Tromboemboli vena
merupakan penyebab kematian dan morbiditas mayor di antara pasien-pasien bedah.
Kebanyakan trombosis vena dalam (DVT) tidak menghasilkan tanda-tanda klinik,
dan kebanyakan emboli paru (PE) disebabkan
oleh DVT asimtomatik. DVT dapat disusul oleh sindrom pasca flebitis yang
mengganggu dengan pembengkakan tungkai, lipoder-matosklerosis, dan ulserasi.
Sekarang banyak bukti dari kajian acak yang baik bahwa
tindakan profilaksis efektif dalam mengurangi (namun tidak mengeliminasi)
risiko tromboemboli. Jika pasien memiliki risiko mengidap DVT atau PE dan tidak
digunakan profilaksis, maka dokter yang bertanggung jawab bisa dituntut.
Faktor risiko
Faktor risiko untuk DVT
mencakup pembedahan mayor dari abdomen, pelvis, ortopedi dan kardiovaskular.
Pasien yang menjalani operasi untuk trauma mayor dan luka bakar memiliki risiko
tinggi. Operasi yang berlangsung lebih dari 30 menit memiliki risiko lebih
besar daripada operasi singkat. Di samping itu, faktor-faktor berikut telah
dicatat sebagai predisposisi untuk tromboemboli vena pada pasien bedah:
·
DVT atau PE sebelumnya
·
Trombofilia atau hiperviskositas
·
Kehamilan atau nifas
·
Terapi hormon (penting dengan pil kontrasepsi tetapi lebih
ringan dengan HRT –lihat kemudian)
·
Obesitas
·
Keganasan
·
Gagal jantung
·
Imobilitas
·
Usia meningkat (penting pada usia > 40 tahun)
·
Penggunaan turniket tungkai selama pembedahan
·
Penyakit radang usus
·
Varises (dalam konteks bedah abdomen atau pelvis mayor).
Bergantung pada sifat penyakitnya, jenis operasi dan faktor risiko penyerta,
bisa ditentukan tingkat risiko pasien.
Tindakan profilaksis khusus umumnya tidak perlu untuk pasien risiko
rendah (mereka tanpa faktor risiko lain dan menjalani operasi minor berlangsung
< 30 menit; dan pasien < 40 tahun menjalani operasi mayor yang bukan
abdominal, pelvis, kardiovaskular, atau nerurologis). Kebanyakan pasien lain
harus mendapat profilaksis tromboemboli pada saat operasi.
Pasien-pasien risiko tinggi bisa terkena DVT atau PE bahkan tanpa suatu
operasi. Pasien dengan faktor risiko yang nyata harus mendapat profilaksis
sesegera mereka masuk RS. Pasien usia lanjut yang masuk dengan kedaruratan dan
menjalani observasi dan penyelidikan yang disusul oleh operasi, juga memiliki
risiko tinggi.
Metode profilaksis
Ada sejumlah uji klinik
tentang efektivitas berbagai metode pencegahan DVT dan PE pada bermacam-macam
operasi. Kebanyakan bersangkutan dengan operasi mayor pada abdomen dan panggul,
penggantian sendi besar yang diikuti risiko tinggi untuk tromboemboli. Metode
yang terbanyak digunakan adalah heparin subkutan dan stoking anti-emboli. Semua
unit bedah harus memiliki protokol tertulis untuk profilaksis, sehinga tidak
ada keraguan tentang metode yang digunakan dan pasien mana tepatnya yang harus
diberikan.
Umum
Prosedur umum yang
tampaknya pantas untuk profilaksis DVT meliputi:
·
Menghindari imobilitas, khususnya dengan mobilisasi dini
setelah operasi.
·
Hindari dehidrasi.
·
Tindakan selama operasi. Kebanyakan imobilisasi terjadi dalam
periode ini dan pembentukan DVT bisa terjadi di meja operasi. Profilaksis yang
diberikan hanya pada pasca bedah tidak efektif.
Heparin subkutan
·
Unfractionated heparin dosis rendah.(injeksi heparin biasa)
telah diperlihatkan pada banyak uji klinik mengurangi risiko DVT dari kira-kira
25% menjadi 8%, dan mengurangi sebesar 50% risiko PE pada pasien bedah umum.
Dosis 5000 U harus dimulai kira-kira 2 jam sebelum operasi (atau ketika masuk
RS pada pasien yang sakit) dan berikan setiap 8 atau 12 jam sesudahnya. Ada
bukti bahwa pemberian setiap 8 jam lebih efektif daripada setiap 12 jam,
sehingga dianjurkan meresepkan heparin setiap 8 jam pada pasien risiko tinggi.
