1. Definisi
Bronchopneumonia adalah radang
paru-paru yang mengenai satu atau
beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat
(Whalley and Wong, 1996). Bronchopneumonia mempunyai pola penyebaran berbercak,
teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi dan meluas ke
parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. (Smeltzer
& Suzanne C, 2002 : 572)
Bronchopneumina
adalah frekwensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama, tanda dan
gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat
(Suzanne G. Bare, 1993).
Bronchopneumonia
disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing (Sylvia Anderson, 1994).
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai
dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus, jamur
dan benda asing.
2. Etiologi
Bakteri : Diplococus Pneumonia, Pneumococcus,
Stretococcus Hemoliticus Aureus, Haemophilus Influenza, Basilus Friendlander
(Klebsial Pneumoni), Mycobacterium Tuberculosis.
Virus : Respiratory syntical virus, virus
influenza, virus sitomegalik.
Jamur : Citoplasma Capsulatum,
Criptococcus Nepromas, Blastomices Dermatides, Cocedirides Immitis, Aspergillus
Sp, Candinda Albicans, Mycoplasma Pneumonia. Aspirasi benda asing.
Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya Bronchopnemonia adalah daya tahan tubuh yang menurun misalnya akibat malnutrisi energi protein (MEP),
penyakit menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna.
3.
Fatofisiologi
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang
biasanya disebabkan oleh virus penyebab
Bronchopneumonia yang masuk ke
saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan broncus dan alveolus. Inflamasi
bronkus ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk
produktif, ronchi positif dan mual. Bila penyebaran kuman sudah mencapai
alveolus maka komplikasi yang terjadi adalah kolaps
alveoli, fibrosis, emfisema dan
atelektasis.
Proses-proses peradangan pada alveoli yang
meliputi empat stadium, yaitu :
A. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
B. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
C. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
D. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
A. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
B. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
C. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
D. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Bila tidak kembali atau mengalami penyembuhan maka
akan terjadi kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak
napas, dan napas ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan
penurunan produksi surfaktan sebagai pelumas yang berpungsi untuk melembabkan
rongga fleura. Emfisema (tertimbunnya cairan atau pus dalam rongga paru) adalah tindak lanjut
dari pembedahan. Atelektasis mngakibatkan peningkatan frekuensi napas,
hipoksemia, acidosis respiratori, pada klien terjadi sianosis, dispnea dan
kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya gagal napas.
4.
Manifestasi klinis
Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius
bagian atas. Penyakit ini umumnya timbul mendadak, suhu meningkat 39-40O C disertai
menggigil, napas sesak dan cepat, batuk-batuk yang non produktif “napas bunyi”
pemeriksaan paru saat perkusi redup, saat auskultasi suara napas ronchi basah
yang halus dan nyaring.
Batuk pilek yang
mungkin berat sampai terjadi insufisiensi pernapasan dimulai dengan infeksi
saluran bagian atas, penderita batuk kering, sakit kepala, nyeri otot,
anoreksia dan kesulitan menelan.
5.
Pemeriksaan
penunjang
·
Pengambilan
sekret secara broncoscopy dan fungsi paru untuk preparasi langsung, biakan dan
test resistensi dapat menemukan atau mencari etiologinya, tetapi cara ini tidak
rutin dilakukan karena sukar.
·
Secara
laboratorik ditemukan leukositosis biasa 15.000 – 40.000 / m dengan pergeseran
LED meninggi.
·
Foto thorax
bronkopeumoni terdapat bercak-bercak infiltrat pada satu atau beberapa lobus,
jika pada pneumonia lobaris terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa
lobus.
6. Faktor Resiko
a. Polusi udara
b. Infeksi saluran nafas bagian atas.
c. Immobilitas yang lama
d. Therapy immuno suptesif
(kortikosteroid, kemoterapi)
e. Malnutrisi,
dehidrasi
f. Penyakit kronis :DM, COPD, penyakit jantung
g. Tidak imunisasi DPT (difteri dan pertusis) dan
measles. (sofyani 2000)
h. Umur : umur
makin muda makin banyak.
7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya
disertai pemeriksaan penunjang. Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat
didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan
adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau
perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada
bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal. Kadar
hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun(1,2).
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan
mikrobiologi serologi, karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan
dan bila dapat dilakukan kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh
karena itu WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih
sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan :
Bronkopneumonia sangat berat :
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup
minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
Bronkopneumonia berat :
Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih
sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
Bronkopneumonia :
Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang
cepat :
> 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan
> 50 x/menit pada anak usia
2 bulan – 1 tahun
> 40 x/menit pada anak usia
1 - 5 tahun.
Bukan bronkopenumonia :
Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti
diatas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika. Diagnosis pasti
dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:
1. kultur sputum atau bilasan
cairan lambung
2. kultur nasofaring atau
kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
3. deteksi antigen bakteri
8. Penatalaksanaan
Kemotherapi untuk mycoplasma pneumonia, dapat diberikan
Eritromicin 4 X 500 mg sehari atau Tetrasiklin 3 – 4 mg sehari.
Obat-obatan ini
meringankan dan mempercepat penyembuhan terutama pada kasus yang berat.
Obat-obat penghambat sintesis SNA (Sintosin Antapinosin dan Indoksi Urudin) dan
interperon inducer seperti polinosimle, poliudikocid pengobatan simtomatik
seperti :
1.
Istirahat,
umumnya penderita tidak perlu dirawat, cukup istirahat dirumah.
2.
Simptomatik
terhadap batuk.
3.
Batuk yang
produktif jangan ditekan dengan antitusif
4.
Bila terdapat
obstruksi jalan napas, dan lendir serta ada febris, diberikan broncodilator.
5.
Pemberian
oksigen umumnya tidak diperlukan, kecuali untuk kasus berat. Antibiotik yang paling baik adalah antibiotik yang sesuai dengan
penyebab yang mempunyai spektrum sempit.
9. Komplikasi
Komplikasi dari bronchopneumonia adalah :
a. Atelektasis adalah pengembangan
paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru merupakan akibat kurangnya
mobilisasi atau refleks batuk hilang.
b. Empisema adalah suatu
keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat di satu tempat
atau seluruh rongga pleura.
c. Abses paru adalah pengumpulan
pus dalam jaringan paru yang meradang.
d. Infeksi sitemik
e. Endokarditis
yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
f. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput
otak.
Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
11. Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain:
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
11. Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain:
Vaksinasi Pneumokokus
Vaksinasi H. Influenza
Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit
Vaksinasi H. Influenza
Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit