Nyeri akut sering dikelola
dengan tidak memadai. Ini tidak seharusnya demikian. Kontrol nyeri sering bisa
diperbaiki dengan strategi sederhana:
·
Nilai nyeri
·
Atasi dengan obat dan teknik yang anda sudah terbiasa
·
Nilai kembali nyeri setelah terapi dan bersiap untuk
memodifikasi pengobatan jika perlu.
Analgesia yang baik
mengurangi komplikasi pasca bedah seperti infeksi paru, mual dan muntah, DVT
,dan ileus.
Prinsip umum
·
Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa
nyeri. Mereka perlu didengarkan dan dipercaya.
·
Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan
untuk membuktikan bahwa seseorang sedang berpura-pura nyeri.
·
Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan
analgesia yang bervariasi pada berbagai pasien.
·
Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara
berbeda oleh berbagai pasien.
·
Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan
adiksi obat.
·
Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah.
·
Cari sebab-sebab nyeri yang bisa diatasi, tetapi jangan tunda
analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-tanda bedah.
·
Dosis tepat dari analgesik opioid adalah ‘cukup dan sering
cukup’
·
Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering
diperoleh dengan kombinasi berbagai obat dengan cara pemberian berbeda (misal
opioid dan AINS dan anestesi lokal)
Penilaian
nyeri, analgesia, dan sedasi
·
Sistem skoring digunakan untuk menilai nyeri dan untuk
mengukur efektivitas pengobatan. Skor nyeri bisa ditulis di kartu suhu atau
pada kartu nyeri terpisah.
·
Skala analogi visual (VAS) adalah garis 10 cm di mana
ujung-ujungnya adalah 0 (tak ada nyeri) dan 10 (nyeri terburuk yang bisa
dibayangkan). Pasien membubuhi tanda pada garis untuk mengungkapkan keparahan
nyeri mereka. Teknik ini mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada
dalam nyeri hebat.
·
Verbal rating scale (VRS) lebih sederhana. Pasien ditanya
apakah mereka tidak merasa nyeri, nyeri ringan, sedang atau berat dan diberi
skor 0 untuk tidak nyeri, 1 untuk nyeri ringan, 2 untuk nyeri sedang, dan 3
untuk nyeri berat.
·
Pasien harus dinilai setelah dibangunkan dengan lembut.
Sedasi sebaiknya diberi skor sekaligus: 0 jika bangun, 1 jika mengantuk
kadang-kadang, 2 jika kebanyakan tidur, 3 jika sukar dibangunkan.
·
Kombinasi skor sedasi dan frekuensi napas bisa digunakan
untuk mendiagnosis overdosis opioid.
·
Frekuensi < 8/menit dengan skor sedasi 3 menunjukkan
overdosis.
·
Pernapasan lambat tanpa over-sedasi bisa diterima, tetapi
memerlukan kewaspadaan.
·
Naloxone intravena harus ditirasi dengan penambahan setiap
200 mg sampai over-sedasi
memulih tanpa mengurangi efek analgesia. Naloxone mungkin bekerja lebih singkat
daripada opioid, sehingga penilaian harus dilanjutkan karena sedasi bisa
berulang.
Prinsip
umum dari terapi obat
Perlu diketahui sejumlah
terbatas obat dan pertimbangkan berikut:
·
Bisakan pasien minum analgesik oral?
·
Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek
analgesik cepat?
·
Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau
digunakan dalam kombinasi dengan analgesik sistemik?
·
Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri,
misal pemasangan bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.
Opioid
·
Opioid lemah (kodein, dihidrokodein, dextropropxyphene)
memiliki penggunaan terbatas. Sebaiknya obat-obat ini digunakan dalam kombinasi
dengan parasetamol atau aspirin. Kodein adalah suatu prodrug dan relatif tidak
aktif sebelum dimetabolisme menjadi morfin. Opioid lemah menyebabkan nausea dan
konstipasi sesering opioid kuat tetapi manfaatnya tidak sebesar dari analgesia
kuat.
·
Opioid kuat (morfin, diamorfin, petidin, metadon, fentanil)
adalah agonis murni, yang bekerja pada reseptor serupa. Semuanya memiliki efek
samping serupa, antara lain mual, muntah, sedasi, gatal, motilitas usus
berkurang, konstipasi dan depresi pernapasan.
