11 orang yang mecoba mengejar mimpi menjadi seorang dokter yang sukses

Saturday, June 4, 2011

IKA- Dengue Syok Sindrom

A. DEFINISI
Sindrom syok dengue (SSD) merupakan kegawatdaruratan yang sering terjadi pada demam berdarah dengue (DBD), ditandai dengan manifestasi syok atau kegagalan sirkulasi. Syok dapat berulang dan/atau berkepanjangan karena resusitasi yang kurang adekuat, kebocoran plasma (plasma leakage) berat, hipoksemia, dan asidosis metabolik atau perdarahan, yang selanjutnya dapat menyebabkan disfungsi atau gagal organ.5


B. ETIOLOGI
Virus dengue termasuk grup B Arthropod borne virus ( arboviruses ) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili flaviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain. Serotipe den-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.3

C. CARA PENULARAN
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur kemudian berkembang biak dalam waktu 8 - 10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovarian transsmision), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4 – 6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.2

C. EPIDEMIOLOGI
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah disebuah negara distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak dari golongan anak berumur < 15 tahun (86-95%). Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari dan mencapai puncaknya pada bulan Januari.3
Pada kasus diatas penderita berjenis kelamin perempuan, usia enam tahun, dan terdiagnosa SSD pada bulan November.

D. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Virus dengue melalui mekanisme tidak langsung menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotel. Sel monosit darah perifer yang terinfeksi virus dengue mengeluarkan mediator yang mengaktivasi endotel melalui ekspresi molekul adhesi vaskular cell adhesion molecule (VCAM-1) dan intracellular adhesion molecule (ICAM-1). Peningkatan ICAM-1 dan VCAM-1 telah dibuktikan oleh peneliti terdahulu berperan dalam aktivasi leukosit dan kebocoran vaskular.4
Sel endotel berperan pada gangguan hemostasis pada DBD, melalui aktivasi endotel akan dilepaskan tissue factor (TF) dan Von Willebrand’s Factor (vWF) sebagai petanda aktivasi koagulasi, serta Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1) sebagai inhibitor koagulasi dengan hasil akhir terjadi keseimbangan antara sistem koagulasi dan fibrinolisis sehingga terjadi trombosis, Disfungsi Organ Multipel (DOM) dan perdarahan. Jejas pada endotel juga menyebabkan agregasi trombosit dan sebabkan trombositopenia.4
Aktivasi koagulasi pada DBD, menyebabkan pemakaian faktor-faktor koagulasi dan inhibitor koagulasi meningkat sehingga kadar faktor koagulasi dan inhibitor koagulasi menjadi sangat rendah dengan manifestasi perdarahan. Menurunnya kadar faktor koagulasi juga disebabkan karena menurunnya sintesis karena terjadi disfungsi hepar dan kebocoran vaskular.4

E. GEJALA KLINIK
Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
1. Manifestasi perdarahan, termasuk sekurangnya uji tourniquet positif dan salah satu bentuk perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis dan atau melena.
2. Pembesaran hati.
3. Syok
Manifestasi syok pada anak terdiri atas
a. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara reflek.
b. Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya menurun menjadi apati, sopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral
c. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap sirkulasi
d. Tekanan nadi menurun menjadi 20mmHg atau kurang
e. Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80mmHg atau kurang
f. Oligouria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri renalis.
Pada kira-kira sepertiga kasus DBD setelah demam berlangsung selama beberapa hari, keadaan umum pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3 - 7. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut saat sebelum syok timbul.3
Pada kasus ini anak di diagnosa SSD pada hari kelima anak panas, terdapat pembesaran hati, kulit dingin dan lembab, terutama pada ujung jari kaki dan tangan, anak apatis, nadi cepat dan lembut.



F. KOMPLIKASI
Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya dengan pengobatan yang tepat (termasuk syok berat) segera terjadi masa penyembuhan dengan cepat.3

G. LABORATORIUM
Kelainan hematologis yang paling sering selama syok adalah kenaikan hematokrit 20% atau lebih besar melebihi nilai hematokrit penyembuhan, trombositopenia, leukositosis ringan (jarang melebihi 10.000/mm3), waktu perdarahan memanjang dan kadar protrombin menurun sedang (jarang kurang dari 40% kontrol). Kadar fibrinogen mungkin subnormal dan produk-produk pecahan fibrin meningkat. Rontgen dada menunjukan efusi pleura pada hampir semua penderita.1
Pada kasus ini terdapat kenaikan hematokrit lebih dari 20%, trombositopenia, dan lekositosis ringan.

