11 orang yang mecoba mengejar mimpi menjadi seorang dokter yang sukses
Showing posts with label Anastesi. Show all posts
Showing posts with label Anastesi. Show all posts

Thursday, July 26, 2012

INTOKSIKASI ALKOHOL & ALKOHOLISME KRONIK


Alkoholisme adalah asupan alkohol yang mengakibatkan kemunduran kondisi fisik dan kesehatan sosial. Konsumsi alkohol merupakan penyebab dari perumahsakitan 15-30% pria dan 8-15% wanita di Inggris. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan di Amerika.

Sebab-sebab perumahsakitan adalah komplikasi fisik dari minum berlebihan, trauma atau penyakit neuropsikiatri yang terkait dengan konsumsi alkohol. Di samping itu gejala putus alkohol biasa muncul pada pasien yang masuk RS karena masalah medis atau bedah yang tidak terkait.


Komplikasi fisik

Banyak komplikasi fisik dari pecandu alkohol memiliki implikasi untuk perawatan bedah dan anestesi, khususnya setelah trauma.

Wednesday, July 25, 2012

PROFILAKSIS TROMBOEMBOLI VENA (DVT)

Tromboemboli vena merupakan penyebab kematian dan morbiditas mayor di antara pasien-pasien bedah. Kebanyakan trombosis vena dalam (DVT) tidak menghasilkan tanda-tanda klinik, dan kebanyakan emboli paru (PE)  disebabkan oleh DVT asimtomatik. DVT dapat disusul oleh sindrom pasca flebitis yang mengganggu dengan pembengkakan tungkai, lipoder-matosklerosis, dan ulserasi.
            Sekarang banyak bukti dari kajian acak yang baik bahwa tindakan profilaksis efektif dalam mengurangi (namun tidak mengeliminasi) risiko tromboemboli. Jika pasien memiliki risiko mengidap DVT atau PE dan tidak digunakan profilaksis, maka dokter yang bertanggung jawab bisa dituntut.

Faktor risiko
Faktor risiko untuk DVT mencakup pembedahan mayor dari abdomen, pelvis, ortopedi dan kardiovaskular. Pasien yang menjalani operasi untuk trauma mayor dan luka bakar memiliki risiko tinggi. Operasi yang berlangsung lebih dari 30 menit memiliki risiko lebih besar daripada operasi singkat. Di samping itu, faktor-faktor berikut telah dicatat sebagai predisposisi untuk tromboemboli vena pada pasien bedah:

BALANCE CAIRAN (IMBANG CAIRAN)

Imbang cairan perlu diperhatikan seksama pada pasien bedah. Beberapa faktor menentukan kebutuhan air dan elektrolit.
·         Rasa haus tidak bisa diandalkan sebagai indikator untuk regulasi cairan tubuh pada pasien puasa total (nil-by-mouth) setelah operasi mayor. Pasien tergantung pada cairan iv. untuk mempertahankan imbang cairan.
·         Perpindahan cairan (fluid shift) terjadi karena sekuestrasi cairan di lokasi operasi atau tempat-tempat lain misal abdomen (ileus). Kehilangan yang tidak terlihat ini lazim dikenal sebagai ‘rongga ketiga’  dan terdiri terutama atas cairan ekstraseluler. Pada situasi lain, kehilangan plasma terjadi akibat kebocoran membran kapiler.
·         Kehilangan darah biasanya mudah ditaksir di kamar operasi, tetapi bisa tersembunyi pada fase pra dan pasca operasi.  Penaksiran indirek dari kehilangan darah bisa tidak akurat.
·         Respons stres terhadap pembedahan atau penyakit kritis menyebabkan hipersekresi aldosteron dan ADH serta peningkatan umum dari aktivitas simpatis. Ini mengakibat-kan retensi natrium dan air.
·         Asites dan efusi pleura bisa terjadi

PENANGANAN NYERI AKUT


Nyeri akut sering dikelola dengan tidak memadai. Ini tidak seharusnya demikian. Kontrol nyeri sering bisa diperbaiki dengan strategi sederhana:
·         Nilai nyeri
·         Atasi dengan obat dan teknik yang anda sudah terbiasa
·         Nilai kembali nyeri setelah terapi dan bersiap untuk memodifikasi pengobatan jika perlu.
Analgesia yang baik mengurangi komplikasi pasca bedah seperti infeksi paru, mual dan muntah, DVT ,dan ileus.

