DISTOSIA
2.1.1. Definisi
Distosia adalah suatu persalinan yang sulit, ditandai dengan kemajuan persalinan yang lambat. Untuk menentukan adanya distosia dapat menggunakan batasan waktu ataupun kelajuan proses. Distosia dapat terjadi pada kala I ataupun kala II persalinan. Distosia pada kala I aktif persalinan dapat dikelompokkan menjadi proses persalinan yang lambat (protraction disorder) ataupun tidak adanya kemajuan persalinan sama sekali (arrest disorder).
American college of Obstetricians dan Gynecologist (ACOG) memiliki definisi sendiri mengenai gangguan kemajuan persalinan yang diadaptasi dari definisi awal pada tahun 1983. Distosia pada kala II persalinan ditandai dengan:
1. Pada nulipara tanpa anestesi regional kala II lebih dari 2 jam
2. Pada nulipara dengan anestesi regional kala II lebih dari 3 jam
3. Pada multipara tanpa anestesi regional kala II lebih dari 1 jam
4. Pada multipara dengan anestesi regional kala II lebih dari 2 jam
Proses persalinan yang macet (distosia) dapat terjadi akibat adanya gangguan pada salah satu atau kombinasi dari empat komponen di bawah ini:
1. Gangguan pada daya pendorong, termasuk di dalamnya adalah gangguan kontraksi uterus dan gangguan meneran
2. Gangguan presentasi, posisi, dan perkembangan janin
3. Gangguan pada tulang pelvis ibu
4. Gangguan pada jaringan lunak traktus reproduksi yang dapat menghalangi penurunan janin
Secara lebih sederhana penyebab distosia dapat dikategorikan menjadi tiga P:
1. Gangguan pada powers (kontraksi uterus dan usaha meneran ibu)
2. Gangguan pada passenger (posisi janin, presentasi janin, dan ukuran janin)
3. Gangguan pada passage rongga pelvis dan jaringan lunak pada jalan lahir
2.2. DISTOSIA KARENA GANGGUAN PADA DAYA PENDORONG
2.2.1. Fisiologi kontraksi uterus
Reynolds dkk (1948) menggarisbawahi bahwa kontraksi uterus saat persalinan normal ditandai dengan adanya gradient dari kontraksi uterus, dimana gradient terlama dan terkuat adalah pada fundus (dominasi fundus) dan menjadi berkurang kearah serviks. Caldeyro-Barcia dkk (1950) dari Montevideo, Uruguay, memasukkan balon kecil ke miometrium pada beberapa level. Mereka menyatakan selain adanya gradient aktivitas, didapatkan pula perbedaan onset dari kontraksi uterus di fundus, midzone dan uterus bagian bawah. Larks (1960) mendeskripsikan bahwa stimulus kontraksi berasal kornu dan beberapa milisekon kemudian sudah mencapai tempat lainnya, sehingga eksitasi akan bergabung menjadi satu di fundus dan akan berjalan bersamaan ke bawah uterus.
2.2.2. Gangguan kontraksi uterus
Disfungsi uterus dapat dibedakan menjadi dua:
1. Disfungsi uterus hipotonik, yakni bagian basal uterus tidak hipertonus dan kontraksi uterus simetris tetapi kekuatan selama kontraksi tidak cukup untuk membuat serviks berdilatasi
2. Disfungsi uterus hipertonik atau disfungsi inkoordinasi, yakni kekuatan kontraksi bagian basal berlebihan atau kekuatan dari fundus tidak tersalurkan dengan baik ke seluruh bagian uterus
Montevideo dkk juga menemukan fakta bahwa tekanan kontraksi minimal untuk mendilatasikan serviks adalah 15 mmHg. Hal ini sejalan dengan hasil yang ditemukan Hendricks dkk yang melaporkan bahwa kuat kontraksi spontan yang normal biasanya 60 mmHg keatas. Dari observasi ini dapat disimpulkan ada 2 tipe dari disfungsi uterus yakni hypotonus uterine dysfunction dan hyperteonic uterus dysfunction. Pada hypotonus uterine dysfunction tidak ada hipertonus dan kontraksi uterus masih dalam pola normal, dan kontraksi tersebut tidak cukup untuk mendilatasikan serviks. Pada hypertonic uterine dysfunction, terjadi peningkatan tonus basal atau gangguan gradient tekanan. Gangguan gradient tekanan dapat terjadi karena adaya kontraksi segmen uterus pada bagian selain fundus, dan kontraksinya lebih kuat dari bagian fundus atau juga dapat terjadi asinkroni dari impuls yang berasal dari kornu.
