11 orang yang mecoba mengejar mimpi menjadi seorang dokter yang sukses

Wednesday, July 25, 2012

PENANGANAN NYERI AKUT


Nyeri akut sering dikelola dengan tidak memadai. Ini tidak seharusnya demikian. Kontrol nyeri sering bisa diperbaiki dengan strategi sederhana:
·         Nilai nyeri
·         Atasi dengan obat dan teknik yang anda sudah terbiasa
·         Nilai kembali nyeri setelah terapi dan bersiap untuk memodifikasi pengobatan jika perlu.
Analgesia yang baik mengurangi komplikasi pasca bedah seperti infeksi paru, mual dan muntah, DVT ,dan ileus.

Prinsip umum

·         Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa nyeri. Mereka perlu didengarkan dan dipercaya.
·         Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa seseorang sedang berpura-pura nyeri.
·         Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia yang bervariasi pada berbagai pasien.
·         Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara berbeda oleh berbagai pasien.
·         Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan adiksi obat.
·         Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah.
·         Cari sebab-sebab nyeri yang bisa diatasi, tetapi jangan tunda analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-tanda bedah.
·         Dosis tepat dari analgesik opioid adalah ‘cukup dan sering cukup’
·         Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering diperoleh dengan kombinasi berbagai obat dengan cara pemberian berbeda (misal opioid dan AINS dan anestesi lokal)

Penilaian nyeri, analgesia, dan sedasi
·         Sistem skoring digunakan untuk menilai nyeri dan untuk mengukur efektivitas pengobatan. Skor nyeri bisa ditulis di kartu suhu atau pada kartu nyeri terpisah.
·         Skala analogi visual (VAS) adalah garis 10 cm di mana ujung-ujungnya adalah 0 (tak ada nyeri) dan 10 (nyeri terburuk yang bisa dibayangkan). Pasien membubuhi tanda pada garis untuk mengungkapkan keparahan nyeri mereka. Teknik ini mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.
·         Verbal rating scale (VRS) lebih sederhana. Pasien ditanya apakah mereka tidak merasa nyeri, nyeri ringan, sedang atau berat dan diberi skor 0 untuk tidak nyeri, 1 untuk nyeri ringan, 2 untuk nyeri sedang, dan 3 untuk nyeri berat.
·         Pasien harus dinilai setelah dibangunkan dengan lembut. Sedasi sebaiknya diberi skor sekaligus: 0 jika bangun, 1 jika mengantuk kadang-kadang, 2 jika kebanyakan tidur, 3 jika sukar dibangunkan.
·         Kombinasi skor sedasi dan frekuensi napas bisa digunakan untuk mendiagnosis overdosis opioid.
·         Frekuensi < 8/menit dengan skor sedasi 3 menunjukkan overdosis.
·         Pernapasan lambat tanpa over-sedasi bisa diterima, tetapi memerlukan kewaspadaan.
·         Naloxone intravena harus ditirasi dengan penambahan setiap 200 mg sampai over-sedasi memulih tanpa mengurangi efek analgesia. Naloxone mungkin bekerja lebih singkat daripada opioid, sehingga penilaian harus dilanjutkan karena sedasi bisa berulang.



Prinsip umum dari terapi obat
Perlu diketahui sejumlah terbatas obat dan pertimbangkan berikut:
·         Bisakan pasien minum analgesik oral?
·         Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek analgesik cepat?
·         Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan dalam kombinasi dengan analgesik sistemik?
·         Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri, misal pemasangan bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.

Opioid
·         Opioid lemah (kodein, dihidrokodein, dextropropxyphene) memiliki penggunaan terbatas. Sebaiknya obat-obat ini digunakan dalam kombinasi dengan parasetamol atau aspirin. Kodein adalah suatu prodrug dan relatif tidak aktif sebelum dimetabolisme menjadi morfin. Opioid lemah menyebabkan nausea dan konstipasi sesering opioid kuat tetapi manfaatnya tidak sebesar dari analgesia kuat.
·         Opioid kuat (morfin, diamorfin, petidin, metadon, fentanil) adalah agonis murni, yang bekerja pada reseptor serupa. Semuanya memiliki efek samping serupa, antara lain mual, muntah, sedasi, gatal, motilitas usus berkurang, konstipasi dan depresi pernapasan.

