PENDAHULUAN
Sejak dilakukannya tindakan bedah, sebenarnya
kalangan medis telah berusaha untuk melakukan tindakan anestesi yang bertujuan
untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri atau rasa sakit. (Anonim, 1989)
Pada prinsipnya, seorang penderita akan dibuat tidak sadarkan diri dengan
melakukan tindakan yang sering dilakukan secara fisik seperti memukul, mencekik
dan lain sebagainya. Hal tersebut terpaksa dilakukan agar pasien tidak merasa
kesakitan dan akhirnya meloncat dari meja operasi yang mengakibatkan
terganggunya jalannya acara operasi. (Anonim, 1986).
Sejak diperkenalkannya penggunaan gas ether oleh
William Thomas Greene Morton pada tahun 1846 di Boston Amerika Serikat, maka
berangsur-angsur cara kekerasan fisik yang sering dilakukan untuk mencapai
keadaan anestesi mulai ditinggalkan. Penemuan tersebut merupakan titik balik
dalam sejarah ilmu bedah, karena membuka cakrawala kemungkinan dilakukannya
tindakan bedah, yang lebih luas, mudah serta manusiawi. (Anonim, 1986).
Dalam suatu tindakan operasi, seorang dokter bedah
tidak dapat bekerja sendirian dalam membedah pasien sekaligus menciptakan
keadaan anestesi. Dibutuhkan keberadaan seorang dokter anestesi untuk
mengusahakan, menangani dan memelihara keadaan anestesi pasien. Tugas seorang
dokter anestesi dalam suatu acara operasi antara lain :
1. Menghilangkan rasa nyeri dan stress emosi
selama dilakukannya proses
pembedahan atau prosedur medik lain.
2. Melakukan pengelolaan
tindakan medik umum kepada pasien yang dioperasi, menjaga fungsi organ-organ
tubuh berjalan dalam batas normal sehingga keselamatan pasien tetap terjaga.
3. Menciptakan kondisi operasi dengan sebaik
mungkin agar dokter bedah dapat melakukan
tugasnya dengan mudah dan efektif.
Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh
seorang dokter ahli anestesi adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh
pasien secara normal, tanpa pengaruh yang berarti akibat proses pembedahan
tersebut. Pengelolaan jalan napas menjadi salah satu bagian yang terpenting
dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang
dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas berjalan
dengan baik.
Salah satu
usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan
intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran
pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam
anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat
berjalan dengan lancar serta teratur. Bahkan, menurut Halliday (2002) penggunaan intubasi endotrakheal juga
direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat mengganggu
jalan napas.
Anatomi
- Fisiologi Saluran Napas Bagian Atas.
Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal
terlebih dahulu kita harus memahami anatomi dan fisiologi jalan napas bagian
atas dimana intubasi itu dipasang. Pada pembahasan tentang anatomi dan
fisiologi ini, penyusun akan menguraikan tentang beberapa hal yang menyangkut
fisiologi rongga orofaring, sebagian naso faring dan akan lebih ditekankan lagi
pada bagian laring. (William, 1995 : 1630).
Anatomi
Saluran Nafas Bagian Atas, Respirasi Internal dan Eksternal
Respirasi merupakan kombinasi dari proses
fisiologi dimana oksigen dihisap dan karbondioksida dikeluarkan oleh sel-sel
dalam tubuh. Hal ini merupakan proses pertukaran gas yang penting. Respirasi
dibagi dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam pengertian yang
sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari pergerakan otot dan skelet,
dimana udara untuk pertama kali didorong ke dalam paru dan selanjutnya
dikeluarkan. Peristiwa ini termasuk inspirasi dan ekspirasi. Fase yang lain
adalah respirasi internal yang meliputi perpindahan / pergerakan
molekul-molekul dari gas-gas pernafasan (oksigen dan karbondioksida) melalui
membrana, perpindahan cairan, dan sel-sel dari dalam tubuh sesuai keperluan.