Morfin
·
Morfin adalah obat pilihan untuk analgesia pasca bedah, murah
dan digunakan secara luas.
·
Atasi nyeri berat akut atau pasca bedah dengan bolus iv 2-3
mg setiap 3-5 menit (1 mg bolus untuk usia lanjut dan lemah). Pasien harus
diawasi ketat selama paling sedikit 30 menit sesudahnya.
·
Dosis intramuskular adalah 7,5 mg selama 40-65 kg berat badan
atau 10 mg untuk 65-100 kg. Lihat Gambar 14.1.
·
Jarang-jarang morfin bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid,
dan bronkospasme. Hindari penggunaannya pada pasien asma. Urtikaria sepanjang
jalan infus sangat lazim dijumpai karena pelepasan histamin setempat (namun
tidak mengindikasikan ‘alergi’).
·
Gunakan morfin dengan hati-hati pada insufisiensi ginjal
berat. Metabolit morfin 6-glukoronida bersifat aktif dan memiliki kerja lama.
Dosis berulang menyebabkan akumulasi sehingga terjadi sedasi berlebihan dan
depresi pernapasan tanpa efek analgesia.
·
Morfin oral bisa digunakan jika penyerapan bisa dijamin.
Dosis oral morfin yang dibutuhkan adalah kira-kira 3-5 kali dosis parenteral.
Hati-hati dalam memberi morfin oral pada pasca bedah jika pada fase awal pengosongan
lambung terlambat, overdosis bisa terjadi ketika pengosongan lambung normal
kembali. Jangan gabung morfin dengan cara pemberian berbeda.
·
Resepkan morfin oral
setiap 4 jam secara reguler dengan dosis ‘prn’ tersedia di antara
masing-masing dosis.
·
Jika morfin oral dibutuhkan untuk beberapa hari lagi, maka
gunakan sediaan lepas lambat (MST, MXL, Morcap). Semua sediaan lepas lambat
tidaklah sama. Peralihan dari satu bentuk sediaan ke bentuk lain perlu
hati-hati.
Diamorfin
·
Tidak ada manfaat nyata melebihi morfin.
·
Lebih larut-lemak dibanding morfin, 1,5-2 kali lebih kuat.
·
Biasa digunakan pada perawatan paliatif karena bisa
disediakan pada konsentrasi tinggi untuk infus subkutan.
·
Berguna sebagai tambahan terhadap anestesi lokal pada injeksi
atau infusi epidural.
Petidin
·
Disebutkan lebih baik daripada morfin untuk nyeri kolik dan
nyeri pankreas, namun tidak ada bukti untuk ini.
·
Dosis 75-100 mg dan boleh ditingkatkan sampai 150 mg jika
dibutuhkan.
·
Kerja lebih singkat daripada morfin memiliki metabolit nor-petidin
yang neurotoksik yang bisa berakumulasi pada pemakaian jangka panjang dan bisa
menyebabkan kegaduhan mental, kedutan otot dan pada situasi ekstrem menyebabkan
epilepsi grand mal.
·
Bisa digunakan untuk pasien dengan alergi morfin atau asma
yang bermakna.
·
Berguna sebagai tambahan terhadap anestesi lokal pada injeksi
atau infus epidural, atau untuk mengatasi menggigil hebat pasca operasi.
Metadon
·
Digunakan terutama secara oral tetapi bisa juga im atau iv.
·
Waktu-paruh bervariasi dengan risiko akumulasi cukup besar.
Ini bisa terjadi dalam beberapa hari.
·
Termasuk narkoba yang telah disalahgunakan, tetapi merupakan
analgesik yang sangat berguna.
·
Hanya boleh digunakan oleh mereka yang telah berpengalaman
Fentanil
·
Opioid sangat kuat yang digunakan terutama pada anestesia.
·
Berguna pada pompa PCA (patient controlled administr-ation)
jika ada alergi terhadap morfin.
·
Berguna sebagai tambahan ke anestesi lokal pada suntikan atau
infus epidural.
·
Tersedia dalam formulasi transdermal. Sediaan tempel (patch)
kulit 25, 50, 75 m/jam, namun tidak
terdaftar untuk nyeri pasca bedah. Obat perlu beberapa jam untuk mencapai dosis
maksimum dan berjam-jam untuk menghilangnya efek setelah sediaan tempel
dilepas.