Risiko utama dari heparin subkutan adalah meningkatnya perdarahan dan
pembentukan hematoma. Trombositopenia yang diinduksi heparin merupakan
komplikasi jarang (kekerapan kira-kira 0,3%) dan beberapa otoritas menganjurkan
pemantauan hitung trombosit jika heparin diberikan lebih dari 5 hari.
·
Heparin berat molekul rendah (LMWH) lebih mudah daripada
unfractionated heparin, karena diberikan sekali sehari. Dosis harian LMWH
adalah: certoparin 3000 U, dalteparin 2500 U, enoxaparin 2000 U, dan tinzaparin
3500 U. Efektivitasnya paling sedikit sama dengan unfractionat-ed
heparin pada bedah umum, dan lebih disukai untuk pasien dengan
penggantian sendi pinggul atau lutut. Komplikasi perdarahan yang ditimbulkan
LMWH lebih kecil bila dibandingkan unfractionated heparin. Kekurangannya
adalah harga lebih mahal.
·
Heparin dosis-disesuaikan lebih efektif daripada heparin dosis
rendah dan baku pada pasien-pasien risiko tinggi (misal penggantian sendi
pinggul) tetapi jarang digunakan karena memakan waktu dan sukar mengelola unfractionated
heparin setiap 8 jam. Di sini heparin dimulai dengan 3500 U 48 jam sebelum
operasi, dan dosis disesuaikan menurut APPT (activated partial thromboplas-tin
time).
Stoking dengan kompresi bertingkat (stoking anti-emboli)
Stoking ini mengurangi
risiko DVT, namun belum terbukti mengurangi DVT proksimal dan PE. Kombinasi
dengan heparin subkutan mungkin lebih efektif daripada masing-masing metode
sendiri. Stoking bawah lutut mungkin seefektif stoking dengan panjang penuh,
dan lebih nyaman. Stoking harus dipasang dengan hati-hati dan tungkai diperiksa
teratur untuk mencek apa ada kerusakan karena tekanan. Pasien dengan tungkai
yang bentuknya tidak normal mungkin tidak bisa mengenakan stoking kompresi.
Stoking sebaiknya dihindari jika denyut nadi kaki tidak teraba atau jika pasien
mempunyai gejala-gejala penyakit pembuluh darah tepi: jika ragu, periksa indeks
tekanan sistolik pergelangan kaki.
Dianjurkan pemakaian stoking pada pasien yang menjalani
prosedur laparoskopik, yang bisa menyebabkan stasis vena dengan meningkatkan
tekanan abdomen selama insuflasi abdomen.
Alat IPC (intermittent pneumatic compression)
Ini melibatkan kompresi
setiap tungkai selama kira-kria 10 detik setiap menit (35-40 mmHg).
Efektivitasnya sama seperti heparin dalam mencegah DVT. Ketersediaan dan
penggunaan mesin ini tergantung pada kebijakan RS atau bagian.
Foot pump adalah alat mekanis lain untuk
profilaksis. Kerjanya adalah mengosongkan pleksus vena plantaris dengan
kompresi ritmik. Alat kompresi digunakan luas pada bedah plastik dan ortopedi,
di mana ada kekhawatiran pening-katan perdarahan pada pemberian antikoagulan.
Warfarin
Warfarin telah
diperlihatkan efektif untuk pasien dengan bedah pinggul (penggantian sendi
elektif atau fraktur) serta operasi ginekologi. Warfarin bisa digunakan sebagai
dosis rendah tetap ( 2 mg /hari) atau dosis pantau dengan sasaran waktu
protrombin (INR, international normalized ratio) 2,0-3,0. beberapa uji klinik
telah menggunakan hanya warfarin untuk mengurangi komplikasi perdarahan, tetapi
sebaiknya dimulai sehari sebelum operasi. Profilaksis warfarin ‘dua-langkah’
juga telah diuraikan, yaitu memberikan dosis rendah selama 2 minggu sebelum
operasi, kemudian pasca bedah dosis lebih tinggi yang dipantau.
Profilaksis warfarin paling banyak digunakan pada bedah
ortopedi. Kadang-kadang warfarin mungkin sesuai untuk pasien bedah umum yang
risikonya sangat tinggi.
