11 orang yang mecoba mengejar mimpi menjadi seorang dokter yang sukses

Friday, July 13, 2012

HIPERSENSITIVITAS


Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi. 1
Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan hampir semua jenis organisme atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh. Kemampuan ini disebut imunitas . sebagian besar imunitas merupakan imunitas didapat yang tidak timbul sampai tubuh pertama kali diserang oleh bakteri yang menyebabkan penyakit atau toksin, seringkali membutuhkan waktu berminggu – minggu atau berbulan – bulan untuk membentuknya. Ada suatu imunitas tambahan yang merupakan akibat dari proses umum, dan bukan dari proses yang terarah pada organisme penyebab penyakit spesifik.2

HIPERSENSITIVITAS
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya berfungsi protektif, tetapi respon imun dapat menimbulkan akibat buruk yang disebut penyakit hipersensitivitas. Komponen – komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas.Hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologis, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.3

KLASIFIKASI
A.Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu
      1. Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam.antigen yang diikat IgE pada permukaan sel mast menginduksi penglepasan mediator vasoaktif.
Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaktik sistemik atau anafikatik lokal seperti pilek-bersin, asma, urtikaria, dan eksim.
2.Reaksi intermediat
Reaksi intermmediate terjadi setelah beberapa jam dan mengilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan komplek imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivitas komplemen dan atau sel NKADCC.
Manifestasinya dapat berupa :
                                                 I.      Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun
                                              II.      Reaksi Atrhus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sicness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES
Reaksi intermediate diawali oleh IgG yang disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel neutrofil atau sel NK. Dari segi mekanisme, tipe II terjadi bila antibodi diikat oleh antigen yang merupakan bagian dari sel jaringan. Tipe III terjadi bila IgG terhadap self-antigen larut membentuk komplek imun yang mengendap dijaringan. Dalam ke2 kejadian tersebut respon inflamasi setempat diaktifkan dan merusak jaringan.
   3.Reaksi lambat
Reksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen. Reaksi ini terjadi akibat aktivitas sel Th. Pada DTH yang berperan adalah sitokin yang dilepas adalah sel T yang mengaktifkan makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi mikrobakterium tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.3
B.Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut mekanisme
Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 yaitu : tipe I , II , III ,IV
tipe
manifestasi     
reaksi
I
Reaksi hipersensitivitas cepat
Biasanya IgE
II
Antibodi terhadap sel
IgG / IgM
III
Kompleks antigen – antibodi
IgG(terbanyak)/IgM
IV
Reaksi hipersentivitas lambat
Sel T yang disensitasi

Tabel 1 : Pembagian reaksi menurut mekanisme

             I.      REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan oleh alergen.
Urutan kejadian reaksi Tipe I :
1.Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
2.fase aktivasi yaitu waktu yang terjadi akibat pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi
3.fase efektor yaitu waktu terjadi respon yang komplek (anafilaksis) sebagai efek mediator – mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.
Sekitar 50 % - 70 % dari masyarakat membentuk IgE terhadap antigen yang masuk tubuh melalui mukosa tubuh seperti selaput lendir hidung, paru dan konjungtiva, tetapi hanya 10-20 % masyarakat yang menderita rinitis alergi dan sekitar 3-10 % yang menderita asma bronkial. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera segera diikat oleh mast/basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan akan menetap dalam beberapa minggu. Sensitasi daoat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukkan kedalam kulit / sirkulasi orang normal.
Reaksi yang terjadi dapat berupa wheal dan flare yaitu eritem (kemerahan oleh karena dilatasi vaskular) dan edema (pembengkakan yang disebabkan oleh masuknya serum kedalam jaringan). Puncak rekasi terjadi dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi terjadi perubahan dalam membran sel sebagai akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase ini energi dilepas akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakkan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh terhadap degranulasi. Peningkatan cAMP akan mencegah, sedang peningkatan cGMP memacu degranulasi. Penglepasan granul ini adalah fisiologik dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Sesudah degranulasi, sel memulai lagi fungsinya. Penyakit-penyakit yang segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen adalah asma bronkial, rinitis, urtikaria (tidak semua) dan dermatitis atopik. Degranulasi sel mast dapat pula terjadi atas pengaruh anafilatoksin, C3a dan C5a.
Disamping histamin, mediator lain seperti prostaglandin (PG) dan leukotrin yang dihasilkan dari metabolisme asam arachidonat akan berperan pada fase lambat dari reaksi fase lambat tersebut, fase lambat sering timbul setelah fase cepat hilang yaitu antara 6-8 jam. PG dan leukotrin merupakan mediator yang harus dibentuk terlebih dahulu dari metabolisme asam arachidonat atas pengaruh fosfolipase A2. 4