Morfin
·         Morfin adalah obat pilihan untuk analgesia pasca bedah, murah dan digunakan secara luas.
·         Atasi nyeri berat akut atau pasca bedah dengan bolus iv 2-3 mg setiap 3-5 menit (1 mg bolus untuk usia lanjut dan lemah). Pasien harus diawasi ketat selama paling sedikit 30 menit sesudahnya.
·         Dosis intramuskular adalah 7,5 mg selama 40-65 kg berat badan atau 10 mg untuk 65-100 kg. Lihat Gambar 14.1.
·         Jarang-jarang morfin bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid, dan bronkospasme. Hindari penggunaannya pada pasien asma. Urtikaria sepanjang jalan infus sangat lazim dijumpai karena pelepasan histamin setempat (namun tidak mengindikasikan ‘alergi’).
·         Gunakan morfin dengan hati-hati pada insufisiensi ginjal berat. Metabolit morfin 6-glukoronida bersifat aktif dan memiliki kerja lama. Dosis berulang menyebabkan akumulasi sehingga terjadi sedasi berlebihan dan depresi pernapasan tanpa efek analgesia.
·         Morfin oral bisa digunakan jika penyerapan bisa dijamin. Dosis oral morfin yang dibutuhkan adalah kira-kira 3-5 kali dosis parenteral. Hati-hati dalam memberi morfin oral pada pasca bedah jika pada fase awal pengosongan lambung terlambat, overdosis bisa terjadi ketika pengosongan lambung normal kembali. Jangan gabung morfin dengan cara pemberian berbeda.
·         Resepkan morfin oral  setiap 4 jam secara reguler dengan dosis ‘prn’ tersedia di antara masing-masing dosis.
·         Jika morfin oral dibutuhkan untuk beberapa hari lagi, maka gunakan sediaan lepas lambat (MST, MXL, Morcap). Semua sediaan lepas lambat tidaklah sama. Peralihan dari satu bentuk sediaan ke bentuk lain perlu hati-hati.

Diamorfin

·         Tidak ada manfaat nyata melebihi morfin.
·         Lebih larut-lemak dibanding morfin, 1,5-2 kali lebih kuat.
·         Biasa digunakan pada perawatan paliatif karena bisa disediakan pada konsentrasi tinggi untuk infus subkutan.
·         Berguna sebagai tambahan terhadap anestesi lokal pada injeksi atau infusi epidural.

Petidin

·         Disebutkan lebih baik daripada morfin untuk nyeri kolik dan nyeri pankreas, namun tidak ada bukti untuk ini.
·         Dosis 75-100 mg dan boleh ditingkatkan sampai 150 mg jika dibutuhkan.
·         Kerja lebih singkat daripada morfin memiliki metabolit nor-petidin yang neurotoksik yang bisa berakumulasi pada pemakaian jangka panjang dan bisa menyebabkan kegaduhan mental, kedutan otot dan pada situasi ekstrem menyebabkan epilepsi grand mal.
·         Bisa digunakan untuk pasien dengan alergi morfin atau asma yang bermakna.
·         Berguna sebagai tambahan terhadap anestesi lokal pada injeksi atau infus epidural, atau untuk mengatasi menggigil hebat pasca operasi.

Metadon

·         Digunakan terutama secara oral tetapi bisa juga im atau iv.
·         Waktu-paruh bervariasi dengan risiko akumulasi cukup besar. Ini bisa terjadi dalam beberapa hari.
·         Termasuk narkoba yang telah disalahgunakan, tetapi merupakan analgesik yang sangat berguna.
·         Hanya boleh digunakan oleh mereka yang telah berpengalaman

Fentanil

·         Opioid sangat kuat yang digunakan terutama pada anestesia.
·         Berguna pada pompa PCA (patient controlled administr-ation) jika ada alergi terhadap morfin.
·         Berguna sebagai tambahan ke anestesi lokal pada suntikan atau infus epidural.
·         Tersedia dalam formulasi transdermal. Sediaan tempel (patch) kulit 25, 50, 75 m/jam, namun tidak terdaftar untuk nyeri pasca bedah. Obat perlu beberapa jam untuk mencapai dosis maksimum dan berjam-jam untuk menghilangnya efek setelah sediaan tempel dilepas.