Prinsip umum

·         Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa nyeri. Mereka perlu didengarkan dan dipercaya.
·         Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa seseorang sedang berpura-pura nyeri.
·         Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia yang bervariasi pada berbagai pasien.

HENTI JANTUNG (CARDIAC ARREST)

Henti jantung terjadi bila pasien tiba-tiba pingsan dan tidak ada curah jantung. Akses cepat ke defibrilator dan basic life support memberi harapan pasien bertahan hidup. Henti jantung dapat terjadi tanpa fibrilasi ventrikel, takikardia ventrikel, asistole atau disosiasi elektromekanik (juga dikenal sebagai PEA (pulseless electrical activity). Berbagai  kondisi klinik bisa menjurus ke henti jantung. Sebagian di antaranya harus dideteksi sebelum terjadi henti jantung.

Henti jantung yang mengancam
Henti jantung dapat terjadi tanpa diantisipasi pada AMI, edema paru atau dengan penyakit jantung berat yang mendasari. Kebalikannya, henti jantung di bangsal bedah sering didahului oleh tanda-tanda peringatan seperti hipotensi, takikardia, nyeri dada, dispnea, demam, gelisah atau bingung. Hipoksemia, hipovolemia, dan sepsis bisa berlanjut ke henti jantung jika tidak didiagnosis dan dikoreksi dengan cepat. Jangan ragu meminta bantuan tim resusitasi atau tim ICU. CPR untuk pasien yang sepsis atau hipovolemia biasanya gagal.

NYERI DADA


Diagnosis banding

Nyeri dada pasca operasi relatif sering dijumpai. Terpisah dari pasien yang telah menjalani pembedahan toraks, sebab-sebab yang penting untuk dipikirkan adalah infark miokard, angina, emboli paru, pneumonia, pneumotoraks, dan ruptur esofagus (pada mereka yang telah menjalani dilatasi esofagus atau muntah-muntah). 50% pasien yang diberikan suxamethonium mengalami nyeri pada dada, leher dan/atau bahu.
      Seperti pada praktek penyakit dalam, penyakit esofagus jinak (refluks asam atau spasme) lazim dijumpai dan sering diprovokasi oleh pembedahan abdomen. Kadang-kadang kondisi ini sukar dibedakan dari nyeri kardiak jika berdasarkan anamnesis.
       Sebab-sebab yang lebih jarang dari nyeri dada – diseksi aorta, perikarditis, dan nyeri alih (referred pain) dari tulang belakang jarang ditemukan dalam praktek bedah dan hanya membutuhkan sedikit bahasan.
·         Infark miokard akut (AMI) : pikirkan diagnosis ini pada setiap pasien dengan nyeri dada/rasa kencang/tertindih di bagian tengah. Ini lebih cenderung terjadi dengan riwayat IHD terdahulu atau pada kelompok risiko tinggi: diabetes, hipertensi, penyakit pembuluh darah tepi, perokok berat. Pemicu khas adalah hipotensi, hipertensi, perdarahan mayor, hipoksia dan sepsis.
·          Angina : ini biasanya jelas dari anamnesis. Pasien akan memerikan nyeri yang identik dengan angina yang biasa mereka keluhkan. Pemicu adalah sama seperti pada AMI. Perbedaan angina dari AMI adalah berdasarkan EKG dan enzim-enzim jantung.
·         Emboli paru (PE =pulmonary emboli) menyebabkan nyeri dada di tengah dengan dispnea dan hipotensi. Emboli yang lebih kecil menyebabkan infark paru, yang ditandai oleh nyeri pleuritik dan hemoptisis tetapi dispnea lebih ringan dan TD masih terjaga.
·         Pneumonia : pneumonia pasca bedah biasanya tidak menyebabkan gambaran pneumonia lobaris klasik ( nyeri dada pleuritik yang mendadak dengan dispnea dan demam). Biasanya ada dispnea dengan  demam.
·         Pneumotoraks : terjadi paling sering setelah kanulasi vena sentral atau trauma toraks. Pada situasi lain lebih cenderung pada orang muda yang tinggi, kurus, asmatis dan pasien dengan emfisema. Kadang-kadang terjadi setelah prosedur abdomen atau endoskopik toraks.
·         Ruptur esofagus : komplikasi yang mengancam jiwa pada pasien yang baru saja menjalani instrumentasi esofagus, khususnya dilatasi dari suatu striktura, atau mereka yang sudah muntah-muntah hebat. Nyeri khas lebih buruk ketika menelan. Ruptur esofagus sering diikuti oleh udara yang teraba di leher atau mediastinum pada x-foto toraks.
·         Esofagitis dan spasme esofagus: masalah-masalah ini lebih sering dijumpai pada pasca operasi pada pasien yang sudah ada riwayat penyakit ini. Penyakit baru lebih sukar didiagnosis dan mungkin IHD perlu disingkirkan terlebih dulu.
·         Diseksi aorta: dapat terjadi kebetulan pada siatuasi perioperatif, mungkin dicetuskan oleh hipertensi berat. Ciri-cirinya dalah nyeri dada berat yang tidak mereda, menjalar ke punggung, tidak membaik dengan opioid, tanpa ada bukti infark miokard akut. Manajemennya berada di luar lingkup buku ini.
·         Perikarditis : biasa dijumpai setelah kardiotomi. Namun biasanya jarang pada pasien bedah

