemantauan yang
tepat pada PO2 darah, dan keseimbangan cairan. Kalau terdapat tanda-tanda
hipoksia, oksigen harus diberikan. Pasien dengan gangguan pernafasan yang hebat
membutuhkan perawatan intensif, dengan sedasi, bantuan ventilasi dan kateterisasi
Swan-Ganz untuk membantu fungsi jantung.
Keseimbangan
cairan harus dipertahankan, dan dianjurkan melakukan upaya pendukung yang lain,
contohnya heparin untuk melawan tromboemboli. Steroid untuk membantu mengurangi
edema paru-paru atau aprotinin (Trasylol) untuk mencegah agregasi kilomikron.
Komplikasi lokal
Komplikasi local dapat timbul lebih dini (selama
beberapa minggu pertama setelah cedera) atau belakangan (dari beberapa minggu
sampai beberapa tahun setelah fraktur). Komplikasi ini selanjutnya dapat dibagi
lagi memnjadi yang mempengaruhi tulang dan yang melibatkan jaringan lunak dan
sendi-sendi.
·
Komplikasi dini tulang
Infeksi
Fraktur terbuka dapat
terinfeksi, fraktur tertutup hamper tidak pernah trinfeksi kecuali kalau dibuka
dengan operasi. Infeksi luka pasca trauma sekarang paling sering menyebabkan
osteitis kronis. Keadaan ini tidak mencegah penyatuan frajtur, tetapi penyatuan
akan berjalan lambat dan kesempatan mengalami fraktur ulang meningkat.
GAMBARAN KLINIK
Terdapat
riwayat fraktur terbuka atau operasi pada fraktur tertutup. Luka itu akan
meradang dan mulai mengeluarkan cairan seropurulen. Pemeriksaan contoh cairan
ini dapat menghasilkan stafilokokus atau kuman campuran. Sekalipun pemeriksaan
bakteriologi negative, kalau tanda-tanda klinik pasien mendukung, pasien harus
tetap diobservasi terus-menerus dan terapi antibiotika intravena diberikan.
TERAPI
Semua
fraktur terbuka harus dianggap berpotensi terkena infeksi dan diterapi dengan
pemberian antibiotika dan secara cermat semua jaringan yang mati dieksisi. Pada
infeksi akut, jaringan di sekitar fraktur harus dibuka dan didrainase. Pilihan
antibiotika tergantung pada kepekaan bakteri.
Kalau
disertai osteitis kronis, sinus yang mengeluarkan secret harus dibalut setiap
hari dan fraktur harus diimobilisasi agar terjadi penyatuan. Fiksasi luar
berguna dalam kasus semacam itu, tetapi kalau paku intramedula sudah terlanjur
dimasukkan, ini tidak boleh dilepas, yang lebih buruk daripada fraktur yang
terinfeksi adalah fraktur yang terinfeksi adalah fraktur yang terinfeksi serta
tidak stabil.
·
Komplikasi dini jaringan lunak
Lepuh fraktur
Keadaan ini akibat naiknya
lapisan dangkal kulit karena edema, dan kadang-kadang dapat dicegah dengan
pemmbalutan yang erat. Lepuh harus ditutupi dengan suatu pembalut steril yang
kering.
Borok akibat gips
Borok akibat gips terjadi bila
kulit menekan langsung pada tulang. Keadaan ini harus dicegah dengan memberikan
bantalan pada tonjolan-tonjolan tulang dan dengan mengatur bentuk gips yang
basah, sehingga tekanan didistribusikan ke jaringan lunak di sekitar
tonjolan-tonjolan tulang. Bila borok akibat gipas timbul, pasien merasakan
nyeri membakar local. Gips harus segera dipotong untuk membuat jendela, kalau
tidak nyeri peringatan akan mereda dengan cepat dan tanpa diketahui mulai
timbul nekrosis kulit.
Robekan serabut otot
Robekan serabut otot sering
ditemukan pada setiap fraktur. Kecuali kalau otot tersebut digunakan secara
aktif, serabut yang robek dapat menempel pada serabut yang tidak robek, kapsul
atau tulang. Kalau perlekatan dibiarkan terjadi, akan diperlukan rehabilitasi
yang lama setelah fraktur berkonsolidasi. Fraktur dan otot yang robek
membutuhkan terapi. Lebih baik menangani kedua keadaan tersebut daripada
sendiri-sendiri.
Hematrosis
Fraktur yang melibatkan sendi
dapat menyebabkan hemartrosis akut. Sendi bengkak dan tegang dan pasien
terhalang setiap kali mencoba menggerakkannya. Darah harus diaspirasi sebelum
menangani fraktur.
