11 orang yang mecoba mengejar mimpi menjadi seorang dokter yang sukses

Wednesday, July 25, 2012

PROFILAKSIS TROMBOEMBOLI VENA (DVT)

Tromboemboli vena merupakan penyebab kematian dan morbiditas mayor di antara pasien-pasien bedah. Kebanyakan trombosis vena dalam (DVT) tidak menghasilkan tanda-tanda klinik, dan kebanyakan emboli paru (PE)  disebabkan oleh DVT asimtomatik. DVT dapat disusul oleh sindrom pasca flebitis yang mengganggu dengan pembengkakan tungkai, lipoder-matosklerosis, dan ulserasi.
            Sekarang banyak bukti dari kajian acak yang baik bahwa tindakan profilaksis efektif dalam mengurangi (namun tidak mengeliminasi) risiko tromboemboli. Jika pasien memiliki risiko mengidap DVT atau PE dan tidak digunakan profilaksis, maka dokter yang bertanggung jawab bisa dituntut.

Faktor risiko
Faktor risiko untuk DVT mencakup pembedahan mayor dari abdomen, pelvis, ortopedi dan kardiovaskular. Pasien yang menjalani operasi untuk trauma mayor dan luka bakar memiliki risiko tinggi. Operasi yang berlangsung lebih dari 30 menit memiliki risiko lebih besar daripada operasi singkat. Di samping itu, faktor-faktor berikut telah dicatat sebagai predisposisi untuk tromboemboli vena pada pasien bedah:
·         DVT atau PE sebelumnya
·         Trombofilia atau hiperviskositas
·         Kehamilan atau nifas
·         Terapi hormon (penting dengan pil kontrasepsi tetapi lebih ringan dengan HRT –lihat kemudian)
·         Obesitas
·         Keganasan
·         Gagal jantung
·         Imobilitas
·         Usia meningkat (penting pada usia > 40 tahun)
·         Penggunaan turniket tungkai selama pembedahan
·         Penyakit radang usus
·         Varises (dalam konteks bedah abdomen atau pelvis mayor).

Bergantung pada sifat penyakitnya, jenis operasi dan faktor risiko penyerta, bisa ditentukan tingkat risiko pasien.
Tindakan profilaksis khusus umumnya tidak perlu untuk pasien risiko rendah (mereka tanpa faktor risiko lain dan menjalani operasi minor berlangsung < 30 menit; dan pasien < 40 tahun menjalani operasi mayor yang bukan abdominal, pelvis, kardiovaskular, atau nerurologis). Kebanyakan pasien lain harus mendapat profilaksis tromboemboli pada saat operasi.
Pasien-pasien risiko tinggi bisa terkena DVT atau PE bahkan tanpa suatu operasi. Pasien dengan faktor risiko yang nyata harus mendapat profilaksis sesegera mereka masuk RS. Pasien usia lanjut yang masuk dengan kedaruratan dan menjalani observasi dan penyelidikan yang disusul oleh operasi, juga memiliki risiko tinggi.

Metode profilaksis
Ada sejumlah uji klinik tentang efektivitas berbagai metode pencegahan DVT dan PE pada bermacam-macam operasi. Kebanyakan bersangkutan dengan operasi mayor pada abdomen dan panggul, penggantian sendi besar yang diikuti risiko tinggi untuk tromboemboli. Metode yang terbanyak digunakan adalah heparin subkutan dan stoking anti-emboli. Semua unit bedah harus memiliki protokol tertulis untuk profilaksis, sehinga tidak ada keraguan tentang metode yang digunakan dan pasien mana tepatnya yang harus diberikan.



Umum
Prosedur umum yang tampaknya pantas untuk profilaksis DVT meliputi:
·         Menghindari imobilitas, khususnya dengan mobilisasi dini setelah operasi.
·         Hindari dehidrasi.
·         Tindakan selama operasi. Kebanyakan imobilisasi terjadi dalam periode ini dan pembentukan DVT bisa terjadi di meja operasi. Profilaksis yang diberikan hanya pada pasca bedah tidak efektif.

