Tuberkulosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.10
II.3
MIKROBIOLOGI
A.
Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium
tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3
– 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks,
terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.
tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang
(C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada
dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.
tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap
tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam–alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding
sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein.
Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan
berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan
sensitifitas dan spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga
yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang
disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya
dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40
dan lain lain.9
B.
Biomolekuler
Genom
M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan
guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui
lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1
gen yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai
DNA target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein,
sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan.
Gen
pab dan gen groEL masing-masing menyandi protein berikatan posfat misalnya
protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat
shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG menyandi
katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12
sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen
genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam mikobakteria antara lain
IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen tersebut
dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP.9
Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis
dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen
II.4
PATOGENESIS
Paru
merupakan port d’entrée lebih dari
98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik
renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya
kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan
sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak
mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman
TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN.
Dari
fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional,
yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran
ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar
limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar
limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).
Waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya
kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung
dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama
berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB
sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer
inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif
terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah
kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk.
Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem
imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah
imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami
fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus
primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami
komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar
karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial
pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar
yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama
masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar
limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen,
kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
Penyebaran
hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik
tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ
yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya
otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru.
Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman
sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.
Di
dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas
seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak langsung
berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi.
Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian,
bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi
dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan
lain-lain.
Bentuk
penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar
kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut
TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang
beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada balita.
Tuberkulosis
milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran
lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed).
Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,
yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk
penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran
vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar
di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat
dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat
terjadi secara berulang.
Pada
anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering
terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3%
penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini
biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial
(lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi
dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat
bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik
biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami
resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada
remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat
terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada
5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi
dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah
infeksi primer.12
Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang
Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan Penyembuhannya9
Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis11
II.5
KLASIFIKASI
A.
Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis
yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
1.
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB
paru dibagi atas:
a.
Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya
2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil pemeriksaan satu
spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif.
b.
Tuberkulosis paru BTA (-)
1) Hasil
pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologis
menunjukkan tuberkulosis aktif.
2) Hasil
pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif.
2.
Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan
riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
a.
Kasus baru
Adalah
pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan.
b.
Kasus kambuh (relaps)
Adalah
pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila
BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif
/ perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :
1) Infeksi
non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik
selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi
jamur
3) TB
paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c.
Kasus defaulted atau drop out
Adalah
pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d.
Kasus gagal
1) Adalah
pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah
pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif
pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e.
Kasus kronik / persisten
Adalah
pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
Catatan:
a. Kasus
pindahan (transfer in):
Adalah
pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian
pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan / pindah.
b. Kasus
Bekas TB:
1) Hasil
pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih
mendukung.
2) Pada
kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2
bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologic.9
B.
Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah
tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas
kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan
pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten
dengan TB ekstra paru aktif.
II.6
DIAGNOSIS
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik,
radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.
A.
Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena
adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai
organ yang terlibat).
1.
Gejala respiratorik
a. batuk-batuk
lebih dari 2 minggu
b. batuk
darah
c. sesak
napas
d. nyeri
dada
Gejala
respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena
iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2.
Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala
sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.
3.
Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala
tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri
dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas
& kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
B.
Pemeriksaan Fisik
Pada
pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak
di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 &
S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada
pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya
cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara
napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat
pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan
metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut
dapat menjadi “cold abscess”
Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus
Inferior
C.
Pemeriksaan Bakteriologik
1.
Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk
menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan
jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
2.
Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara
pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak
sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya
)
c. Sewaktu / spot ( pada
saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan
pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang
bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat
sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat
dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji
resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen
dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak
sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis
identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan
laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium
berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan
kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan
kertas saring:
a. Kertas
saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya.
b. Dahak
yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas
saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas
saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang
tidak mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan
tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam
dus.
e. Bahan
dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil.
f. Kantong
plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong
yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di
atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak.
h. Dimasukkan
ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.
3.
Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen
dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi,
termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a.
Pemeriksaan
mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan
Ziehl-Nielsen
Mikroskopik
fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening) lnterpretasi
hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3
kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1
kali positif, 2 kali negative : ulang
BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas
foto toraks, kemudian
o bila
1 kali positif, 2 kali negatif : BTA
positif
o
bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi
pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala
IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang
pandang, disebut negatif
1) Ditemukan
1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.
2) Ditemukan
10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan
1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan
>10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
Interpretasi
hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst
Skala Bronkhorst (BR) :
1) BR
I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.