Cedera pembuluh darah
Fraktur yan paling sering
disertai kerusakan pada arteri utama adalah fraktur di sekitar lutut dan siku,
dan fraktur batang humerus dan femur. Arteri dapat terputus, robek, tertekan
atau mengalami kontusi, akibat cedera awal atau sesudahnya akibat fragmen
tulang yang lancip. Meskipun penampilan luarnya normal, intima dapat terlepas
dan pembuluh tersumbat oleh thrombus, atau segmen arteri mungkin mengalami
spasme. Efek-efeknya bervariasi mulai dari pengurangan aliran darah sementara
sampai iskemia yang jelas, kematian jaringan dan gangguan perifer.
Sindroma kompartemen
Fraktur pada lengan dan kaki
dapat menimbulkan iskemia hebat sekalipun tidak ada kerusakan pembuluh besar.
Perdarahan, edema atau radang (infeksi) dapat meningkatkan tekanan pada salah
satu kompartemen osteofasia. Terdapat penurunan aliran kapiler yang
mengakibatkan iskemia otot, yang akan menyebabkan edema lebih jauh,
mengakibatkan tekanan yang lebih besar lagi dan iskemia lebih hebat, suatu
lingkaran setan yang berakhir. Setelah 12 jam atau kurang, dengan nekrosis
saraf dan otot dalam kompartemen. Saraf dapat mengalami regenerasi, tetapi otot
sekali terkena infark, tidak dapat pulih dan digantikan oleh jaringan fibrosa
yang tidak elastic (kontraktur iskemik Volkman). Rangkaian kejadian yang serupa
dapat disebabkan oleh pembengkakan suatu tungkai dalam suatu cetakan gips yang
ketat.
Cedera saraf
Fraktur dapat disertai
komplikasi cedera saraf. Keadaan ini terutama sering ditemukan pada fraktur
humerus atau cedera di sekitar lutut. Tanda-tanda yang member petunjuk harus
dicari dalam pemeriksaan awal. Pada cedera tertutup, saraf jarang terputus, dan
penyembuhan spontan harus ditunggu. Kalau belum terjadi penyembuhan dalam waktu
yang diharapkan, saraf harus dieksplorasi, kadang-kadang saraf terjebak
diantara fragmen-fragmen dan kadang-kadang ditemukan terpisah. Pada fraktur
terbuka, suatu lesi lengkap (neurotmesis) kemungkinan besar terjadi. Saraf
dieksplorasi selama debridement luka dan diperbaiki, atau sebagi prosedur
sekunder 3 minggu kemudian.
Kompresi saraf akut
kadang-kadang terjadi pada fraktur atau dislokasi di sekitar pergelangan
tangan. Keluhan baal atau parestesia dalam distribusi saraf ulnaris atau
medianus harus ditanggapi secara serius dan saraf dengan segera dieksplorasi
dan dilakukan dekompresi.
Cedera visceral
Fraktur pada badan sering disertai
komplikasi cedera pada visera yang dibawahnya, yang paling penting adalah
penetrasi pada paru-paru dengan pneumotoraks yang membahayakan jiwa setelah
fraktur tulang rusuk dan rupture kandung kemih atau uretra pada fraktur pelvis.
Cedera ini membutuhkan terapi darurat, sebelum fraktur
ditangani.
·
Komplikasi belakang tulang
Nekrosis
avaskular
Daerah tertrntu dikenal memiliki kecenderungan untuk
mengalami iskemia dan nekrosis tulang setelah cedera. Daerah-daerah itu adalah
:
1. Kaput femoralis (setelah fraktur pada
leher femur atau dislokasi pada pinggul).
2. Bagian proksimal dari skafoid (akibat
fraktur pada pinggangnya).
3.
Lunatum (setelah dislokasi).
4. Tubuh talus (setelah fraktur pada
lehernya).
Tepatnya ini adalah komplikasi
dini dari cedera tulang karena iskemia terjadi selama beberapa jam pertama setelah
fraktur atau dislokasi. Tetapi, efek-efek klinik dan radiologi tidak terlihat
sampai beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan kemudian.
Penyatuan terlambat
Jangan sekali-kali
mengandalkan untuk menentukan kapan terapi dapat dihentikan. Kalau waktunya
terlalu lama, digunakan istilah penyatuan terlambat. Penyebabnya karena pasokan
darah tidak cukup. Bila terjadi fraktur pada tulang yang tidak memiliki serabut
otot, terdapat resiko penyatuan lambat. Tulang yang mudah terserang antara lain adalah tulang yang cenderung
terkena nekrosis avaskular, dan juga tibia bagian bawah(terutama fraktur
ganda).