Tramadol
·
Bekerja sebagai agonis reseptor opioid. Juga memiliki kerja
pada lintasan noradrenalin dan serotonergik.
·
Bukan termasuk obat yang dikontrol (narkotik) namun efek
sampingnya sama yakni mual dan muntah.
·
Berguna pada nyeri ringan sampai sedang. Gunakan 50-100 mg
setiap 4 jam, dosis maksimum 400 mg/24 jam.
Kelompok
agonis parsial dan agonis/ antagonis
Agonis parsial dan
agonis/antagonis, termasuk obat-obat seperti buprenorfin dan nalbuphine,
memiliki keunggulan sedikit dibanding agonis murni sehingga tidak dianjurkan.
Cara
pemberian opioid
Injeksi im
·
Cara pemberian tradisional, sering dengan pola ‘pro re nata’
pada banyak kasus analgesia yang dicapai tidak adekuat.
·
Analgesia intramuskular efektif jika diberikan teratur
menurut algoritme yang terkait dengan waktu dosis terakhir, skor nyeri, skor
sedasi, dan frekuensi napas. Lihat Gambar 14.1.
Injeksi bolus
iv
·
Menghasilkan analgesia tercepat, dan dosis ulangan bisa
dititrasi sesuai efek analgesia yang dicapai.
·
Dibutuhkan pengawasan ketat.
Infus iv
·
Sering digunakan bila pasien tidak bisa menggunakan pompa PCA
(lihat bawah).
·
Waktu untuk mencapai kadar mantap dalam darah adalah 4-5 kali
waktu paruh obat. Morfin memerlukan 10 jam untuk mencapai kadar puncak,
sehingga ada bahaya komplikasi jika pengawasan perawat tidak adekuat.
·
Tidak aman jika pengawasan tidak ketat.
Pemberian
epidural
·
Opioid memiliki potensi sekitar 10 kali lebih kuat bila
diberikan epidural dibandingkan parenteral.
·
Opioid larut-lemak (misal fentanil) memiliki efek segmental
sedangkan opioid tidak larut lemak (misal morfin) memiliki efek tersebar
(generalisata)
·
Biasanya digunakan sebagai kombinasi dengan anestesi lokal
untuk menghasilkan efek sinergistik.
·
Bisa menyebabkan depresi pernapasan yang tertunda, namun ini
akan memberi respons terhadap antagonis opioid, yakni naloxone (200 mg intravena, diulang seperlunya).
|
Gambar 14.1. Algoritme untuk pemberian
opioid im. Skor nyeri: 0, tidak ada nyeri; 1 nyeri ringan;2, nyeri sedang; 3,
nyeri berat. Skor sedasi: 0, bangun; 1, ngantuk kadang-kadang; 2 kebanyakan
tertidur; 3, sukar dibangunkan.
Morfin:berat 40-65 kg: 7,5
mg; berat 65- 100 kg: 10 mg
Naloxone:200 mg iv, sesuai kebutuhan
PCA (patient
controlled administration)
Bisa
menghasilkan manajemen nyeri berkualitas tinggi. PCA memungkinkan pasien
mengendalikan nyerinya sendiri. Perawat tidak diperlukan untuk memberikan
analgesia dan pasien merasakan nyeri mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA
tergantung apda beberapa faktor:
·
Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi.
·
Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat
·
Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek
terapi dan efek samping.
·
Dana : pompa infus PCA mahal.
Box 14.1 memberikan regimen PCA yang tipikal.
Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah sesuai dengan kebutuhan individu.
Box 14.1. Regimen PCA tipikal
Obat: morfin
Konsentrasi: 1 mg/ml
Dosis bolus: 1 mg
Waktu stop: 5 menit
Dosis bolus: jumlah obat
yang diberikan oleh pompa bila pasien bisa menentukan kebutuhan.
Waktu stop (lockout
time): jumlah waktu di mana pasien akan mendapat hanya satu dosis dari pompa
|
Pasien harus mendapat PCA
dari jalur infus khusus atau katup satu arah pada infus jaga (jika diberikan
dengan piggyback). Ini mencegah akumulasi sejumlah besar opioid dalam infus.
Obat anti-inflamasi non
steroid (AINS)
·
Memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang.