2) BR
II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3) BR
III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
4) BR
IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5) BR
V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.
b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis
dengan metode konvensional ialah dengan cara :
1) Egg
base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar
base media : Middle brook.
Melakukan
biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium
tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT).
Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat
cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran
dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.
D.
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks
PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran
radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan
berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
2. Kavitas,
terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan
bercak milier.
4. Efusi
pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran
radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte
atau penebalan pleura
Luluh
paru (destroyed Lung ) :
1. Gambaran
radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara
klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas
lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu
dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit.
Luas
lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sbb (terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi
minimal , bila proses mengenai
sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan
(volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua
depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas
2. Lesi
luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
E.
Pemeriksaan Khusus
Salah
satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam
perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat
mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1.
Pemeriksaan BACTEC
Dasar
teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang
akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi
salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan
diagnosis dan melakukan uji kepekaan.
2.
Polymerase chain
reaction (PCR)
Pemeriksaan
PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis.
Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih
memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
Hasil
pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan
tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional. Apabila
hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang
kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan
untuk diagnosis TB.
Pada
pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat
berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.
3.
Pemeriksaan serologi,
dengan berbagai metoda :
a. Enzym
linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik
ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral
berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini
antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. ICT
Uji
Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik
untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan
uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari
membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5
antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran
immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis)
disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke
bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen.
Apabila serum mengandung antibody IgG terhadap M.tuberculosis,
maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda.
Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan
minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
c. Mycodot
Uji
ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat
yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam
serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti
LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul
perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah.
d. Uji
peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji
ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi
dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus
hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang
terdeteksi.
e. Uji
serologi yang baru / IgG TB
Saat
ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.
F.
Pemeriksaan Lain
1.
Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan
analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil
analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan
kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit
dominan dan glukosa rendah.
2.
Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan
untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah
pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau
otopsi, yaitu :
a. Biopsi
aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi
pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)
c. Biopsi
jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya
diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim
ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi
untuk pemeriksaan histologi.
3.
Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang
menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED)
jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED
sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4.
Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan
adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang
tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti
pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula
atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi
dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
Gambar
6. Alur Diagnosis TB Paru
II.7
PERJALANAN PENYAKIT
Cara penularan12
1. Sumber
penularan adalah pasien TB BTA positif.
2. Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak.
3. Umumnya
penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang
lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam
dalam keadaan yang gelap dan lembab.
4. Daya
penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut.
5. Faktor
yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
A. Risiko
penularan12
1. Risiko
tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari
pasien TB paru dengan BTA negatif.
2. Risiko
penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama
satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000
penduduk terinfeksi setiap tahun.
3. ARTI
di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
4. Infeksi
TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
B. Risiko
menjadi sakit TB12
1. Hanya
sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
2. Dengan
ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap
tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
3. Faktor
yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh
yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
4. HIV
merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit
TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic),
seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
bias mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula.
Pasien
TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:
1. 50%
meninggal
2. 25%
akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25%
menjadi kasus kronis yang tetap menular
Gambar 7. Faktor Risiko Kejadian TB
II.8
PENATALAKSANAAN
Pengobatan
tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan.
A.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
1. Prinsip pengobatan
Pengobatan
tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT
harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan
dan sangat dianjurkan.
b. Untuk
menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly
Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan
TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
a. Pada
tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian
besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
a. Pada
tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
b. Tahap
lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Pengobatan
tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB
paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2
RHZE / 4 RH atau
2) 2
RHZE / 4R3H3 atau
3) 2
RHZE/ 6HE.
Paduan
ini dianjurkan untuk
1)
TB paru BTA (+), kasus baru
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi
luas (termasuk luluh paru)
Pada
evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang fase
lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu
dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi,
pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
b. TB
paru kasus kambuh
Pada
TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan
(bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji
resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan
obat yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan pengobatan
dapat diberikan lebih lama tergantung dari perkembangan penyakit. Bila tidak
ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).
c. TB
Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan
sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 5 OAT
(minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan.
Lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji
resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji
resistensi
1) Bila
tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat
: 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat
pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
3) Sebaiknya
kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
d.
TB Paru kasus putus berobat
Pasien
TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut :
1) Pasien
yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai
jadwal.
2) Pasien
menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat
4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan,
pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih
lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit
paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah
diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat
> 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah
diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat
< 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik
positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
Jika memungkinkan sebaiknya
diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT.
e.