Infeksi fraktur terbuka lambat
untuk menyatu, mungkin karena tidak banyak hematoma di sekitar fraktur tempat
kalus penyelubung terbentuk. Infeksi dapat menunda penyatuan lebih jauh.
Pembebatan yang tidak benar
ini mencangkup :
1. Pembebatan yang tidak mencukupi, karena
itu gips standar di bawah lutut tidak cukup menahan fraktur batang tibia.
2. Traksi yang terlalu banyak, yang menarik
tulang hingga terpisah.
Tulang disampingnya utuh kalau
satu tulang pada lengan bawah atau kaki tidak patah, ujung-ujung frajtur pada
tulang lainnya dapat tetap terpisah dan kemudian terjadi penundaan.
Non union
Bila keterlambatan penyatuan
tidak diketahui, meskipun fraktur telah diterapi dengan memadai, cenderung
terjadi non-union. Penyebab lain ialah adanya celah yang terlalu lebar dan
interposisi jaringan.
Celah terlalu lebar, kalau
permukaan fraktur terpisah terlalu jauh, penyatuan sangat lama atau mungkin
tidak pernah terjadi. Celah dapat diakibatkan oleh fraktur tembakan yang
menghancurkan banyak bagian tulang. Akibat bagian tulang yang lepas dalam
kecelakaan yang menyebabkan fraktur. Reaksi otot dimana otot pasien sendiri
menarik kedua fragmen hingga terpisah (seperti pada fraktur patela), atau
akibat terapi dengan traksi yang berlebih.
Interposisi non-union dapat
terjadi bila salah satru dari jaringan berikut ini berada di antara ujung-ujung
tulang periosteum (misalnya selapis periosteum pada fraktur mata kaki), otot
(misalnya fraktur femur dapat menembus otot kuadriseps), kartilago (misalnya
fraktur kondilus lateral humerus dapat demikian terputar sehingga permukaan
sendi kartilaginosa menghadap bahannya).
Malunion
Bila fragmen menyambung pada
posisi yang tidak memuaskan (angulasi, rotasi atau pemendekan yang tidak dapat
diterima) fraktur itu dikatakan mengalami malunion. Penyebabnya adalah tidak
tereduksinya fraktur secara cukup, kegagalan mempertahankan reduksi ketika
terjadi penyembuhan, atau kolaps yang berangsur-angsur pada tulang yang
osteoporotik atau kominutif.
· Komplikasi belakang-jaringan lunak
Ulkus dekubitus (bed sores)
Ulkus dekubitus terjadi pada
manusia atau pasien yang lumpuh. Kulit, terutama di atas sakrum dan tumit, mudah terserang. Perawatan yang
cermat dan aktivitas lebih awal biasanya dapat mencegah ulkus dekubitus. Sekali ulkus ini terjadi, terapi sukar,
mungkin diperlukan eksisi jaringan nekrotik dan pencangkokan kulit.
Miotitis osifikans
Oksifikasi heterotopik otot
kadang-kadang terjadi setelah cedera, terutama dislokasi pada siku atau pukulan
pada brakialis, deltoid, atau kuadriseps. Diduga ini akibat dari kerusakan
otot, tetapi keadaan ini juga terjadi tanpa cedera lokal pada pasien yang tidak
sadar atau pasien paraplegia.
Tendinitis
Tendinitis dapat menyerang
tendon posterior tibialis setelah fraktur maleolus medial. Tendinitis harus
dicegah dengan reduksi yang tepat, kalau perlu dengan operasi terbuka.
Ruptur tendon
Ruptur belakangan pada tendon
ekstensor polisis longus dapat terjadi 6-12 minggu setelah fraktur radius
bagian bawah. Penjahitan langsung jarang berhasil dan ketidakstabilan yang
diakibatkannya diterapi dengan memindahkan tendon ekstensor indisis peoprius ke
ujung distal tendon ibu jari yang robek. Ruptur belakangan pada kaput biseps panjang setelah fraktur leher humerus
biasanya tidak memerlukan terapi.
Kompresi saraf
Kompresi saraf dapat merusak
saraf popliteal lateral kalau seorang lanjut usia atau pasien yang kurus
berbaring dengan kaki dalam rotasi luar penuh. Kellumpuhan radialis dapat
terjadi akibat kesalahan dalam penggunaan penopang. Kedua keadaan itu adalah
akibat kurangnya pengawasan.