Tramadol

·         Bekerja sebagai agonis reseptor opioid. Juga memiliki kerja pada lintasan noradrenalin dan serotonergik.
·         Bukan termasuk obat yang dikontrol (narkotik) namun efek sampingnya sama yakni mual dan muntah.
·         Berguna pada nyeri ringan sampai sedang. Gunakan 50-100 mg setiap 4 jam, dosis maksimum 400 mg/24 jam.

Kelompok agonis parsial dan agonis/ antagonis
Agonis parsial dan agonis/antagonis, termasuk obat-obat seperti buprenorfin dan nalbuphine, memiliki keunggulan sedikit dibanding agonis murni sehingga tidak dianjurkan.

Cara pemberian opioid
Injeksi im
·         Cara pemberian tradisional, sering dengan pola ‘pro re nata’ pada banyak kasus analgesia yang dicapai tidak adekuat.
·         Analgesia intramuskular efektif jika diberikan teratur menurut algoritme yang terkait dengan waktu dosis terakhir, skor nyeri, skor sedasi, dan frekuensi napas. Lihat Gambar 14.1.

Injeksi bolus iv
·         Menghasilkan analgesia tercepat, dan dosis ulangan bisa dititrasi sesuai efek analgesia yang dicapai.
·         Dibutuhkan pengawasan ketat.

Infus iv
·         Sering digunakan bila pasien tidak bisa menggunakan pompa PCA (lihat bawah).
·         Waktu untuk mencapai kadar mantap dalam darah adalah 4-5 kali waktu paruh obat. Morfin memerlukan 10 jam untuk mencapai kadar puncak, sehingga ada bahaya komplikasi jika pengawasan perawat tidak adekuat.
·         Tidak aman jika pengawasan tidak ketat.

Pemberian epidural
·         Opioid memiliki potensi sekitar 10 kali lebih kuat bila diberikan epidural dibandingkan parenteral.
·         Opioid larut-lemak (misal fentanil) memiliki efek segmental sedangkan opioid tidak larut lemak (misal morfin) memiliki efek tersebar (generalisata)
·         Biasanya digunakan sebagai kombinasi dengan anestesi lokal untuk menghasilkan efek sinergistik.
·         Bisa menyebabkan depresi pernapasan yang tertunda, namun ini akan memberi respons terhadap antagonis opioid, yakni naloxone (200 mg intravena, diulang seperlunya).



 
 























Gambar 14.1. Algoritme untuk pemberian opioid im. Skor nyeri: 0, tidak ada nyeri; 1 nyeri ringan;2, nyeri sedang; 3, nyeri berat. Skor sedasi: 0, bangun; 1, ngantuk kadang-kadang; 2 kebanyakan tertidur; 3, sukar dibangunkan.
Morfin:berat 40-65 kg: 7,5 mg; berat 65- 100 kg: 10 mg
Naloxone:200 mg iv, sesuai kebutuhan

PCA (patient controlled administration)
Bisa menghasilkan manajemen nyeri berkualitas tinggi. PCA memungkinkan pasien mengendalikan nyerinya sendiri. Perawat tidak diperlukan untuk memberikan analgesia dan pasien merasakan nyeri mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung apda beberapa faktor:
·         Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi.
·         Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat
·         Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan efek samping.
·         Dana : pompa infus PCA mahal.

Box  14.1 memberikan regimen PCA yang tipikal. Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah sesuai dengan kebutuhan individu.

Box 14.1. Regimen PCA tipikal

Obat: morfin
Konsentrasi: 1 mg/ml
Dosis bolus: 1 mg
Waktu stop: 5 menit

Dosis bolus: jumlah obat yang diberikan oleh pompa bila pasien bisa menentukan kebutuhan.
Waktu stop (lockout time): jumlah waktu di mana pasien akan mendapat hanya satu dosis dari pompa


Pasien harus mendapat PCA dari jalur infus khusus atau katup satu arah pada infus jaga (jika diberikan dengan piggyback). Ini mencegah akumulasi sejumlah besar opioid dalam infus.