Gangguan kontraksi uterus dapat terjadi pada fase aktif (kala 1) ataupun pada kala 2
2.2.3. Klasifikasi gangguan uterus
A. Inersia uterus hipotonik (Hypotonic Uterine Inertia)
Definisi
Kontraksi uterus kurang dari normal, lemah dan dalam durasi yang pendek
Etiologi
Hingga saat ini masih belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa factor yang dapat mempengaruhi
a. Faktor umum
1. Primigravida terutama pada usia tua
2. Anemia dan asthenia
3. Perasaan tegang dan emosional
4. Pengaruh hormonal karena kekurangan prostaglandin atau oksitosin
5. Ketidaktepatan penggunaan analgetik
b. Faktor lokal
1. Overdistensi uterus
2. Perkembangan anomali uterus misal hipoplasia
3. Mioma uterus
4. Malpresentasi, malposisi, dan disproporsi cephalopelvik
5. Kandung kemih dan rektum penuh
Tipe
1. Inersia Primer : Kontraksi uterus lemah sejak awal
2. Inersia Sekunder : Inersia berkembang setelah terdapat kontraksi uterus yang sebelumnya baik
Gambaran klinis
1. Waktu persalinan memanjang
2. Kontraksi uterus kurang dari normal, lemah atau dalam jangka waktu pendek
3. Dilatasi serviks lambat
4. Membran biasanya masih utuh
5. Lebih rentan terdapatnya placenta yang tertinggal dan perdarahan paska persalinan karena intarsia persisten
6. Tokografi : Gelombang kontraksi kurang dari normal dengan amplitude pendek
Penatalaksanaan
a. Pemeriksaan umum :
1. Pemeriksaan untuk menentukan disproporsi, malresentasi atau malposisi dan tetalaksana sesuai dengan kasus
2. Penatalaksaan kala 1 yang baik
3. Pemberian antiobiotik pada proses persalinan yang memanjang terutama pada kasus dengan membrane plasenta telah pecah
b. Amniotomi
1. Bila cervik telah berdilatasi > 3 cm
2. Bila presentasi bagian terbawah janin telah berada pada bagian bawah uterus
3. Ruptur membrane buatan (artificial) yang dapat menyebabkan augmentasi kontraksi uterus. Hal ini terjadi karena pelepasan prostaglandin, dan terdapatnya reflex stimulasi kontraksi uterus ketika bagian presentasi bayi semakin mendekati bagian bawah uterus.
c. Oksitosin
5 unit oksitosin (syntocinon) dalam 500 cc glukosa 5% diberikan IV. Tetesan infuse mulai dari 10 tetes/menit, dan kemudian meningkat secara bertahap sehingga mendapatkan kontraksi uterus rata – rata 3x dalam 10 menit.
d. Metode persalinan
1. Persalinan per vaginam : Dengan menggunakan forceps, vakum atau ekstraksi. Hal ini bergantung kepada bagian presentasi bayi, cerviks telah pembukaan lengkap.
2. Operasi cesar sesario diindikasi pada : (1) Kegagalan denga metode tersebut, (2) Kontraindikasi terhadap infuse oksitosin, missal pada kasus disproporsi, (3) Distres fetal sebelum terjadi dilatasi cervical.
B. Inersia uterus hipertonus (Uncoordinated Uterine Action)
Tipe
a. Colicky uterus : Terjadi kontraksi uterus dari bagian uterus yang berbeda dan tidak terdapat koordinasi yang baik
b. Segmen uterus bagian bawah hiperaktif : Sehingga dominasi bagian atas uterus menjadi hilang.