Terjepitnya saraf
Deformitas tulang atau sendi
mungkin mengakibatkan terjepitnya saraf lokal dengan tanda-tanda yang khas,
misalnya rasa baal atau paraestesia, hilangnya tenaga dan pengecilan otot dalam
distribusi saraf yang terkena. Tempat yang sering terkena ialah :
- Saraf ulnaris, akibat suatu siku valgus setelah terjadi fraktur kondilus lateral yang tidak menyatu.
- Saraf medianus, setelah cedera sekitar daerah pergelangan tangan.
- Saraf tibialis posterior, setelah fraktur sekitar pergelangan kaki.
Terapinya adalah dengan dekompresi dini terhadap
saraf, dalam hal saraf ulnaris dapat dibutuhkan transposisi anterior.
Kontraktur volkman
Setelah
cedera arteri atau suatu sindroma kompartemen, pasien dapat mengalami
kontraktur iskemik pada otot yang terkena. Tetapi saraf yang cedera oleh
iskemia kadang-kadang sembuh kembali. Sekurang-kurangnya sebagian, kerena itu
pasien memperlihatkan deformitas dan mengalami kekakuan, tetapi rasa baal tidak
selalu ditemukan. Tempat yang paling sering terkena adalah lengan bawah,
tangan, tungkai bawah dan kaki.
Dalam
kasus yang berat yang melibatkan lengan bawah, akan terdepat pengecilan lengan
bawah dan tangan serta sikap cakar pada jemari. Kalau pergelangan tangan
diflekskan secara pasif, pasien dapat mengekstensikan jari, menunjukkan bahwa
deformitas ini terutama adalah akibat kontraktur dari otot lengan bawah.
Pelepasan fleksor-fleksor di origonya dan disepanjang membran interoseosa di
lengan bawah dapat memperbaiki deformitas, tetapi fungsi tidak lebih baik kalau
sensasi dan gerakan aktif tidak dapat dipulihkan. Cangkokan saraf pedikel
dengan menggunakan segmen proksimal saraf medianus dan saraf ulnaris dapat
memulihkan sensasi protektif pada tangan, dan pemindahan tendon.(ekstensor
pergelangan tangan ke fleksor jari dan jempol) akan memungkinkan genggaman
aktif. Pada kasus yang tidak berat, daya kepekaan saraf medianus dapat amat
baik dan dengan pelepasan dan pemindahan tendon secara tepat, pasien akan
memperoleh kembali sejumlah besar fungsi.
Iskemia
pada tangan dapat terjadi akibat cedera lengan bawah, atau pembengkakan pada
jari yang disebabkan oleh terlalu ketatnya pembalut atau gips pada lengan
bawah. Otot tangan instrinsik akan mengalami fibrosis dan memendek, menarik
jari ke dalam fleksi pada sendi-sendi metakarpofalangeal, tetapi sendi-sendi
interfalang tetap lurus. Ibu jari teraduksi melintas telapak tangan (posisi
instrinsik plus Bunnell).
Iskemia
otot betis dapat terjadi akibat cedera atau pembedahan yang melibatkan arteri
poplitea atau cabang-cabangnya. Ini lebih sering ditemukan daripada yang
biasanya. Gejala, tanda-tanda dan kontraktur yang terjadi berikutnya mirip
dengan gejala setelah iskemia pada lengan bawah. Kadang-kadang, iskemia dapat
menyerang otot instrinsik kaki, menyebabkan jari cakar pada kaki.
· Komplikasi yang belakang-sendi
Ketidakstabilan sendi
Setelah cedera suatu sendi
dapat ambruk. Penyebabnya
antara lain adalah berikut :
o
Longgarnya
ligamentosa, terutama pada lutut, pergelangan kaki, dan sendi
metakarpofalangeal ibu jari.
o
Kelemahan
otot, terutama kalau pembebatan berlebihan atau lama, dan latihan tidak cukup
(lutut dan pergelangan kaki yang paling sering terkena)
o
Kehilangan
tulang, terutama stelah suatu fraktur tembakan atau cedera terbuka yang berat.
Cedera juga dapat
mengakibatkan dislokasi berulang. Tempat yang paling biasa adalah :
o
Bahu,
kalau labrum glenoid telah terlepas.
o
Patela,
kalau setelah dislokasi traumatik, kapsul sembuh dengan kurang baik.
Bentuk
ketidakstabilan yang lebih halus ditemukan setelah fraktur di sekitar
pergelangan tangan. Pasien yang mengeluhkan rasa tidak enak atau kelemahan yang
berkelanjutan setelah cedera pergelangan tangan harus diperiksa secara lengkap
untuk mencari ada tidaknya ketidakstabilan karpal kronis.