Gambar 1 : reaksi hipersensitivitas tipe I

          II.      REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II
Reaksi hipersensitivas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcy-R. Sel NK dapat berperan sebagai sel efektor yang menimbulkan kerusakan melalui mekanisme yang disebut antibody Depenent Cellular Cytotoxicity (ADCC). Ikatan antigen antibody dapat pula mengkatifkan komplement yang melalui reseptor C3b memudahkan fagositosis atau menimbulkan lisis.
Contoh reaksi tipe II adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, panyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun.4
Gambar 2 : gambar reaksi hipersensitivitas tipe II





       III.      REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE III
Reaksi tipe III disebut juga reaksi komplek imun, terjadi bila komplek antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi / dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen.
Komplek imun akan mengaktifkan sejumlah komponen sistem imun. Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan anafilatoksik (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin. Mediator lainya dan MCF (C3a, C5a, C5, C6, C7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein plokationik.
Komplement yang menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mikrotrombi dan melepas amin vasoaktif. Komplement yang mengaktifkan makrofag yang melepas IL-1 dan produk lainnya.
Bahan vasoaktif yang dibentuk sel mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular dan inflamasi. Neutrofil ditarik dan mengeliminasi kompleks. Bila neutrofil terkepung dijaringan akan sulit untuk memakan komplek dan akan melepas granulnya. Kejadian ini menimbulkan lebih banyak kerusakan jaringan. Makrofag yang dikerahkan ketempat tersebut meepas berbagai mediator antara lain anzim – enzim yang dapat merusak jaringan sekitarnya.
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respon antibodi yang efektif.
Gambar 3 : reaksi hipersensitifitas tipe III
Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan komplek imun sehingga makrofag dirangsang terus menerus untk melepas berbagai bahan yang dapat merusak jaringan.
Gambar 4 : reaksi hipersensitifitas tipe III
      Komplek imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3 diendapkan dalam membran basal vaskular.

1. Komplek imun menetap
Dalaam keadaan normal komplek imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit kehati, limpa dan disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama dihati, limpa dan paru tanpa bantuan komplement. Pada umumnya komplek yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Komplek kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fagosit meupakan salah satu penyebab mengapa komplek tersebut sult dimusnahkan. Meskipun komplek imun berada didalam sirkulasi dalam jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap dijaringan.
2. Komplek imun mengendap dijaringan
Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan komplek imun dijaringan ialah ukuran komplek imun yang kecil dan permeabilitas vasular yang meningkat, antara lain kare histamin yang dilepas sel mast.
Gambar 5 : komplek imun yang patologik
3. Bentuk reaksi
Reaksi tipe III mempunyai 2 bentuk :
a. Reaksi Arthus (bentuk lokal)
                  Arthus yang menyuntikkan serum kuda kedalam kelinci intradermal berulangkali menemukan reaksi yang hebat ditempat suntikan. Mula – mula hanya terjadi eritem yang ringan dan edema dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya. Suntikan kemudian menimbulkan edema yang lebih besar dan suntikan yan ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit menyembuh. Hal tersebut disebut reaksi arthus yang merupakan bentuk dari reaksi komplek imun.




Gambar 6 : reaksi arthus
                  Reksi arthus terjadi didinding bronkus atau alveoli dan menimbulkan reaksi asma lambat yang terjai 7-8 jam setelah inhalasi antigen yang sering terjadi pada asma akibat kerja. Reaksi arthus biasanyan memrlukan antigen dan antibodi dalam jumlah besar. Antigen yang disuntikkan akan membentuk komplek yang tidk larut dan masuk kedalam sirkulasi atau mengendap dalam dinding pembuluh darah. Bila agregat menjadi besar, kompelement diaktifkan. C3a dan C5a (anafilaktosis) yang terbentuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan terjadi edama. C3a dan C5a berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai dikerahkan ditempat reaksi dan menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan komplek imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdrahan yang disertai dengan nekrosis jaringan setempat.