KLASIFIKASI ASA (The American Society Of Anesthesiologists)


Skor ASA (the American Society of Anesthesiologists) telah digunakan bertahun-tahun sebagai indikator risiko perioperatif. Panitia ASA pertama kali mengemukakan konsep skor tersebut pada tahun 1941, sebagai metoda untuk standarisasi status fisik di rekam medis rumah sakit untuk kajian statistik di bidang anestesia. Hanya serangkaian perubahan  kecil telah dikenakan selama bertahun-tahun dan versi mutakhir dari klasifikasi ini yang diselesaikan pada tahun 1974 oleh  the House of Delegates of the ASA disajikan pada Tabel 6.1. pasien diberi skor menurut kebugaran fisik mereka dan hurup E ditambahkan jika prosedur yang direncanakan bersifat darurat (emergensi).
            Walaupun skor mudah dan praktis digunakan, skor ini kurang ketepatan ilmiah dalam penerapannya. Dokter anestesi mungkin tidak setuju terhadap kalsifikasi yang tepat untuk pasien-pasien tertentu.

Tuesday, July 17, 2012

HIPERTENSI


Hipertensi atau tekanan darah tinggi diderita oleh hampir semua golongan masyarakat di seluruh dunia. Jumlah mereka yang menderita hipertensi terus bertambah; terdapat sekitar 50 juta (21,7%) orang dewasa Amerika yang menderita hipertensi, Thailand 17%, Vietnam 34,6%, Singapura 24,9%. Di Indonesia, prevalensi hipertensi berkisar 6-15%. (1)
Menurut perkiraan, sekitar 30% penduduk dunia tidak terdiagnosa adanya hipertensi. Hal ini disebabkan tidak adanya gejala atau dengan gejala ringan bagi mereka yang menderita hipertensi. Sedangkan, hipertensi ini sudah dipastikan dapat merusak organ tubuh, seperti jantung (70% penderita hipertensi akan merusak jantung), ginjal, otak, mata serta organ tubuh lainnya. Sehingga, hipertensi disebut sebagai silent killer.(2)