Kekakuan sendi
Kekakuan
sendi yang terjadi setelah suatu fraktur biasanya terjadi di lutut, siku, bahu
dan sendi-sendi kecil pada tangan. Kadang-kadang sendi sendiri mengalami cedera.
Suatu hemartrosis terbentuk dan mengakibatkan perlekatan sinovial. Biasanya
kekakuan terjadi akibat edema dan fibrosis pada kapsul, ligamen dan otot di
sekitar sendi, atau perlekatan dari jaringan lunak satu sama lain atau ke
tulang yang mendasari. Semua keadaan ini akan lebih buruk bila imobilisasi
berlangsung lama. Selain itu, kalau sendi telah dipertahankan dalam posisi
dimana ligamen terpendek, tidak ada latihan yang akan berhenti sepenuhnya
merentangkan jaringan ini dan memulihkan gerakan yang hilang.
Pada
sejumlah kecil pasien dengan fraktur lengan bawah atau kaki, pembengkakan dini
pasca trauma disertai oleh nyeri tekan dan kekakuan progesif dari sendi-sendi
distal. Pasien ini sangat beresiko dapat mengalami distrofi simpatik reflek
(algodistrofi). Apakah ini suatu hal yang sama sekali terpisah atau hanya suatu
perluasan dari reaksi jaringan lunak pasca trauma yang normal masih tidak
jelas. Yang penting adalah mengenali jenis kekakuan ini bila terjadi dan
menganjurkan fisioterapi oleh seorang ahli sampai fungsi normal pulih kembali.
Algodistrofi (atrofi sudeck)
Pada tahun
1900, Sudeck menguraikan suatu keadaan yang ditandai oleh osteoporosis yang
nyeri pada tangan. Keadaan yang sama kadang-kadang terjadi setelah fraktur pada
tungkai dan sekarang diketahui bahwa ini adalah stadium akhir dari algodistrofi
pasca trauma. Ini jauh lebih sering ditemukan daripada yang semula dipercaya
dan dapat terjadi akibat cedera yang relatif sepele.
Pasien
mengeluhkan nyeri yang terus-menerus dan terasa membakar. Mula-mula terdapat
pembengkakan lokal, kemerahan dan kehangatan, di samping nyeri tekan dan
kekakuan sedang pada sendi-sendi yang berdekatan. Setelah beberapa minggu
berlalu kulit menjadi pucat dan mengalami deformitas yang menetap. Sinar-X
secara khas memperlihatkan penipisan tulang.
Lebih cepat
keadaan ini dikenal dan terapi dimulai, prognosis akan lebih baik. Peninggian
dan latihan aktif penting setelah semua cedera, tetapi pada algodistrofi hal
tersebut sangat penting. Kalau tidak ada perbaikan di dalam beberapa minggu,
blok simpatik atau obat simpatolitik misalnya guanetidin intravena dapat
membantu. Sekalipun demikian, fisioterapi jangka panjang akan diperlukan.
Osteoatritis
Fraktur
yang melibatkan sendi dapat sangat merusak rawan sendi dan menyebabkan osteoatritis
pasca trauma dalam beberapa bulan. Sekalipun tulang rawan sembuh, tidak
teraturnya permukaan sendi dapat menyebabkan predisposisi untuk osteoartritis
sekunder beberapa tahun kemudian. Tidak banyak yang dapat dilakukan untuk
mencegah keadaan ini sekali fraktur telah menyatu.
Malunion
pada suatu fraktur batang dapat sama sekali mengubah mekanika sendi yang
berdekatan dan ini juga dapat menyebabkan osteoartritis sekunder. Angulasi sisa
yang lebih dari 15 derajatpada tulang tungkai bawah harus dengan hati-hati
dinilai efeknya terhadap fungsi sendi dan kalau perlu dikoreksi oleh osteotoni.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.bedahugm.net/Bedah-Orthopedi/Fraktur-Terbuka/Penanganan.html
2. http://www.klikdokter.com/illness/detail/105
3. http://elyoka.blogspot.com/2009/03/fraktur-terbuka.html
4. http://bedahumum.wordpress.com/2009/02/25/penanganan-patah-tulang-terbuka-grade-1-2-3/
5. http://medicastore.com/penyakit/654/Patah_Tulang_fraktur_.html
6. http://www.indonesiaindonesia.com/f/9874-patah-tulang/
KONSERVATIF+FRAKTUR+SUPRAKONDILER