H. PENGELOLAAN
Pengelolaan yang terpenting adalah terapi cairan. Resusitasi volume pada SSD mempunyai end point optimalisasi transport oksigen (DO2) ke jaringan/sel, artinya upaya menghilangkan hutang oksigen (O2 debt) jaringan yaitu konsumsi oksigen (VO2) jaringan jauh lebih sedikit daripada DO2. Syok hipovolemik pada DBD dapat disebabkan karena kebocoran vaskular, dan perdarahan. Pengelolaan terhadap jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi (ABC) dengan terapi oksigen sesuai kebutuhan.4


Resusitasi Volume pada DSS.
Pilihan cairan awal pada SSD harus ditujukan langsung mempertahankan volume intravaskular dan mempunyai efek onkotik serta mempunyai kemampuan menyumpal (sealing effect) sehingga dapat mencegah keluarnya cairan intravaskular ke dalam kompartemen eksta-vaskular.4
Hydroxyethylstarch (HES) 6% dengan berat molekul sedang (BM 100.000 – 300.000) dapat dipilih sebagai cairan koloid yang mempunyai sealling effect dan dapat mempertahankan volume intravaskular lebih lama (4 - 6 jam).4
Sampai saat ini resusitasi volume awal pada SSD masih mempergunakan kristaloid (Ringer laktat/Ringer asetat). Apabila syok berlanjut, baru diberikan koloid dan komponen darah (fresh frozen plasma, konsentrat trombosit atau eritrosit pekat) sesuai kebutuhan.4
Volume Cairan.
Koloid 20 - 30 ml/kgBB (10 - 20 menit) atau kristaloid 40 - 60 ml/kgBB (10 -20 menit) sebagai terapi cairan awal untuk resusitasi volume, dan cairan berikutnya adalah campuran kristaloid sampai perfusi jaringan baik.4
Titik akhir pemberian cairan harus dititrasi secara individual. Pemberian cairan 60 - 100 ml/kgBB selama 12 jam ditujukan untuk mengembalikan volume sirkulasi yang adekuat. Apabila perfusi end-organ tidak tercapai, pemberian cairan selanjutnya harus sangat hati-hati karena resiko edema paru.4
Apabila tekanan vena sentral tidak terpasang, sesudah terapi cairan awal untuk resusitasi volume perfusi jaringan harus dipantau ketat secara klinis disertai pantauan laboratorium penunjang seperti Hb, Ht, trombosit, fibrinogen, APTT dan PT. Pemeriksaan PEI penting dipantau pada saat masuk rumah sakit, dan 48 jam sesudah dirawat untuk melihat beratnya kebocoran vaskular dan menentukan tindakan selanjutnya.4
Tetesan cairan dikurangi bertahap sampai waktu kebocoran vaskuler terlampaui yaitu 24 - 48 jam sesudah terjadi syok.4
Apabila sesudah resustasi volume I belum terdpat perbaikan perfusi jaringan, harus dirawat di PICU dengan pemasangan tekanan vena sentral. Harus dilakukan pemeriksan lengkap kemungkinan terjadinya perdarahan berlanjut, gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa, adanya kebocoran vaskuler yang hebat.4
Apabila didapatkan Hb, Ht dan trombosit yang menurun terus, perlu dipantau adanya perdarahan dan dilakukan pemeriksaan terhadap PIM serta pemberian komponen darah (FFP, PC, trombosit) dan inhibitor koagulan seperti AT III.4
Kebocoran vaskuler berat yang dibuktikan dengan PEI yang meningkat , Ht meningkat, hipoproteinemi dan hipoalbuminemi, oedem paru dengan tanda distress respirasi. Pengelolaannya yaitu terapi oksigen sesuai indikasi bila perlu ventilator mekanik dan cairan koloid hiperonkotik.4
Tekanan vena sentral dipertahankan 15 - 18 cm H2O selama masa kebocoran vaskular.4
Pemantauan terhadap perfusi jaringan harus dilakukan secara kontinyu meliputi : kesadaran, frekuensi jantung/nadi, tekanan nadi, tekanan darah/tekanan arteri rata-rata, tes pengisian kapiler, dan jumlah diuresis.4
Sesudah perfusi jaringan tercapai baik, pada masa repooling terapi cairan dibatasi, sampai 50% kebutuhan rumatan, lalu diturunkan bertahap dan dihentikan pada kadar Ht kurang atau sama dengan 40%.4
Pada kasus ini diberikan cairan koloid pada resusitasi awal. Pemberian koloid ini memberikan respon yang cukup baik dan dilanjutkan dengan pemberian cairan RL 10cc /kg /jam.
Substitusi Inhibitor Koagulan
Pada DBD dan SSD tedapat disbalans antara koagulasi dan fibrinolisis, yaitu terjadi prokoagulan sehingga menyebabkan pemakaian faktor-faktor pembekuan dan inhibitor koagulan alamiah yang berlebihan. Terapi substitusi dengan AT III, PC, perlu dipertimbangkan pada keadaan SSD yang tidak responsif terhadap terapi cairan yaitu tidak terdapat perbaikan faktor hemostasis dan perdarahan berlanjut.4
AT III diberikan dengan dosis : AT III (yang diharapkan – yang didapatkan) x BB/2.2. AT III yang diharapkan 100 -120%.4
Apabila tidak tersedia sarana untuk memeriksa kadar AT III, dosis AT III = 50 IU x BB.4
Transfusi Komponen Darah
Hemoglobin perlu dipertahankan dalam batas cukup untuk mencapai transpor oksigen ke jaringan, dengan memperhatikan formula : DO2 = CI x (1,36 x Hb% x Saturasi O2%) + PaO2 x 0,003. Hb dipertahankan sekitar 10 g/dl.4
Fresh frozen plasma (15 ml/kgBB) dan kriopresipitat diberikan apabila terdapat pemanjangan bermakna dari APTT dan PT disertai manifestasi perdarahan.4
Konsentrat trombosit diberikan bila terdapat trombositopeni berat (<30.000/mm3) dengan manifestasi PIM dan perdarahan.4
Obat-obatan
Pengelolaan terhadap penyulit asidosis metabolik berat dengan pH < 7,1 sesudah pemberian resusitasi volume, dapat diberikan natrium bikarbonat 0,3 x BB x kekurangan basa atau 0,3 x (HCO3s – HCO3a) x BB.4
Pengelolaan gangguan keseimbangan elektrolit seperti hipokalsemia, hipokalemia, hipomagnesemia, sesuai yang dibutuhkan. Pemberian simpatomimetikamin, diberikan sesudah tercapai normovolemik sesuai indikasi (intropik atau vasopresor).4
Kebocoran Vaskular Berat
Ditandai dengan adanya PEI yang sangat besar dengan gejala klinis distres respirasi, perlu tunjangan ventilator mekanik, koloid hiperonkotik, furosemid, dan pembatasan cairan sampai 50%.4