Gambar
1.: Anatomi Pernafasan
FISIOLOGI
RESPIRASI
Sistem respirasi manusia mempunyai gambaran desain umum yang dapat
dihubungkan dengan sejumlah aktivitas penting. Respirasi merupakan kombinasi dari proses fisiologi dimana oksigen dihisap dan
karbondioksida dikeluarkan oleh sel-sel dalam tubuh. Respirasi adalah
pertukaran gas-gas antara organism hidup dan lingkungan sekitarnya.Pada manusia
dikenal dua macam respirasi yaitu eksternal dan internal.
Respirasi eksternal adalah
pertukaran gas-gas antara darah dan udara sekitarnya. Pertukaran ini meliputi
beberapa proses yaitu :
1.Ventilasi:proses masuk udara sekitar dan
pembagian udara tersebut ke alveoli
2.Distribusi :distribusi dan percampuran
molekul-molekul gas intrapulmoner
3.Difusi : masuknya gas-gas menembus selaput
alveolo-kapiler
4.Perfusi : pengambilkan gas-gas oleh aliran darah
kapiler paru yang adekuat.
Respirasi internal adalah
pertukaran gas-gas antara darah dan jaringan. Pertukaran ini meliputi beberapa
proses yaitu :
1.Efisiensi kardiosirkulasi dalam menjalankan
darah kaya oksigen
2.Distribusi kapiler
3.Difusi,perjalanan gas ke ruang interstitial dan
menembus dinding sel
4.Metabolisme sel yang melibatkan enzim.
Gambar.2. : Sistem Respirasi
INTUBASI ENDOTRAKHEAL
A. Definisi
Menurut Hendrickson
(2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut
atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada
intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke
dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan
dikendalikan (Anonim, 2002).
B. Tujuan
Tujuan
dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran
trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah
aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien
operasi. Pada dasarnya,
tujuan intubasi endotrakheal :
a.
Mempermudah pemberian anestesia.
b.
Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran
pernafasan.
c.
Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks
batuk).
d.
Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e.
Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f.
Mengatasi obstruksi laring akut.
C. Persiapan pasien
• Beritahukan pasien tentang tindakan yang akan
dilakukan
• Mintakan persetujuan keluarga / informed consent
• Berikan support mental
• Hisap cairan / sisa makanan dari naso gastric tube.
• Yakinkan pasien terpasang IV line dan infus
menetes dengan lancar
D. Alat-alat yang dipergunakan
- Laringoskop.
Ada dua jenis laringoskop yaitu :
- Blade
lengkung (McIntosh). à dewasa.
- Blade lurus. (blade Magill) bayi dan anak-anak.
- Pipa
endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu
misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa
ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan
pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff)
pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak
karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada
orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit
adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter
internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm.
Untuk
intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus
:
Rumus tersebut merupakan
perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk
anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari
kelingkingnya.
- Pipa
orofaring atau nasofaring. à
mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan faring
pada pasien yang tidak diintubasi.
- Plester à memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
- Stilet atau forsep intubasi. (McGill) à mengatur kelengkungan pipa endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
- Alat pengisap atau suction.
Gambar 3. Persiapan alat-alat
.
E. Persiapan obat-obatan
Obat-obatan untuk intubasi
• Sedasi
- Pentothal 25 mg / cc dosis 4-5 mg/kgbb
- Dormicum 1 mg / cc dosis 0,6 mg/kgbb
- Diprivan 10 mg/cc 1-2 mg/kgbb
• Muscle relaksan
- Succynilcholin 20 mg / cc dosis 1-2 mg/kgbb
- Pavulon 0,15 mg/kgbb
- Tracrium 0,5-0,6 mg/kgbb
- Norcuron 0,1 mg/kgbb
• Obat-obatan emergency (troley emergency)
- Sulfas Atropine
- Epedrine
- Adrenalin / Epinephrin
- Lidocain 2%
F. Posisi
Pasien untuk Tindakan Intubasi.
Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam
keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air position. Kesalahan yang
umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.