Heparin subkutan
·         Unfractionated heparin dosis rendah.(injeksi heparin biasa) telah diperlihatkan pada banyak uji klinik mengurangi risiko DVT dari kira-kira 25% menjadi 8%, dan mengurangi sebesar 50% risiko PE pada pasien bedah umum. Dosis 5000 U harus dimulai kira-kira 2 jam sebelum operasi (atau ketika masuk RS pada pasien yang sakit) dan berikan setiap 8 atau 12 jam sesudahnya. Ada bukti bahwa pemberian setiap 8 jam lebih efektif daripada setiap 12 jam, sehingga dianjurkan meresepkan heparin setiap 8 jam pada pasien risiko tinggi. Risiko utama dari heparin subkutan adalah meningkatnya perdarahan dan pembentukan hematoma. Trombositopenia yang diinduksi heparin merupakan komplikasi jarang (kekerapan kira-kira 0,3%) dan beberapa otoritas menganjurkan pemantauan hitung trombosit jika heparin diberikan lebih dari 5 hari.
·         Heparin berat molekul rendah (LMWH) lebih mudah daripada unfractionated heparin, karena diberikan sekali sehari. Dosis harian LMWH adalah: certoparin 3000 U, dalteparin 2500 U, enoxaparin 2000 U, dan tinzaparin 3500 U.  Efektivitasnya  paling sedikit sama dengan unfractionat-ed heparin pada bedah umum, dan lebih disukai untuk pasien dengan penggantian sendi pinggul atau lutut. Komplikasi perdarahan yang ditimbulkan LMWH lebih kecil bila dibandingkan unfractionated heparin. Kekurangannya adalah harga lebih mahal.
·         Heparin dosis-disesuaikan lebih efektif daripada heparin dosis rendah dan baku pada pasien-pasien risiko tinggi (misal penggantian sendi pinggul) tetapi jarang digunakan karena memakan waktu dan sukar mengelola unfractionated heparin setiap 8 jam. Di sini heparin dimulai dengan 3500 U 48 jam sebelum operasi, dan dosis disesuaikan menurut APPT (activated partial thromboplas-tin time).

Stoking dengan kompresi bertingkat (stoking anti-emboli)
Stoking ini mengurangi risiko DVT, namun belum terbukti mengurangi DVT proksimal dan PE. Kombinasi dengan heparin subkutan mungkin lebih efektif daripada masing-masing metode sendiri. Stoking bawah lutut mungkin seefektif stoking dengan panjang penuh, dan lebih nyaman. Stoking harus dipasang dengan hati-hati dan tungkai diperiksa teratur untuk mencek apa ada kerusakan karena tekanan. Pasien dengan tungkai yang bentuknya tidak normal mungkin tidak bisa mengenakan stoking kompresi. Stoking sebaiknya dihindari jika denyut nadi kaki tidak teraba atau jika pasien mempunyai gejala-gejala penyakit pembuluh darah tepi: jika ragu, periksa indeks tekanan sistolik pergelangan kaki.
            Dianjurkan pemakaian stoking pada pasien yang menjalani prosedur laparoskopik, yang bisa menyebabkan stasis vena dengan meningkatkan tekanan abdomen selama insuflasi abdomen.

Alat IPC (intermittent pneumatic compression)
Ini melibatkan kompresi setiap tungkai selama kira-kria 10 detik setiap menit (35-40 mmHg). Efektivitasnya sama seperti heparin dalam mencegah DVT. Ketersediaan dan penggunaan mesin ini tergantung pada kebijakan RS atau bagian.
            Foot pump adalah alat mekanis lain untuk profilaksis. Kerjanya adalah mengosongkan pleksus vena plantaris dengan kompresi ritmik. Alat kompresi digunakan luas pada bedah plastik dan ortopedi, di mana ada kekhawatiran pening-katan perdarahan pada pemberian antikoagulan.

Warfarin
Warfarin telah diperlihatkan efektif untuk pasien dengan bedah pinggul (penggantian sendi elektif atau fraktur) serta operasi ginekologi. Warfarin bisa digunakan sebagai dosis rendah tetap ( 2 mg /hari) atau dosis pantau dengan sasaran waktu protrombin (INR, international normalized ratio) 2,0-3,0. beberapa uji klinik telah menggunakan hanya warfarin untuk mengurangi komplikasi perdarahan, tetapi sebaiknya dimulai sehari sebelum operasi. Profilaksis warfarin ‘dua-langkah’ juga telah diuraikan, yaitu memberikan dosis rendah selama 2 minggu sebelum operasi, kemudian pasca bedah dosis lebih tinggi yang dipantau.
            Profilaksis warfarin paling banyak digunakan pada bedah ortopedi. Kadang-kadang warfarin mungkin sesuai untuk pasien bedah umum yang risikonya sangat tinggi.