Manifestasi Klinis
a. Persalinan menjadi memanjang
b. Kontaksi uterus tidak teratur dan lebih nyeri. Nyeri dirasakan sebelum dan selama kontraksi
c. Tekanan istirahat intrauterine tinggi
d. Dilatasi cerviks lama
e. Ketuban pecah dini
f. Distress fetal dan maternal
Penatalaksaan
a. Pemeriksaan umum : Sama seperti inersia hipouteri
b. Pemberian analgesic dan antispasmodic, missal pethidine
c. Analgesia epidural memiliki keuntungan yang baik
d. Operasi cesar diindikasikan pada”
1. Kegagalan metode sebelumnya
2. Disproporsi
3. Distal fetus sebelum mengalami pembukaan sepertu
2.2.4. Faktor-faktor yang berpengaruh pada disfungsi uterus
a. Analgesia epidural
b. Perlu diperhatikan bahwa analgesia epidural dapat menyebabkan perlambatan proses persalinan (Sharma and Leveno, 2000). Seperti yang tertera pada table berikut, analgesia dapat memperlambat persalinan kala 1 dan kala 2
c. Korioamnionitis
Karena pada banyak kasus terdapat hubungan antara pemanjangan waktu persalinan dengan infeksi intrapartum, beberapa klinisi menyimpulkan bahwa infeksi dapat menyebankan aktivitas uterus yang tidak normal. Satin dkk (1992) mempelajari efek korioamnionitis terhadap 266 stimulasi persalinan dengan oksitosin. Korioamnionitis yang terdeteksi terlambat pada persalinan merupakan marker untuk operasi sexio, namun korioamnitis yang ditemukan dini pada masa persalinan tidak diasosiasikan dengan hal tersebut. Empat puluh persen wanita yang menderita korioamnionitis setelah mendapatkan oksitosin untuk distosia persalinan pada akhirnya membutuhkan sexio. Namun beberapa ahli berpendapat bahwa infeksi uterus merupakan konsekuensi dari persalinan yang lama, bukan penyebab distosia.
d. Posisi ibu sewaktu persalinan
Berjalan-jalan sewaktu persalinan kala 1 dapat memperpendek waktu persalinan, menurunkan jumlah oksitosin yang dibutuhkan nantinya, menurunkan kebutuhan analgesia, dan menurunkan frekuensi episiotomi (Flynn dkk, 1978). Menurut Miller (1983), uterus akan berkontraksi lebih sering dengan intensitas yang lebih kurang dengan posisi supide dibandingkan dengan posisi miring. Kebalikannya, akan terjadi bila posisi ibu duduk atau berdiri. Namun Bloom dkk (1998) membuktikan bahwa ambulansi (berjalan-jalan) tidak mempercepat maupun memperlambat persalinan pada wanita nullipara dan wanita multipara. The American College of Obstetricians and Gynecologist (2003) telah menyimpulkan bahwa ambulasi tidak berbahawa dan mobilitas dapat membuat si ibu lebih nyaman.
Pada kala 2 didapatkan banyak pendapat. Johnson dkk (1991) menemukan bahwa penggunaan alat bantuan persalinan seperti kursi persalinan, pada beberapa RCT tidak memiliki hasil yang dapat disimpulkan dan cenderung subjektif. Ada juga yang melaporkan keuntungan dari menghindari posisi litotomi, sehingga akan didapatkan pelvic outlet yang lebih luas. Russel (1969) melaporkan daerah pelvic outlet akan lebih luas dengan posisi jongkok dibandingkan dengan supine. Sementara gupta dkk (1991) melaporkan bawa tidak ada perbedaan dimensi pelvic outlet dengan posisi supine atau jongkok. Crowley (1991) melaporkan tidak ada keuntungan yang lebih dari penggunaan kursi persalinan, dan hal ini malah meningkatkan kejadian perdarahan. De Jong dkk (1997) menemukan bahwa tidak ada peningkatan frekuensi perdarahan pada posisi duduk. Posisi berdiri/tegak juga tidak mempengaruhi hasil obstetri pada persalinan kala 2, keuntungan yang didapatkan pada hal ini adalah nyeri ibu yang lebih kurang dan kepuasan ibu terhadap pengalaman persalinan. Babayer dkk (1998) melaporkan bahwa duduk atau jongkok yang terlalu lama pada persalinan kala 2 dapat menyebabkan neuropati perineal.
e. Imersi air
Pendekatan ini ditujukan untuk mendapatkan relaksasi persalinan sehingga akan menyebabkan persalinan yang lebih efisien dan lancar (Odent, 1983). Schorn dkk (1993) melaporkan bahwa tekhnik ini tidak mempengaruhi dilatasi serviks, waktu persalinan, rute kelahiranm atau penggunaan analgesia. Robertson dkk (1998) melaporkan bahwa tekhnik imersi air tidak diasosiasikan dengan korioamnionitis ataupun endometriosis. Kwee dkk (2000) melaporkan tekhnik imersi air dapat menurunkan tekanan darah ibu dan tidak mempengaruhi tekanan darah fetus.