Gambar 7 : skema interaksi molekular , selular dan jaringan pada reaksi arthus
                  Dengan tehnik imunofluoresen, antigen, antibodi dan berbagai komplement – komplement dapat ditemukan ditempat kerusakan pada dinding pembuluh darah. Bila kadar kompelemnt atau jumlah granulosit menurun (pada hewan, kadar komplement dapat diturunkan dengan bisa kobra), maka kerusakan khas dari arthus tidak terjadi. Rekasi arthus didalam klinik dapat berupa vaskulitis.

2. Reaksi serum sicness (bentuk sistemik)
                  Rekasi bentuk ke 2 disebut serum sicness. Istilah itu berasal dari Pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dengan anti serum asal kuda. Kerusakan patologis pada infeksi korinebakterium dan klostridium disebabkan eksotoksin yang dilepas, sedang kumannya sendiri tidak invansif dan tidak berati.
                  Sekitar 1-2 minggu setelah serum kuda diberikan, timbul panas dan gatal, bengka-bengkak, kemerahan dan rasa sakit dibeberapa bagian badan, sendi dan kelenjar getah bening.

4. Penyakit komplek imun
Komplek imun lebih mudah untuk diendapkan ditempat – tempat dengan tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya dalam kapilae glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan korpus silier mata. Pada LES , ginjal merupakan tempat endapan kompelk imun. Pada artritis rematoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti-IgG dan menimbulkan komplek imun disendi. 5

IV. REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV
Reaksi tipe IV diperantai oleh kontak sel-sel T yang telah disensitisasi oleh imunogen yang sesuai. Reaksi ini cenderung terjadi dalam 12 – 24 jam setelah pajanan awal keimunogen. Sel – sel CD4 (sel T penolong) melepaskan sitokin yang menarik dan merangsang makrofag untuk membebaskan mediator – mediator peradangan. Apabila imunogen menetap, maka kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses ini dapat berkembang menjadi reaksi granulomatosa kronik misalnya berkumpulnya sel – sel mononukleus didaerah kerusakan jaringan.
Berbagai imunogen, seperti virus , bakteri , fungus , hapten dan obat, dapat memicu reksi tipe IV. Basil tuberkel tampaknya menyebabkan respon seluler yang menyebabkan limfotoksisitas.reaksi IV merupakan penyebab utama penolakan yang terjadi pada beberapa transplantasi organ,. Apabila jaringan hidup dari 1 orang keorang lain, baik sepotong kulit atau suatu organ keseluruhan, maka kecuali atau donor dan rsipien identik secaragenetik, jaringan yang ditandur akan dianggab oleh sel imun resipien sebagai benda asing dan nonself. Setelah suatu fase induksi yang singkat, limfosit yang secara spesific tersentisisasi keantigen MHC dari donor akan meyerbu tandur. Limfosit –limfosit ini menyebabkan destruksi atau atau penolakan tandur melalui sejumlah mekanisme yang melibatkan limfositoksisitas langsung atau rekrutmen makrofag. Walaupun sel T berperan penting dalam menolak tandur, namun pada bebrapa keadaan imunoglobulin berperan penting. Tipe reaksi penolakan ini membatasi kemampuan kita mengganti organ yang cacat pada seseorang dengan organ yang diambil dari orang lain.5
 DERAJAT HIPERSENSITIVITAS
 1. Ringan
Rasa tidak enak, rasa penuh dimulut, hidung tersumbat, edema pre-orbita, kulit gatal, mata berair.
       2. Sedang
Rasa tidak enak, rasa penuh dimulut, hidung tersumbat, edema pre-orbita, kulit gatal, mata berair dan bronkospasme.
       3. Berat
a.       Gelisah, kesadaran menurun
b.      Pucat, keringat banyak, akral dingin
c.       Jantung berdebar, nyeri dada, takikardi, takipneu
d.      Tekanan darah menurun, oliguri