Dextran
Dextran intravena (dextran 70 dan 40) sama efektif seperti heparin dosis rendah untuk mencegah PE. Agaknya dextran kurang efektif mencegah DVT, kecuali setelah fraktur pinggul. Dextran belum populer untuk profilaksis karena harus diinfus, ada risiko kelebihan beban cairan, dan anafilaksis.

Aspirin
Aspirin mungkin memiliki efek mengurangi risiko DVT dan PE. Namun kurang berguna pada bedah umum dan tidak seefektif metode lain dalam praktek ortopedi.

Durasi profilaksis anti-trombotik
Idealnya, profilaksis harus dilanjutkan sampai pasien kembali ke aktivitas penuh. Dalam praktek biasanya ini setelah pasien meninggalkan rumah sakit. Profilaksis mungkin perlu diperpan-jang pada sebagian pasien risiko tinggi, namun pada pasien yang tinggal di RS karena alasan sosial, profilaksis bisa dihentikan bila mereka telah bergerak bebas.

Terapi hormon dan profilaksis tromboemboli
Keputusan untuk menghentikan terapi hormon sebelum operasi masih kontroversial, dan sangat dipengaruhi oleh pertimbangan medikolegal serta klinik, sehingga diskusi harus dicatat di kartu pasien. Harus ada catatan tertulis apakah seorang wanita yang akan menjalani operasi sedang mendapat terapi hormon atau tidak. Dari sisi risiko DVT dan PE, ada tiga jenis terapi hormon:
·         Pil kontrasepsi yang mengandung estrogen (termasuk yang kombinasi dengan progesteron). Risiko tromboemboli lebih tinggi secara bermakna dan berkaitan langsung dengan kandungan estrogen. Sebaiknya pil ini dihentikan selama 4 minggu sebelum pembedahan mayor, dan sampai hari-hari menstruasi pertama yang terjadi paling kurang 2 minggu setelah mobilisasi penuh. Untuk operasi minor dan intermediate, ada kasus yang memungkinkan wanita meneruskan pil kontrasepsi, namun mereka ditegaskan untuk mobilisasi dini, penggunaan tindakan profilaktik, dan konseling seksama (dicatat dalam kartu pasien). Setiap kasus harus dipertimbangkan menurut kepentingan dan keinginan pasien. Perlu ditegaskan keperluan kontrasepsi alternatif pada setiap wanita yang disarankan menghentikan pil sebelum operasi.
·         Pil yang hanya mengandung progesteron. Tidak ada bukti bahwa risiko DVT atau PE lebih tinggi, namun karena tingginya kekhawatiran akan ‘tromboemboli dan pil KB’ telah menyebabkan banyak dokter bedah untuk memperlakukan mereka serupa dengan pemakai pil estrogen.
·         Terapi pengganti hormon (HRT =hormone replacement therapy): bukti terbaru telah memperlihatkan ada peningkatan sedikit namun bermakna dari risiko tromboemboli pada wanita yang mendapat HRT.  Risiko ini sangat rendah sehingga beralasan untuk membiarkan wanita melanjutkan HRT pada saat operasi, namun pastikan tindakan profilaksis seperti heparin subkutan digunakan.

Anestesia dan antikoagulasi
Blokade saraf pusat (anestesia spinal atau epidural) dikon-traindikasikan pada pasien yang mendapat antikoagulasi penuh karena risiko terjadinya hematoma di dalam kanal spinal. Posisi antikoagulan yang digunakan sebagai profilaksis untuk DVT atau PE adalah kontroversial. Dokter anestesi bervariasi dalam praktek mereka dan penting untuk membahas rencana profilaksis DVT bersama dengan tim  anestesi, khususnya dalam hal injeksi heparin pra bedah.

Bacaan lanjut
1.      Cheketts MR, Wildsmith JAW (1999). Central nerve block and thromboprophylaxis—is there a problem? British Journal of Anaetshesia 82:164-7.
2.      Clagett GP, Anderson FA, Heit J, Levine MN, Wheller HB (1995). Prevention of venous thromboembolism. Chest 108:312-34S.
3.      Thromboembolic Risk Factors (THRIFT) Consensus Group (1992). Risk of an prophylaxis for venous thromboembolism in hospital patients. British Medical Journal 305:567-74.
4.      Wells PS, Lensing AWA, Hirsh J (1994). Graduated compression stockings in the prevention of venous thromboembolism: a meta-analysis. Archives of Internal Medicine 154:67-72.