TB Paru kasus kronik
1) Pengobatan
TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika
telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal
terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun
resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika
tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan
pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
4) Kasus
TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB
dalam keadaan khusus
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT.
Pengembangan
pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan
pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan
strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO.
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan
untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam
pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis
tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.
Keuntungan
kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan
sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan
kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang
tidak disengaja.
3. Peningkatan
kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar.
4. Perbaikan
manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan
risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi.
Tabel 1. Jenis dan
Dosis OAT
Obat
|
Dosis
(mg/kgBB/Hari)
|
Dosis
yang dianjurkan
|
Dosis Maksimum
|
Dosis
(mg) / BB (kg)
|
|||
Harian (mg/kgBB/Hari)
|
Intermitten (mg/kgBB/Hari)
|
< 40
|
40-60
|
>
60
|
|||
R
|
8-12
|
10
|
10
|
600
|
300
|
450
|
600
|
H
|
4-6
|
5
|
10
|
300
|
150
|
300
|
450
|
Z
|
20-30
|
25
|
35
|
|
750
|
1000
|
1500
|
E
|
15-20
|
15
|
30
|
|
750
|
1000
|
1500
|
S
|
15-18
|
15
|
15
|
1000
|
Sesuai BB
|
750
|
1000
|
Tabel 2. Dosis untuk paduan
OAT KDT untuk Kategori 1
Berat
Badan
|
Tahap
Intensif
tiap
hari selama 56 hari
RHZE
(150/75/400/275)
|
Tahap
Lanjutan
3
kali seminggu selama 16 minggu
RH
(150/150)
|
30-37
kg
|
2
tablet 4KDT
|
2
tablet 2KDT
|
38-54
kg
|
3
tablet 4KDT
|
3
tablet 2KDT
|
55-70
kg
|
4
tablet 4KDT
|
4
tablet 2KDT
|
≥
71 kg
|
5
tablet 4KDT
|
5
tablet 2KDT
|
Tabel 3. Dosis paduan
OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Tahap Pengobatan
|
Lama Pengobatan
|
Dosis per hari / kali
|
Jumlah hari/kali menelan obat
|
|||
Tablet Isoniasid
@ 300 mg
|
Kaplet Rifampisin
@ 450 mg
|
Tablet Pirazinamid
@ 500 mg
|
Tablet Etambutol
@ 250 mg
|
|||
Intensif
|
2 bulan
|
1
|
1
|
3
|
3
|
56
|
Lanjutan
|
4 bulan
|
2
|
1
|
-
|
-
|
48
|
Kategori-1
(2HRZE/ 4H3R3)
Paduan
OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien
baru TB paru BTA positif.
b. Pasien
TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien
TB ekstra paru
Tabel 4. Dosis untuk paduan
OAT KDT Kategori 2
Berat
Badan
|
Tahap
Intensif
Tiap
hari
RHZE
(150/75/400/275) + S
|
Tahap
Lanjutan
3
kali seminggu
RH
(150/150) + E (400)
|
|
Selama
56 hari
|
Selama
28 hari
|
Selama
20 minggu
|
|
30-37
kg
|
2
tablet 4KDT
+
500 mg Streptomisin inj.
|
2
tablet 4KDT
|
2
tablet 2KDT
+ 2 tablet
Etambutol
|
38-54
kg
|
3
tablet 4KDT
+
750 mg Streptomisin inj.
|
3
tablet 4KDT
|
3
tablet 2KDT
+
3 tablet Etambutol
|
55-70
kg
|
4
tablet 4KDT
+
1000 mg Streptomisin inj.
|
4
tablet 4KDT
|
4
tablet 2KDT
+
4 tablet Etambutol
|
≥
71 kg
|
5
tablet 4KDT
+
1000 mg Streptomisin inj.
|
5
tablet 4KDT
|
5
tablet 2KDT
+
5 tablet Etambutol
|
Tabel 5. Dosis paduan OAT
Kombipak untuk Kategori 2
Tahap
Pengobatan
|
Lama
Pengobatan
|
Tablet
Isoniasid
@
300 mg
|
Kaplet
Rifampisin
@
450 mg
|
Tablet
Pirazinamid
@
500 mg
|
Etambutol
|
Streptomisin
Injeksi
|
Jumlah/
kali
menelan obat
|
|
Tablet
@
250 mg
|
Tablet
@
400 mg
|
|||||||
Tahap
Intenif (dosis harian
|
2
bulan
1
bulan
|
1
1
|
1
1
|
3
3
|
3
3
|
-
-
|
0,75
gr
-
|
56
28
|
Tahap
Lanjutan (dosis 3x seminggu)
|
4
bulan
|
2
|
1
|
-
|
1
|
2
|
-
|
60
|