Obat anti-inflamasi non steroid (AINS)
·         Memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang. Efektif untuk bedah mulut dan bedah ortopedi minor. Mengurangi kebutuhan akan opioid setelah bedah mayor. Obat-obat AINS memiliki mekanisme kerja sama, jadi jangan kombinasi dua obat AINS yang berbeda pada waktu bersamaan.
·         Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bisa menambah kehilangan darah.
·         Bisa diberikan dengan banyak cara: oral, im, iv, rektal, topikal. Pemberian oral lebih disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari karena nyeri dan bisa menimbulkan abses steril pada tempat suntikan.

Kontraindikasi AINS
·         Riwayat tukak peptik
·         Insufisiensi ginjal atau oliguria
·         Hiperkalemia
·         Transplantasi ginjal
·         Antikoagulasi atau koagulopati lain
·         Disfungsi hati berat
·         Dehidrasi atau hipovolemia
·         Terapi dengan frusemide
·         Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS

Gunakan AINS dengan hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada
·         Pasien > 65 tahun
·         Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau penyakit pembuluh darah ginjal
·         Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata
·         Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor
·         Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium, penyekat beta, cyclosporin, atau metoreksat.

Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi ginjal atau gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS.
Ibuprofen aman dan murah. Obat-obat kerja lama (misal piroksikam) cenderung memiliki efek samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari siklo-oksigenase 2 (COX-2) misal meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya minimal terhadap sistem COX gastrointestinal dan ginjal.
Pemberian AINS dalam jangka lama cenderung menimbul-kan efek samping daripada pemberian singkat pada periode perioperatif.  Antagonis H2 (misal ranitidin) yang diberikan bersama AINS bisa melindungi lambung dari efek samping.


Anestesi lokal
Memberikan analgesia tambahan untuk semua jenis operasi. Bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh terhadap kesadaran. Teknik sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir prosedur akan menghasilkan analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak menggunakannya. Blok saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan untuk berlangsung beberapa jam atau hari jika digunakan teknik kateter.

Komplikasi bisa terjadi:
·         Komplikasi tersering berkaitan dengan teknik spesifik, misal hipotensi pada anestesi epidural karena blok simpatis, dan kelemahan otot yang menyertai blok saraf besar.
·         Toksisitas sistemik bisa terjadi akibat dosis berlebihan atau pemberian aksidental dari anestesi lokal secara sistemik. Ini bermanifestasi mulai dari kebingungan ringan, sampai hilang kesadaran, kejang, aritmia jantung dan henti jantung.
·         Pemberian obat yang salah merupakan malapetaka pribadi dan mediko-legal. Ekstra hati-hati diperlukan ketika memberikan obat.

Infusi epidural dari obat anestesi lokal
Obat anestesi lokal bisa berguna bila diberikan sendiri, tetapi lebih sering berupa campuran (misal bupivacaine 0,166% dan diamorfin 0,1-0,2 mg/ml). Obat-obat ini berkerja sinergi dalam kombinasi. Hipotensi dan depresi pernapasan mungkin terjadi: pasien harus dirawat di kamar dengan supervisi adekuat.
            Manajemen teknik ini membutuhkan pengalaman. Analgesia yang tidak adekuat harus dirujuk ke spesialis anestesi yang bertugas.