Posisi Untuk Intubasi
Ganmbar.4 : Posisi Intubasi
G. Indikasi
dan Kontraindikasi.
Indikasi bagi
pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele
tahun
2002
antara lain :
a. Keadaan
oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen
arteri dan lain-lain) yang tidak dapat
dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen
melalui masker nasal.
b. Keadaan
ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c.
Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet.
d.
Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang
terjadi.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi
dilakukannya intubasi
endotrakheal
antara lain :
a.
Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada
beberapa kasus.
b.Trauma
servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan
intubasi.
H. Kesulitan intubasi
Kesulitan yang sering dijumpai dalam intubasi
endotrakheal (Mansjoer Arif et.al., 2000)
biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi
yang lengkap.
b. Recoding
lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara
mental symphisis dengan lower alveolar
margin yang melebar memerlukan
depresi rahang bawah yang lebih lebar selama
intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus
palatum yang tinggi.
d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple
arthritis yang menyerang
sendi
temporomandibuler, spondilitis servical spine.
f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi
kepala
pada leher di sendi atlantooccipital.
g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi
leher.
h. Fraktur servical
i. Rahang bawah kecil
j. Osteoarthritis
temporo mandibula joint
k.Trismus.
l. Ada masa di pharing dan laring
G. Kegagalan intubasi
Hal yang perlu dilakukan apabila terjadi keadaan gagal intubasi adalah
mengunakan alat-alat anestesi lain yang kemungkinan dapat berguna. Salah satu
yang dapat dan sangat sering digunakan serta menunjukkan angka keberhasilan
cukup tinggi adalah laryngeal mask airway
(LMA) atau sungkup laring. Selain itu pada keadaan yang sangat gawat, tindakan
krikotiroidotomi dengan menggunakan jarum yang besar dapat dilakukan 4
Gambar 5. Penampakan
faring posterior pada tes Mallampati.
Penting untuk dicatat luas lapangan
pandang dari laring yang telah kita dapatkan. Informasi ini penting, apabila di
kemudian hari dilakukan kembali tindakan manajemen jalan napas. Gambaran
standart yang digunakan adalah klasifikasi menurut Cormack dan Lehane (1984):
1. Grade
1 : seluruh laring dapat terlihat
2. Grade
2 : bagian posterior dari laring saja yang dapat
terlihat
3. Grade
3 : hanya epiglotis saja yang dapat terlihat
4. Grade
4 : tidak ada bagian laring yang dapat terlihat
Komplikasi
Intubasi Endotrakheal.
A.
Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi (Anonim, 1989)
a. Malposisi berupa intubasi
esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa
kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera tenggorok,
dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.
c. Gangguan refleks berupa hipertensi,
takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan intraocular meningkat dan
spasme laring.
d. Malfungsi
tuba berupa perforasi cuff.
B.
Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.
a. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi
sendiri, intubasi ke endobronkial
dan malposisi laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan
ulserasi mukosa, serta
ekskoriasi kulit hidung
c. Malfungsi tuba berupa obstruksi.
C.
Komplikasi setelah ekstubasi.
a. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis
(glotis, subglotis atau
trachea),
suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara),
malfungsi
dan aspirasi laring.
b. Gangguan refleks berupa spasme laring.
Anonim,
(1986), Kesimpulan Kuliah Anestesiologi, edisi pertama, Aksara
Medisina,
Jakarta.
Prosedur Tindakan Intubasi.
A. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan
dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala
(bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus)à kepala dalam keadaan ekstensi serta
trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.
B. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan
diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100%
minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan
balon dengan tangan kanan.
C. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan
tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Blade
laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Blade
laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri
dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan
dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita
suara yang tampak keputihan bentuk huruf V.
D. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa
dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa
tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta
untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan
jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi
diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon
pipa dikembangkan dan blade laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi
dengan plester.
E. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan
mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi
dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada
ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi
endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan
suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih
berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai
ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus
maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat
ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin
lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan
intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
F. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan
sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.
