Alkoholisme
adalah asupan alkohol yang mengakibatkan kemunduran kondisi fisik dan kesehatan
sosial. Konsumsi alkohol merupakan penyebab dari perumahsakitan 15-30% pria dan
8-15% wanita di Inggris. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan di
Amerika.
Sebab-sebab perumahsakitan adalah komplikasi fisik dari
minum berlebihan, trauma atau penyakit neuropsikiatri yang terkait dengan
konsumsi alkohol. Di samping itu gejala putus alkohol biasa muncul pada pasien
yang masuk RS karena masalah medis atau bedah yang tidak terkait.
Komplikasi
fisik
Banyak komplikasi fisik
dari pecandu alkohol memiliki implikasi untuk perawatan bedah dan anestesi,
khususnya setelah trauma.
Tromboemboli vena
merupakan penyebab kematian dan morbiditas mayor di antara pasien-pasien bedah.
Kebanyakan trombosis vena dalam (DVT) tidak menghasilkan tanda-tanda klinik,
dan kebanyakan emboli paru (PE)disebabkan
oleh DVT asimtomatik. DVT dapat disusul oleh sindrom pasca flebitis yang
mengganggu dengan pembengkakan tungkai, lipoder-matosklerosis, dan ulserasi.
Sekarang banyak bukti dari kajian acak yang baik bahwa
tindakan profilaksis efektif dalam mengurangi (namun tidak mengeliminasi)
risiko tromboemboli. Jika pasien memiliki risiko mengidap DVT atau PE dan tidak
digunakan profilaksis, maka dokter yang bertanggung jawab bisa dituntut.
Faktor risiko
Faktor risiko untuk DVT
mencakup pembedahan mayor dari abdomen, pelvis, ortopedi dan kardiovaskular.
Pasien yang menjalani operasi untuk trauma mayor dan luka bakar memiliki risiko
tinggi. Operasi yang berlangsung lebih dari 30 menit memiliki risiko lebih
besar daripada operasi singkat. Di samping itu, faktor-faktor berikut telah
dicatat sebagai predisposisi untuk tromboemboli vena pada pasien bedah:
Imbang
cairan perlu diperhatikan seksama pada pasien bedah. Beberapa faktor menentukan
kebutuhan air dan elektrolit.
·Rasa haus tidak bisa
diandalkan sebagai indikator untuk regulasi cairan tubuh pada pasien puasa
total (nil-by-mouth) setelah operasi mayor. Pasien tergantung pada cairan iv.
untuk mempertahankan imbang cairan.
·Perpindahan cairan (fluid
shift) terjadi karena sekuestrasi cairan di lokasi operasi atau tempat-tempat
lain misal abdomen (ileus). Kehilangan yang tidak terlihat ini lazim dikenal
sebagai ‘rongga ketiga’dan terdiri
terutama atas cairan ekstraseluler. Pada situasi lain, kehilangan plasma
terjadi akibat kebocoran membran kapiler.
·Kehilangan darah biasanya
mudah ditaksir di kamar operasi, tetapi bisa tersembunyi pada fase pra dan
pasca operasi.Penaksiran indirek dari
kehilangan darah bisa tidak akurat.
·Respons stres terhadap
pembedahan atau penyakit kritis menyebabkan hipersekresi aldosteron dan ADH serta
peningkatan umum dari aktivitas simpatis. Ini mengakibat-kan retensi natrium
dan air.
Henti jantung
terjadi bila pasien tiba-tiba pingsan dan tidak ada curah jantung. Akses cepat
ke defibrilator dan basic life support memberi harapan pasien bertahan
hidup. Henti jantung dapat terjadi tanpa fibrilasi ventrikel, takikardia
ventrikel, asistole atau disosiasi elektromekanik (juga dikenal sebagai PEA (pulseless
electrical activity). Berbagaikondisi klinik bisa menjurus ke henti jantung. Sebagian di antaranya
harus dideteksi sebelum terjadi henti jantung.
Henti
jantung yang mengancam
Henti jantung dapat terjadi tanpa
diantisipasi pada AMI, edema paru atau dengan penyakit jantung berat yang
mendasari. Kebalikannya, henti jantung di bangsal bedah sering didahului oleh
tanda-tanda peringatan seperti hipotensi, takikardia, nyeri dada, dispnea,
demam, gelisah atau bingung. Hipoksemia, hipovolemia, dan sepsis bisa berlanjut
ke henti jantung jika tidak didiagnosis dan dikoreksi dengan cepat. Jangan ragu
meminta bantuan tim resusitasi atau tim ICU. CPR untuk pasien yang sepsis atau
hipovolemia biasanya gagal.
Nyeri dada pasca
operasi relatif sering dijumpai. Terpisah dari pasien yang telah menjalani
pembedahan toraks, sebab-sebab yang penting untuk dipikirkan adalah infark
miokard, angina, emboli paru, pneumonia, pneumotoraks, dan ruptur esofagus
(pada mereka yang telah menjalani dilatasi esofagus atau muntah-muntah). 50%
pasien yang diberikan suxamethonium mengalami nyeri pada dada, leher dan/atau
bahu.