  PENATALAKSANAAN
     
1.Ringan
Stop alergen, beri antihistamin.
2. Sedang
1.      Stop alergen, beri antihistamin
2.      Beri aminofilin atau inj.Adrenalin 1/1000 0,3 ml sc/im, dapat diulang tiap 10-15 menit sampai sembuh, maksimal 3 kali.
3.      Amankan jalan nafas, oksigenasi.
3. Berat
a.       Seperti derajat sedang ditambah : posisi terlentang, kaki diatas
b.      Infus Nacl 0,9 % / D5%
c.       Hidrokortison 100mg atau deksametason iv tiap 8 jam
d.      Bila gagal : beri difendidramin HCL 60-80 mg iv secara pelan . 3 menit
e.       Jika alergen adalah suntikan, pasang manset diatas suntikan (dilepas tiap 10-15 menit) dan beri adrenalin 0,1 – 0,5 ml im pada bekas suntikan
f.       Awasi tensi , nadi, suhu tiap 30 menit
g.      Setelah semua diupayakan , jika dalam 1jam tidak ada perbaikan rujuk ke RSUD 6,7,8
Sedangkan Departemen Kesehatan RI dalam Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas membagi penanganan syok anafilaktik dalam beberapa tahap sebagai berikut : 9
A. Penanganan Utama dan Segera
1. Hentikan pemberian obat / antigen penyebab
2. Baringkan penderita dengan posisi tungkai lebih tinggi dari kepala
3. Berikan Adrenalin 1 : 1000 (1mg/ml)
·        Segera seelah IM pada otot deltoideus, dengan dosis 0,3 –    0,5 ml (anak : 0,01 ml/kgBB), dapat diulang tiap 5 menit
·        Pada tempat suntikan atau sengatan dapat diberikan 0,1-0,3 ml pemberian adrenalin IV apabila terjadi tidak ada respon pada pemberian secara IM, atau terjadi kegagalan sirkulasi dan syok, dengan dosis : 0,5 ml adrenalin 1:1000 (1mg/ml) diencerkan dalam 10ml larutan garam faal dan diberikan selama 10 menit.
4. Bebaskan jalan nafas dan awasi vital sign sampai syok teratasi
5. Pasang infus dengan larutan Glukosa faal bila tekanan darah sistole < 100 mmHg
6. Pemberian oksigen 5-10 L/menit
7. Bila diperlukan rujuk pasien ke RSU terdekat dengan pengawasan tenaga medis
B. Penanganan Tambahan
1.      Pemberian antihistamin :
Difhenhidramin injeksi 50mg , dapat diberikan bila timbul urtikaria.
2.      Pemberian kortikosteroid
Hydrokortison inj 7 – 10 mg/ kg bb , dilanjutkna 5mg/ kg bb setiap 6 jam atau dexamethason 2 – 6 mg/ kg BB untuk mencegah reaksi berulang.
3.      Pemberian aminofilin IV, 4-7 mg/kgBB selama 10-20 menit bila terjadi tanda – tanda bronkospasme, dapat diikuti dengan infuse 0,6 mg/kgBB/jam, atau bronkodilator aerosol (terbutalin,salbutamol)

    C.Penanganan penunjang
·        Tenagkan penderita, istirahat dan hindarkan pemanasan
·        Pantau tanda – tanda vital secara ketat sedikitnya pada jam pertama.


SIMPULAN
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allerge.
           Hipersensitivitas memiliki 4 reaksi, yaitu type I: reaksi anafilaksis, type II: Reaksi sitotoksik, type III: Reaksi imun kompleks, dan type IV: Reaksi tipe lambat.
 


DAFTAR PUSTAKA
1.      Stiehm ER. Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders, 1989
2.      Guyton, Hall, Fisiologi Kedokteran, edisi 9, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997 : 567 - 568
3.      Barata Widjaya, KG, Imunologi Dasar, edisi 5, Balai Penerbit FKUI, 2002 ; 135 -166
4.      Barata Widjaya, KG, Imunologi Dasar, edisi 7, Balai Penerbit FKUI, 2006 ; 155 -174
5.      Price, SA, Patofisiologi, edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006: 102 – 105
6.      Syok anafilaktik, RSU DR Slamet-FK Yarsi,2009: 26-29 idmgarut.worldpress.com/2009/01/29/syok-anafilaktik diunduh tanggal 1 Desember 2011
7.      Syok anafilaktik, bagian anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin,2010:18-21 www.scribd.com/doc/45207924/syok-anafilaktik-TBM-2010 diunduh tanggal 1 Desember 2011
8.      syok anafilaktik, protap kegawatan puskesmas, 2006: 15-19 http://puskesmaspalaran.wordpress.com/2006/11/05/syok-anafilaktik/ diunduh tanggal 1 desember 2011
9.      Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas, 2002: 19-23