Efektif untuk bedah mulut dan bedah ortopedi minor. Mengurangi kebutuhan akan
opioid setelah bedah mayor. Obat-obat AINS memiliki mekanisme kerja sama, jadi
jangan kombinasi dua obat AINS yang berbeda pada waktu bersamaan.
·
Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bisa menambah
kehilangan darah.
·
Bisa diberikan dengan banyak cara: oral, im, iv, rektal,
topikal. Pemberian oral lebih disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari
karena nyeri dan bisa menimbulkan abses steril pada tempat suntikan.
Kontraindikasi
AINS
·
Riwayat tukak peptik
·
Insufisiensi ginjal atau oliguria
·
Hiperkalemia
·
Transplantasi ginjal
·
Antikoagulasi atau koagulopati lain
·
Disfungsi hati berat
·
Dehidrasi atau hipovolemia
·
Terapi dengan frusemide
·
Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS
Gunakan AINS dengan
hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada
·
Pasien > 65 tahun
·
Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau
penyakit pembuluh darah ginjal
·
Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata
·
Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor
·
Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium,
penyekat beta, cyclosporin, atau metoreksat.
Elektrolit
dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi ginjal atau
gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS.
Ibuprofen aman
dan murah. Obat-obat kerja lama (misal piroksikam) cenderung memiliki efek
samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari siklo-oksigenase 2 (COX-2) misal
meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya minimal terhadap sistem COX
gastrointestinal dan ginjal.
Pemberian AINS
dalam jangka lama cenderung menimbul-kan efek samping daripada pemberian
singkat pada periode perioperatif.
Antagonis H2 (misal ranitidin) yang diberikan bersama AINS bisa
melindungi lambung dari efek samping.
Anestesi
lokal
Memberikan
analgesia tambahan untuk semua jenis operasi. Bisa menghasilkan analgesia tanpa
pengaruh terhadap kesadaran. Teknik sederhana seperti infiltrasi lokal ke
pinggir luka pada akhir prosedur akan menghasilkan analgesia singkat. Tidak ada
alasan untuk tidak menggunakannya. Blok saraf, pleksus atau regional bisa
dikerjakan untuk berlangsung beberapa jam atau hari jika digunakan teknik
kateter.
Komplikasi bisa
terjadi:
·
Komplikasi tersering
berkaitan dengan teknik spesifik, misal hipotensi pada anestesi epidural karena
blok simpatis, dan kelemahan otot yang menyertai blok saraf besar.
·
Toksisitas sistemik
bisa terjadi akibat dosis berlebihan atau pemberian aksidental dari anestesi
lokal secara sistemik. Ini bermanifestasi mulai dari kebingungan ringan, sampai
hilang kesadaran, kejang, aritmia jantung dan henti jantung.
·
Pemberian obat yang
salah merupakan malapetaka pribadi dan mediko-legal. Ekstra hati-hati
diperlukan ketika memberikan obat.
Infusi
epidural dari obat anestesi lokal
Obat anestesi lokal bisa
berguna bila diberikan sendiri, tetapi lebih sering berupa campuran (misal
bupivacaine 0,166% dan diamorfin 0,1-0,2 mg/ml). Obat-obat ini berkerja sinergi
dalam kombinasi. Hipotensi dan depresi pernapasan mungkin terjadi: pasien harus
dirawat di kamar dengan supervisi adekuat.
Manajemen teknik ini membutuhkan pengalaman. Analgesia
yang tidak adekuat harus dirujuk ke spesialis anestesi yang bertugas.
Mengurangi risiko toksisitas
anestesi lokal
·
Tetapkan konsentrasi anestesi lokal yang dibutuhkan untuk
mengerjakan blok. Hitung volume total suatu obat yang dibolehkan menurut Tabel
14.1
·
Gunakan obat dengan toksisitas paling kecil.
·
Gunakan dosis lebih rendah pada pasien rentan atau usia
ekstrem.
·
Selalu suntikkan obat perlahan-lahan (lebih lambat dari 10
ml/menit) dan aspirasi secara teratur untuk mendeteksi darah yang menandakan
injeksi intravena.
·
Injeksi dosis percobaan 2-3 ml anestesi lokal mengandung
adrenalin 1:200.000 akan sering (tidak selalu) menyebabkan takikardia bermakna
jika terjadi injeksi iv tanpa sengaja.