Gambar 6. Correct (endotracheal) vs.
Incorrect (Esophageal) Intubation
Tanda-tanda ETT
- Dada mengembang
- Terdapat embun di ET
- Kemballinya bellow baik
- Auskultasi di lapang paru +
- Auskultasi di epigastrium –
Laryngeal Mask Airway (LMA)
Apabila terjadi keadaan gagal
intubasi adalah menggunakan alat-alat anestesi lain yang kemungkinan dapat
berguna. Salah satu yang dapat dan sangat sering digunakan serta menunjukkan
angka keberhasilan cukup tinggi adalah laryngeal
mask airway (LMA) atau sungkup laring.
Laryngeal mask airway mempunyai beberapa keuntungan dbandingkan dengan Endotrakeal tube. pemasangan tidak memerlukan laringoskop, tidak
memerlukan pelumpuh otot, tidak merusak pita suara, respon kardiovaskuler
sangat rendah jika dibandingkan intubasi endotrakeal
Tabel.1 Keuntungan dan kerugian LMA
dibandingkan intubasi ET dan sungkup muka.
Tabel.2 Karakteristik dari laryngeal
mask airway
Macam – macam bentuk LMA,antara lain ;
1 2 3 4 5
Gambar.7 macam-macam laryngeal mask airway
Keterangan ;
- LMA
ProSeal
- LMA
Flexible
- LMA Ctrach
- LMA
Fastrach
- LMA Klasik
Indikasi penggunaan LMA
Yang menjadi indikasi untuk
menggunakan LMA antara lain sebagai berikut :
1. Untuk menghasilkan jalan nafas yang lancar
tanpa penggunaan sungkup muka.
2. Untuk menghindari penggunaan ET/melakukan
intubasi endotrakeal
3. selama ventilasi spontan.
4. Pada kasus-kasus kesulitan intubasi.
5. Untuk memasukkan ET ke dalam trakea
melalui alat intubating LMA.
Kontraindikasi penggunaan LMA
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan yang
merupakan kontraindikasi untuk menggunakan LMA, yaitu :
1. Ketidakmampuan menggerakkan kepala atau
membuka mulut > 1,5 cm, misalnya pada ankylosing
spondylitis, severe rheumatoid arthritis, servical spine instability, yang akan mengakibatkan kesulitan memasukkan
LMA.
2.
Kelainan didaerah faring
(abses, hematom).
3.
Obstruksi jalan nafas pada atau
dibawah laring.
Pasien
dengan lambung penuh atau kondisi yang menyebabkan lambatnya
pengosongan lambung.
4. Meningkatnya resiko regurgitasi
(hernia hiatus, ileus intestinal).
5.
Ventilasi satu paru.
6. Keadaan dimana daerah pembedahan akan
terhalang oleh kaf dari LMA.
EKSTUBASI
Ekstubasi adalah mengeluarkan pipa endotrakheal setelah dilakukkan intubasi(6)
Tujuan Ekstubasi
Ekstubasi adalah mengeluarkan pipa endotrakheal setelah dilakukkan intubasi(6)
Tujuan Ekstubasi
1. Untuk menjaga agar pipa endotrakheal
tidak menimbulkan trauma.
2. Untuk mengurangi reaksi jaringan
laringeal dan menurunkan resiko setelah ekstubasi
Syarat Ekstubasi
- insufisiensi nafas (-)
- hipoksia (-)
- hiperkarbia (-)
- kelainan asam basa (-)
- gangguan
sirkulasi (TD turun, perdarahan) (-)
- pasien sadar penuh
- mampu bernafas bila diperintah
- kekuatan otot sudah pulih
- tidak ada distensi lambung
Kriteria
Ekstubasi
Ekstubasi yang berhasil bila
Ekstubasi yang berhasil bila
1. Vital
capacity 10 – 15 ml/kg BB
2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O
3. PaO2 diatas 80 mm Hg
4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil
5. Tidak ada efek sisa
dari obat pelemas otot
6.
reflek jalan napas
sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh
Pelaksanaan Ekstubasi
Sebelum
ekstubasi dilakukan terlebih dahulu membersihkan rongga mulut efek obat pelemas
otot sudah tidak ada, dan ventilasi sudah adequate.