2.2.5. Diagnosis
Abnormalitas kontraksi uterus dibedakan berdasarkan fase menjadi:
1. Active Phase Disorder
Gangguan ini dibedakan lagi menjadi dua, yaitu protraction disorder dan arrest disorder. Pada protraction disorder perkembangan yang terjadi lebih lambat dari seharusnya (dilatasi serviks kurang dari 1 cm/ jam dalam pemantauan minimal 4 jam), sedangkan pada arrest disorder , tidak ada perkembangan sama sekali. Kedua diagnosis ini hanya dapat ditegakkan dalam keadaan wanita berada dalam fase aktif dengan dilatasi minimal 4 cm. Delapan puluh persen wanita dengan active phase disorder memiliki kontraksi uterus yang tidak adekuat (kurang dari 180 montevideo unit).
2. Second Stage Disorder
Pada pembukaan lengkap, pada umumnya perempuan tidak dapat menahan rasa ingin mendorong pada saat uterus berkonstraksi. Otot – otot abdomen akan dikontraksikan berkali – kali untuk meningkatkan tekanan intra abdomen berkali – kali untuk meningkatkan tekanan intra abdomen sepanjang kontraksi. Kontraksi uterus dan otot abdomen mendorong janin keluar. Analgesia atau sedasi berat dapat menurunkan reflex / rasa ingin berkonstraksi dan juga menurunkan kemampuan perempuan untuk melakukan konstraksi otot abdomen.
Tabel 1 Pola persalinan Abnormal, Kriteria Diagnostik, dan Penatalaksanaan
Kriteria Diagnostik
Pola Persalinan Nullipara Multipara Penatalaksanaan Penatalaksanaan khusus
Prolongation Disorder
(Pemanjangan Fase Laten) > 20 jam > 14 jam Tirah baring Oksitosin atau section cesarean pada keadaan emergensi
Protraction Disorders
1. Protracted active – phase dilatation < 1.2 cm / jam < 1.5 cm Manajemen ekspentansi CPD 2. Protracted descent < 1.0 cm / jam < 2 cm / jam Manajemen ekspentansi CPD Arrest Disorders 1. Prolonged deceleration > 3 jam > 1 jam Oksitosin tanpa CPD Istirahat bila kelelahan
2. Secondary arrest of dilatatiom
3. Arrest if descent > 2jam > 2 jam Sectio Cesarea dngan CPD Section Cesarea
Sumber : Cunningham F. Gary. Dystocia: abnormal labor. Wiliams Obstetrics. Edisi 22. USA:Mc Graw-Hill.2005
2.2.6. Penatalaksanaan
Diperlukan pengawasan dalam persalinan lama oleh sebab apa pun. Penatalaksanaan mencakup pengukuran tekanan darah tiap 4 jam, pencatatan denyut jantung janin tiap setengah jam dalam kala I dan lebih sering dalam kala II, pemberian infus larutan glukosa 5% dan larutan NaCl isotonik secara intravena bergantian, pemberian antinyeri berupa petidin 50 mg. Selain pemeriksaan di atas juga perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah persalinan sudah benar dimulai atau tidak dan apakah terdapat disproporsi sefalopelvik atau tidak.
Penatalaksanaan terhadap hypotonic uterine contraction meliputi:
1. Pemeriksaan keadaan serviks, presentasi dan posisi janin, turunnya kepala janin dalam panggul dan keadaan panggul
2. Memperbaiki keadaan umum ibu
3. Pengosongan kandung kencing serta rektum
4. Pemberian oksitosin, 5 satuan IU dalam laturan glukosa 5% diberikan infus intravena dengan kecepatan 12 tetes per menit. Pemberian infus oksitosin memerlukan pengawasan ketat. Infus dihentikan bila kontraksi uterus berlangsung lebih dari 60 detik atau kalau denyut jantung janin melambat atau menjadi lebih cepat. Oksitosin jangan diberikan pada grande multipara dan pernah mengalami seksio sesarea karena dapat menyebabkan terjadinya ruptur uteri.
Penatalaksaan dalam hypertonic uterine contraction
Meliputi pengobatan secara simptomatis. Penatalaksanaan yang dilakukan meliputi pengurangan tonus otot dan ketakutan penderita.