I. PEMANTAUAN
Fase akut DSS yaitu waktu dimana kebocoran vaskuler dan gangguan hemostatis masih berlangsung, perlu dipantau perfusi jaringan, PEI, Hb, Ht, trombosit, fibrinogen, Pt, APTT. Perubahan kadar faktor hemostatis menuju perbaikan dapat memprediksi prognosis ke arah baik dan sebaliknya.4

J. PROGNOSIS
Prognosis penderita DBD tergantung derajat penyakit dan komplikasi yang timbul. Pada kasus ini prognosis ad visam, ad sanam, dan ad fungsional penderita dapat dikatakan dubia ad bonam.






DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue dalam Bab Arbovirus, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 2, EGC, Jakarta, 1999, hal. 1134 – 1135.

2. Hadinegoro SRH, Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Direktorat Jenderal pemberantasan Penyakit menular dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta, 2001, hal. 1

3. Soedarmo SSP, dkk. Infeksi Virus Dengue, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 176 - 178

4. Tatty ES, Pengelolaan syok pada demam berdarah dengue anak dalam Sutaryo. Tatalaksana Syok dan Perdarahan pada Demam Berdarah Dengue, Medika FK UGM, Yogyakarta, 2004 hal. 75 - 84

5. Tatty ES, Syok pada anak dan penatalaksanaan keadaan hipovolemik dalam Soemakto H. Simposium Nasional Pediatrik Gawat Darurat IV, UKK PGD PP-IDAI, Malang, 1998 hal 65 - 102