Melakukan pembersihan mulut sebaiknya dengan kateter yang steril. Walaupun
diperlukan untuk membersihkan trachea atau faring dari sekret sebelum
ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus menerus bila terjadi batuk
dan sianosis. Sebelum dan sesudah melakukan pengisapan, sebaiknya diberikan
oksigen. Apabila plester dilepas, balon sudah dikempiskan, lalu dilakukan
ekstubasi dan selanjutnya diberikan oksigen dengan sungkup muka. Pipa
endotrakheal jangan dicabut apabila sedang melakukan pengisapan karena kateter
pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan, atau spasme laring
Sesudah
dilakukan ektubasi, pasien hendaknya diberikan oksigen dengan sungkup muka bila
perlu rongga mulut dilakukan pembersihan kembali. Sebelum dan sesudah ektubasi
untuk menghindari spasme laring., ekstubasi dilakukan pada stadium anestesi
yang dalam atau dimana reflek jalan sudah positif.
Napas sudah
baik. Untuk mencegah spasme bronchus atau batuk, ekstubasi dapat dilakukan pada
stadium anestesi yang dalam dan pernapasan sudah spontan. Spasme laring dan
batuk dapat dikurangi dengan memberikan lidokain 50 – 100 mg IV (intra vena)
satu menit atau dua menit sebelum ektubasi
Kadang-kadang
dalam melakukan ekstubasi terjadi kesukaran, kemungkinan kebanyakan disebabkan
oleh balon pada pipa endotrakheal besar, atau sulit dikempiskan, pasien mngigit
pipa endotrakheal. Ekstubasi jangan dilakukan apabila ada sianosis, hal ini
disebabkan adanya gangguan pernapasan yang tidak adequate atau pernapasan susah
dikontrol dengan menggunakan sungkup muka pada pembedahan penuh ekstubasi
napas. Pasien dengan lambung penuh ekstubasi dilakukan apabila pasien sudah
bangun atau dilakukan ekstubasi pada posisi lateral.
Pada pembedahan maxillofacial daerah jalan napas bila perlu dipertimbangkan untuk melakukan trakheostomy sebelum ekstubasi.
Pada pembedahan maxillofacial daerah jalan napas bila perlu dipertimbangkan untuk melakukan trakheostomy sebelum ekstubasi.
Apabila
pasien mengalami gangguan pernapasan atau pernapasan tidak adequate pipa hendaknya jangan dicabut sampai penderita sudah yakin
baik, baru ke ruang pulih dengan bantuan napas terus menrus secarra mekanik
sehingga adequate.
Pengisapan Trakhea
Pengisapan
orotrakheal atau nasotrakheal hanya dilakukan apabila pada auskultasi terdengar
adanya bunyi yang ditimbulkan oleh retensi sekret dan tidak dapat dibersihkan
dengan batuk. Pengisapan trachea sebaiknya tidak dilakukan sebagai pencegahan
atau secara rutin. Hal ini menyebabkan iritasi mekanisme oleh kateter selama
pengisapan trachea, serta dapat pula menyebabkan trauma pernapasan, dan hal ini
merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi. Selain itu pengisapan trachea oleh kateter dapat menimbulkan
reflek vagal, dapat berupa bradikardi dan hipotensi.
Pengisapan trachea juga dapat menimbulkan
hipoksemia karena aspirasi gas pada paru-paruyang menyebabkan penutupan “small air way” kolapnya dan alveoli. Hipoksemia selama pengisapan trachea dapat
dikurangi dengan cara :
1. Pemberian oksigen 100% sebelum pengisapan.
2.
Diameter kateter pengisap tidak lebih dari setengah
diameter trachea.
3.
Lama pengisapan tidak lebih dari 15 detik.
4.