Mengurangi risiko toksisitas anestesi lokal

·         Tetapkan konsentrasi anestesi lokal yang dibutuhkan untuk mengerjakan blok. Hitung volume total suatu obat yang dibolehkan menurut Tabel 14.1
·         Gunakan obat dengan toksisitas paling kecil.
·         Gunakan dosis lebih rendah pada pasien rentan atau usia ekstrem.
·         Selalu suntikkan obat perlahan-lahan (lebih lambat dari 10 ml/menit) dan aspirasi secara teratur untuk mendeteksi darah yang menandakan injeksi intravena.
·         Injeksi dosis percobaan 2-3 ml anestesi lokal mengandung adrenalin 1:200.000 akan sering (tidak selalu) menyebabkan takikardia bermakna jika terjadi injeksi iv tanpa sengaja.
·         Tambahkan adrenalin (epinefrin) untuk mengurangi kecepatan penyerapan. Ini mengurangi kadar darah maksimum sebesar kira-kira 50%. Gunakan adrenalin dengan konsentrasi 1:200.000 dengan dosis maksimum 200 mg (untuk ukuran dewasa rata-rata). Ambil adrenalin 1:1000 (1 mg/ml, atau 0,1 mg%) dan tambahkan 0,1 ml ke setiap 20 ml obat anestesi lokal. Lebih baik jika digunakan obat anestesi lokal yang sudah bercampur dengan adrenalin. Adrenalin tidak membuat perbedaan toksisitas obat anestesi lokal jika diinjeksikan ke dalam vena.

Tabel 14.1 Dosis maksimum aman dari anestesi lokal
Obat
Maksimum untuk infiltrasi lokal
Maksimum untuk anestesi pleksus
Lidocaine (lignocaine)
3 mg/kg
4 mg/kg
Lidocaine (lignocaine) dengan adrenalin (epinefrin)
5 mg/kg
7 mg/kg
Bupivacaine
1,5 mg/kg
2 mg/kg
Bupivacaine dengan adrenalin(epinefrin)
2 mg/kg
3,5 mg/kg
Prilocaine
5 mg/kg
7 mg/kg
Prilocaine dengan adrenalin(epinefrin)
5 mg/kg
8 mg/kg

Entonox
Gas mengandung nitrous oxide (N2O) dan 50% O2; analgesik kuat yang tergantung pada pemberian oleh pasien sendiri. Bekerja cepat dan singkat bila pemberian dihentikan. Merupakan obat untuk nyeri yang berlangsung singkat.
·         Pemberian sendiri melindungi pasien dari overdosis- bila pasien menjadi mengantuk, masker atau mouthpiece lepas.
·         Entonox bisa digunakan untuk prosedur seperti peng-gantian pembalut luka, melepas drain dan jahitan, traksi gips, dll.
·         Kontraindikasi mencakup pneumotoraks, mual karena dekompresi, intoksikasi, cidera maksilofasial, cidera kepala, emfisema berat, dan obstruksi usus.
·         Keberhasilan tergantung pada penyuluhan pasien dan staf dan tersedianya peralatan.

Tim nyeri akut
Tim nyeri akut ada pada banyak rumah sakit. Ini merupakan sumber bantuan dan informasi bagi staf bedah yunior. Biasanya dikepalai oleh spesialis anestesi, dengan perawat spesialis yang menjalankan pelayanan dari hari ke hari. Jika apoteker dan dokter bedah terlibat, perbaikan dalam praktek dan penerapan perubahan lebih mudah.
            Tujuan dari tim adalah memperbaiki dan memelihara standar dalam manajemen nyeri akut. Tanggung jawab mereka adalah:
·         Melatih dan mengajarkan staf dokter dan perawat
·         Memberikan informasi kepada pasien
·         Memberikan pelayanan untuk masalah yang terkait dengan manajemen nyeri akut
·         Audit efek-efek (diinginkan dan tak-diinginkan) dalam praktek manajemen nyeri.

Kesimpulan

Untuk memberikan analgesia yang baik anda perlu mengetahui cara menilai nyeri, obat dan teknik yang tersedia, efek-efek obat (diinginkan atau tak-diinginkan), keterbatasan anda, dan di mana minta bantuan jika keadaan tidak berlangung baik.

Bacaan lanjut

1.      Gould TH, Crosby DL, Harmer M et al.(1992). Policy for controlling pain after surgery: effect of sequential changes in management. British Medical Journal 305:1187-93.
2.      Harmer M, Davies KA (1998). The effect of education, assessment and a standardized prescription on postoperative pain management. Anaesthesia 53:424-30.
3.      Report of the Working Party on Commission on the Provision of Surgical Services (1990). Pain after surgery. Royal College of Surgeons of England and the College of Anaesthetists.
Royal College of Anaesthetists (1998). Guidelines for the use of non-steroidal anti-inflammatory drugs in the perioperative period