Dextran
Dextran intravena (dextran
70 dan 40) sama efektif seperti heparin dosis rendah untuk mencegah PE. Agaknya
dextran kurang efektif mencegah DVT, kecuali setelah fraktur pinggul. Dextran
belum populer untuk profilaksis karena harus diinfus, ada risiko kelebihan
beban cairan, dan anafilaksis.
Aspirin
Aspirin mungkin memiliki
efek mengurangi risiko DVT dan PE. Namun kurang berguna pada bedah umum dan
tidak seefektif metode lain dalam praktek ortopedi.
Durasi profilaksis anti-trombotik
Idealnya, profilaksis
harus dilanjutkan sampai pasien kembali ke aktivitas penuh. Dalam praktek
biasanya ini setelah pasien meninggalkan rumah sakit. Profilaksis mungkin perlu
diperpan-jang pada sebagian pasien risiko tinggi, namun pada pasien yang
tinggal di RS karena alasan sosial, profilaksis bisa dihentikan bila mereka
telah bergerak bebas.
Terapi hormon dan profilaksis tromboemboli
Keputusan untuk
menghentikan terapi hormon sebelum operasi masih kontroversial, dan sangat
dipengaruhi oleh pertimbangan medikolegal serta klinik, sehingga diskusi harus
dicatat di kartu pasien. Harus ada catatan tertulis apakah seorang wanita yang
akan menjalani operasi sedang mendapat terapi hormon atau tidak. Dari sisi
risiko DVT dan PE, ada tiga jenis terapi hormon:
·
Pil kontrasepsi yang mengandung estrogen (termasuk yang kombinasi
dengan progesteron). Risiko tromboemboli lebih tinggi secara bermakna dan
berkaitan langsung dengan kandungan estrogen. Sebaiknya pil ini dihentikan
selama 4 minggu sebelum pembedahan mayor, dan sampai hari-hari menstruasi
pertama yang terjadi paling kurang 2 minggu setelah mobilisasi penuh. Untuk
operasi minor dan intermediate, ada kasus yang memungkinkan wanita meneruskan
pil kontrasepsi, namun mereka ditegaskan untuk mobilisasi dini, penggunaan
tindakan profilaktik, dan konseling seksama (dicatat dalam kartu pasien).
Setiap kasus harus dipertimbangkan menurut kepentingan dan keinginan pasien.
Perlu ditegaskan keperluan kontrasepsi alternatif pada setiap wanita yang
disarankan menghentikan pil sebelum operasi.
·
Pil yang hanya mengandung progesteron. Tidak ada bukti bahwa
risiko DVT atau PE lebih tinggi, namun karena tingginya kekhawatiran akan
‘tromboemboli dan pil KB’ telah menyebabkan banyak dokter bedah untuk
memperlakukan mereka serupa dengan pemakai pil estrogen.
·
Terapi pengganti hormon (HRT =hormone replacement therapy): bukti terbaru telah
memperlihatkan ada peningkatan sedikit namun bermakna dari risiko tromboemboli
pada wanita yang mendapat HRT. Risiko
ini sangat rendah sehingga beralasan untuk membiarkan wanita melanjutkan HRT
pada saat operasi, namun pastikan tindakan profilaksis seperti heparin subkutan
digunakan.
Anestesia dan antikoagulasi
Blokade saraf pusat
(anestesia spinal atau epidural) dikon-traindikasikan pada pasien yang mendapat
antikoagulasi penuh karena risiko terjadinya hematoma di dalam kanal spinal.
Posisi antikoagulan yang digunakan sebagai profilaksis untuk DVT atau PE adalah
kontroversial. Dokter anestesi bervariasi dalam praktek mereka dan penting
untuk membahas rencana profilaksis DVT bersama dengan tim anestesi, khususnya dalam hal injeksi heparin
pra bedah.
Bacaan lanjut
1.
Cheketts MR, Wildsmith JAW (1999). Central nerve block and
thromboprophylaxis—is there a problem? British Journal of Anaetshesia 82:164-7.
2.
Clagett GP, Anderson FA, Heit J, Levine MN, Wheller HB
(1995). Prevention of venous thromboembolism. Chest 108:312-34S.
3.
Thromboembolic Risk Factors (THRIFT) Consensus Group (1992).
Risk of an prophylaxis for venous thromboembolism in hospital patients. British
Medical Journal 305:567-74.
4.
Wells PS, Lensing AWA, Hirsh J (1994). Graduated compression
stockings in the prevention of venous thromboembolism: a meta-analysis. Archives
of Internal Medicine 154:67-72.