Setelah melakukan pengisapan, dilakukan pemompaan secara
manual untuk mengembangkan alveoli kembali.
Penyulit
Ekstubasi
Hal-hal yang dapat terjadi setelah sektubasi :
Hal-hal yang dapat terjadi setelah sektubasi :
1. Spasme laring
2. Aspirasi
3. Edema laring akut karena trauma selam
ekstubasi
Penyulit lanjut setelah dilakukan
ekstubasi :
1. Sakit tenggorokan
2. Stenosis trachea dan trakheomolasia
3. Radang membran laring
dan ulserasi
4. Paralisis dan
granuloma pita suara
5. Luka pada sarap lidah.
. Komplikasi setelah ekstubasi.
1.
Trauma jalan nafas berupa edema
dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara sesak atau parau
(granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
2. Gangguan refleks berupa spasme laring.
KESIMPULAN
Penggunaan intubasi endotrakeal pada
anestesi umum adalah penting, mengingat perlu tetap dipeliharanya pernapasan
yang adekuat. Pemasangan intubasi harus mengikuti prosedur yang baik agar
tujuan dari penggunaannya dapat tercapai tanpa timbul efek samping.
Dari
pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa intubasi endotrakheal adalah
suatu tindakan pembebasan jalan nafas (airway)
dengan cara memasukkan selang ETT ke trakhea dengan tujuan pemberian oksigen
dan lain-lain. Sebelum melakukan prosedur intubasi endotrakheal,kita harus
melakukan persiapan pasien dan keluarga (informed
consent),persiapan obat-obatan(obat emergency,induksi,pelumpuh otot), dan
persiapan alat-alat (Ambu bag, sungkup oksigen,laringoscop handle
dan blade,mesin suction dan suction catheter,oropharingeal
airway ,endotracheal tubes sesuai ukuran pasien dan stylet,plester dan gunting,spuit 10 cc,xylocaine jell,stetoskop,serta hand scoon.
Indikasi intubasi endotrakheal antara lain untuk menjamin oksigenasi
yang adekuat (terutama pada orang dengan penurunan kesadaran dan
obstruksi saluran pernafasan),perlindungan saluran pernapasan dari aspirasi
lambung dan regurgitasi,serta pada prosedur bedah yang melibatkan kepala dan leher /
posisi tengkurap yang menghalangi jalan
nafas.
Setelah dilakukannya intubasi perlu dilakukannya ekstubasi, Untuk menjaga agar pipa endotrakheal tidak
menimbulkan trauma dan untuk mengurangi reaksi jaringan laringeal dan
menurunkan resiko setelah ekstubasi.
DAFTAR PUSTAKA
- Protap pemasangan ETT (Endotrakeal tube) available from: http://www.scribd.com/doc/58779525/17/Pengertian-Intubasi/ Diunduh pada tanggal 3 November 2011.
- Putz R,Pabst R.Anatomy. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Jakarta:EGC;2007
3. Lauralee Sherwood,Sistem Pernapasan.Fisiologi
manusia.Jakarta : EGC ; 2001 ; 13 : 410-448.
4. Anastesi
adalah seni available from: http://www.scribd.com/doc/51439743/menguak-misteri-kamar-bius/
Diunduh tanggal 3 november 2011.
5. Kriteria
intubasi. Available from : http://www.scribd.com/doc/55253315/kriteria-intubasi-ekstubasi/
Diunduh pada tanggal 3 November 2011.
- Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR.
Ilmu Dasar Anestesia. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007; 2:3-45
- Intubasi Endotrakeal. Availeble from : http://medlinux.blogspot.com/2007/09/intubasi-endotrakeal.html/ Diunduh tanggal 3 November 2011.
8.
Desai,Arjun M.2010. Anestesi.
Stanford University School of Medicine. Diakses dari: http://emedicine.medcape.com
9.
Gamawati,
Dian Natalia dan Sri Herawati. 2002. Trauma Laring
Akibat Intubasi Endotrakeal. Diakses dari: http://ojs.lib.unair.ac.id