·
Tambahkan adrenalin (epinefrin) untuk mengurangi kecepatan
penyerapan. Ini mengurangi kadar darah maksimum sebesar kira-kira 50%. Gunakan
adrenalin dengan konsentrasi 1:200.000 dengan dosis maksimum 200 mg (untuk ukuran dewasa rata-rata).
Ambil adrenalin 1:1000 (1 mg/ml, atau 0,1 mg%) dan tambahkan 0,1 ml ke setiap
20 ml obat anestesi lokal. Lebih baik jika digunakan obat anestesi lokal yang
sudah bercampur dengan adrenalin. Adrenalin tidak membuat perbedaan toksisitas
obat anestesi lokal jika diinjeksikan ke dalam vena.
Tabel 14.1 Dosis maksimum aman dari
anestesi lokal
Obat
|
Maksimum untuk
infiltrasi lokal
|
Maksimum untuk anestesi
pleksus
|
Lidocaine (lignocaine)
|
3 mg/kg
|
4 mg/kg
|
Lidocaine (lignocaine) dengan
adrenalin (epinefrin)
|
5 mg/kg
|
7 mg/kg
|
Bupivacaine
|
1,5 mg/kg
|
2 mg/kg
|
Bupivacaine dengan
adrenalin(epinefrin)
|
2 mg/kg
|
3,5 mg/kg
|
Prilocaine
|
5 mg/kg
|
7 mg/kg
|
Prilocaine dengan
adrenalin(epinefrin)
|
5 mg/kg
|
8 mg/kg
|
Entonox
Gas mengandung nitrous
oxide (N2O) dan 50% O2; analgesik kuat yang tergantung
pada pemberian oleh pasien sendiri. Bekerja cepat dan singkat bila pemberian
dihentikan. Merupakan obat untuk nyeri yang berlangsung singkat.
·
Pemberian sendiri melindungi pasien dari overdosis- bila
pasien menjadi mengantuk, masker atau mouthpiece lepas.
·
Entonox bisa digunakan untuk prosedur seperti peng-gantian
pembalut luka, melepas drain dan jahitan, traksi gips, dll.
·
Kontraindikasi mencakup pneumotoraks, mual karena dekompresi,
intoksikasi, cidera maksilofasial, cidera kepala, emfisema berat, dan obstruksi
usus.
·
Keberhasilan tergantung pada penyuluhan pasien dan staf dan
tersedianya peralatan.
Tim
nyeri akut
Tim nyeri akut ada pada
banyak rumah sakit. Ini merupakan sumber bantuan dan informasi bagi staf bedah
yunior. Biasanya dikepalai oleh spesialis anestesi, dengan perawat spesialis
yang menjalankan pelayanan dari hari ke hari. Jika apoteker dan dokter bedah
terlibat, perbaikan dalam praktek dan penerapan perubahan lebih mudah.
Tujuan dari tim adalah memperbaiki dan memelihara standar
dalam manajemen nyeri akut. Tanggung jawab mereka adalah:
·
Melatih dan mengajarkan staf dokter dan perawat
·
Memberikan informasi kepada pasien
·
Memberikan pelayanan untuk masalah yang terkait dengan
manajemen nyeri akut
·
Audit efek-efek (diinginkan dan tak-diinginkan) dalam praktek
manajemen nyeri.
Kesimpulan
Untuk memberikan analgesia
yang baik anda perlu mengetahui cara menilai nyeri, obat dan teknik yang
tersedia, efek-efek obat (diinginkan atau tak-diinginkan), keterbatasan anda,
dan di mana minta bantuan jika keadaan tidak berlangung baik.
Bacaan lanjut
1.
Gould TH, Crosby DL, Harmer M et al.(1992). Policy for
controlling pain after surgery: effect of sequential changes in management.
British Medical Journal 305:1187-93.
2.
Harmer M, Davies KA (1998). The effect of education,
assessment and a standardized prescription on postoperative pain management. Anaesthesia
53:424-30.
3.
Report of the Working Party on Commission on the Provision of
Surgical Services (1990). Pain after surgery. Royal College of Surgeons
of England and the College of Anaesthetists.
Royal College of Anaesthetists (1998). Guidelines
for the use of non-steroidal anti-inflammatory drugs in the perioperative
period