Seperti pada praktek penyakit dalam, penyakit esofagus jinak (refluks
asam atau spasme) lazim dijumpai dan sering diprovokasi oleh pembedahan
abdomen. Kadang-kadang kondisi ini sukar dibedakan dari nyeri kardiak jika
berdasarkan anamnesis.
Sebab-sebab yang lebih jarang dari nyeri dada – diseksi aorta,
perikarditis, dan nyeri alih (referred pain) dari tulang belakang jarang
ditemukan dalam praktek bedah dan hanya membutuhkan sedikit bahasan.
·Infark
miokard akut
(AMI) : pikirkan diagnosis ini pada setiap pasien dengan nyeri dada/rasa
kencang/tertindih di bagian tengah. Ini lebih cenderung terjadi dengan riwayat
IHD terdahulu atau pada kelompok risiko tinggi: diabetes, hipertensi, penyakit
pembuluh darah tepi, perokok berat. Pemicu khas adalah hipotensi, hipertensi,
perdarahan mayor, hipoksia dan sepsis.
·Angina : ini biasanya jelas dari
anamnesis. Pasien akan memerikan nyeri yang identik dengan angina yang biasa
mereka keluhkan. Pemicu adalah sama seperti pada AMI. Perbedaan angina dari AMI
adalah berdasarkan EKG dan enzim-enzim jantung.
·Emboli
paru (PE
=pulmonary emboli) menyebabkan nyeri dada di tengah dengan dispnea dan
hipotensi. Emboli yang lebih kecil menyebabkan infark paru, yang ditandai oleh
nyeri pleuritik dan hemoptisis tetapi dispnea lebih ringan dan TD masih
terjaga.
·Pneumonia
:
pneumonia pasca bedah biasanya tidak menyebabkan gambaran pneumonia lobaris
klasik ( nyeri dada pleuritik yang mendadak dengan dispnea dan demam). Biasanya
ada dispnea dengan demam.
·Pneumotoraks
: terjadi
paling sering setelah kanulasi vena sentral atau trauma toraks. Pada situasi
lain lebih cenderung pada orang muda yang tinggi, kurus, asmatis dan pasien
dengan emfisema. Kadang-kadang terjadi setelah prosedur abdomen atau endoskopik
toraks.
·Ruptur
esofagus :
komplikasi yang mengancam jiwa pada pasien yang baru saja menjalani
instrumentasi esofagus, khususnya dilatasi dari suatu striktura, atau mereka
yang sudah muntah-muntah hebat. Nyeri khas lebih buruk ketika menelan. Ruptur
esofagus sering diikuti oleh udara yang teraba di leher atau mediastinum pada
x-foto toraks.
·Esofagitis
dan spasme esofagus:
masalah-masalah ini lebih sering dijumpai pada pasca operasi pada pasien yang
sudah ada riwayat penyakit ini. Penyakit baru lebih sukar didiagnosis dan
mungkin IHD perlu disingkirkan terlebih dulu.
·Diseksi
aorta:
dapat terjadi kebetulan pada siatuasi perioperatif, mungkin dicetuskan oleh
hipertensi berat. Ciri-cirinya dalah nyeri dada berat yang tidak mereda,
menjalar ke punggung, tidak membaik dengan opioid, tanpa ada bukti infark
miokard akut. Manajemennya berada di luar lingkup buku ini.
·Perikarditis
: biasa
dijumpai setelah kardiotomi. Namun biasanya jarang pada pasien bedah
Skor ASA (the American Society of
Anesthesiologists) telah digunakan bertahun-tahun sebagai indikator risiko
perioperatif. Panitia ASA pertama kali mengemukakan konsep skor tersebut pada
tahun 1941, sebagai metoda untuk standarisasi status fisik di rekam medis rumah
sakit untuk kajian statistik di bidang anestesia. Hanya serangkaian
perubahan kecil telah dikenakan selama
bertahun-tahun dan versi mutakhir dari klasifikasi ini yang diselesaikan pada
tahun 1974 oleh the House of Delegates
of the ASA disajikan pada Tabel 6.1. pasien diberi skor menurut kebugaran fisik
mereka dan hurup E ditambahkan jika prosedur yang direncanakan bersifat darurat
(emergensi).
Walaupun
skor mudah dan praktis digunakan, skor ini kurang ketepatan ilmiah dalam
penerapannya. Dokter anestesi mungkin tidak setuju terhadap kalsifikasi yang
tepat untuk pasien-pasien tertentu.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi diderita oleh
hampir semua golongan masyarakat di seluruh dunia. Jumlah mereka yang menderita
hipertensi terus bertambah; terdapat sekitar 50 juta (21,7%) orang dewasa
Amerika yang menderita hipertensi, Thailand 17%, Vietnam 34,6%, Singapura
24,9%. Di Indonesia, prevalensi hipertensi berkisar 6-15%. (1)
Menurut perkiraan, sekitar 30% penduduk dunia tidak
terdiagnosa adanya hipertensi. Hal ini disebabkan tidak adanya gejala atau
dengan gejala ringan bagi mereka yang menderita hipertensi. Sedangkan,
hipertensi ini sudah dipastikan dapat merusak organ tubuh, seperti jantung (70%
penderita hipertensi akan merusak jantung), ginjal, otak, mata serta organ
tubuh lainnya. Sehingga, hipertensi disebut sebagai silent killer.(2)