Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah
yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah
sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang
memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem
imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu
dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin,
yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan
mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal
yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi
hipersensitivitas atau alergi. 1
Tubuh manusia mempunyai kemampuan
untuk melawan hampir semua jenis organisme atau toksin yang cenderung merusak
jaringan dan organ tubuh. Kemampuan
ini disebut imunitas . sebagian besar
imunitas merupakan imunitas didapat yang
tidak timbul sampai tubuh pertama kali diserang oleh bakteri yang menyebabkan
penyakit atau toksin, seringkali membutuhkan waktu berminggu – minggu atau
berbulan – bulan untuk membentuknya. Ada suatu imunitas tambahan yang merupakan
akibat dari proses umum, dan bukan dari proses yang terarah pada organisme
penyebab penyakit spesifik.2
HIPERSENSITIVITAS
Respon imun, baik nonspesifik
maupun spesifik pada umumnya berfungsi protektif, tetapi respon imun dapat
menimbulkan akibat buruk yang disebut penyakit hipersensitivitas. Komponen –
komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang
menimbulkan reaksi hipersensitivitas.Hipersensitivitas adalah reaksi imun yang
patologis, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh.3
KLASIFIKASI
A.Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu
1. Reaksi
cepat
Reaksi cepat
terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam.antigen yang diikat IgE
pada permukaan sel mast menginduksi penglepasan mediator vasoaktif.
Manifestasi
reaksi cepat berupa anafilaktik sistemik atau anafikatik lokal seperti
pilek-bersin, asma, urtikaria, dan eksim.
2.Reaksi intermediat
Reaksi
intermmediate terjadi setelah beberapa jam dan mengilang dalam 24 jam. Reaksi
ini melibatkan pembentukan komplek imun IgG dan kerusakan jaringan melalui
aktivitas komplemen dan atau sel NKADCC.
Manifestasinya
dapat berupa :
I.
Reaksi transfusi darah, eritroblastosis
fetalis dan anemia hemolitik autoimun
II.
Reaksi Atrhus lokal dan reaksi sistemik
seperti serum sicness, vaskulitis
nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES
Reaksi
intermediate diawali oleh IgG yang disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel
neutrofil atau sel NK. Dari segi mekanisme, tipe II terjadi bila antibodi
diikat oleh antigen yang merupakan bagian dari sel jaringan. Tipe III terjadi
bila IgG terhadap self-antigen larut membentuk komplek imun yang mengendap
dijaringan. Dalam ke2 kejadian tersebut respon inflamasi setempat diaktifkan
dan merusak jaringan.
3.Reaksi lambat
Reksi
lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen. Reaksi
ini terjadi akibat aktivitas sel Th. Pada DTH yang berperan adalah sitokin yang
dilepas adalah sel T yang mengaktifkan makrofag dan menimbulkan kerusakan
jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi mikrobakterium
tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.3
B.Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut mekanisme
Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 yaitu : tipe I , II ,
III ,IV
tipe
|
manifestasi
|
reaksi
|
I
|
Reaksi
hipersensitivitas cepat
|
Biasanya IgE
|
II
|
Antibodi terhadap sel
|
IgG / IgM
|
III
|
Kompleks antigen –
antibodi
|
IgG(terbanyak)/IgM
|
IV
|
Reaksi hipersentivitas
lambat
|
Sel T yang disensitasi
|
Tabel 1 :
Pembagian reaksi menurut mekanisme
I.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I
Reaksi tipe I
yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi,
timbul segera sesudah tubuh terpajan oleh alergen.
Urutan kejadian
reaksi Tipe I :
1.Fase sensitasi yaitu
waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik
pada permukaan sel mast dan basofil.
2.fase aktivasi yaitu
waktu yang terjadi akibat pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, sel mast
melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi
3.fase efektor yaitu waktu
terjadi respon yang komplek (anafilaksis) sebagai efek mediator – mediator yang
dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.
Sekitar 50 % - 70 % dari
masyarakat membentuk IgE terhadap antigen yang masuk tubuh melalui mukosa tubuh
seperti selaput lendir hidung, paru dan konjungtiva, tetapi hanya 10-20 %
masyarakat yang menderita rinitis alergi dan sekitar 3-10 % yang menderita asma
bronkial. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera segera diikat
oleh mast/basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan akan menetap dalam beberapa minggu.
Sensitasi daoat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi
dimasukkan kedalam kulit / sirkulasi orang normal.
Reaksi yang terjadi
dapat berupa wheal dan flare yaitu eritem (kemerahan oleh
karena dilatasi vaskular) dan edema (pembengkakan yang disebabkan oleh masuknya
serum kedalam jaringan). Puncak rekasi terjadi dalam 10-15 menit. Pada fase
aktivasi terjadi perubahan dalam membran sel sebagai akibat metilasi fosfolipid
yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam
fase ini energi dilepas akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan
menggerakkan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel
berpengaruh terhadap degranulasi. Peningkatan cAMP akan mencegah, sedang
peningkatan cGMP memacu degranulasi. Penglepasan granul ini adalah fisiologik
dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Sesudah degranulasi, sel memulai
lagi fungsinya. Penyakit-penyakit yang segera sesudah tubuh terpajan dengan
alergen adalah asma bronkial, rinitis, urtikaria (tidak semua) dan dermatitis
atopik. Degranulasi sel mast dapat pula terjadi atas pengaruh anafilatoksin,
C3a dan C5a.
Disamping histamin,
mediator lain seperti prostaglandin (PG) dan leukotrin yang dihasilkan dari
metabolisme asam arachidonat akan berperan pada fase lambat dari reaksi fase
lambat tersebut, fase lambat sering timbul setelah fase cepat hilang yaitu
antara 6-8 jam. PG dan leukotrin merupakan mediator yang harus dibentuk
terlebih dahulu dari metabolisme asam arachidonat atas pengaruh fosfolipase A2.
4
Gambar 1 : reaksi hipersensitivitas tipe I
II.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II
Reaksi hipersensitivas
tipe II disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena dibentuknya antibodi
jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu.
Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcy-R. Sel NK dapat berperan sebagai sel
efektor yang menimbulkan kerusakan melalui mekanisme yang disebut antibody Depenent Cellular Cytotoxicity (ADCC).
Ikatan antigen antibody dapat pula mengkatifkan komplement yang melalui
reseptor C3b memudahkan fagositosis atau menimbulkan lisis.
Contoh reaksi tipe II
adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, panyakit anemia
hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun.4
Gambar 2 : gambar reaksi hipersensitivitas tipe II
III.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE III
Reaksi tipe III
disebut juga reaksi komplek imun, terjadi bila komplek antigen-antibodi
ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi / dinding pembuluh darah dan
mengaktifkan komplemen.
Komplek imun
akan mengaktifkan sejumlah komponen sistem imun. Antibodi yang berperan
biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan anafilatoksik (C3a, C5a)
yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin. Mediator lainya dan MCF
(C3a, C5a, C5, C6, C7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan
protein plokationik.
Komplement yang
menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mikrotrombi dan melepas amin
vasoaktif. Komplement yang mengaktifkan makrofag yang melepas IL-1 dan produk
lainnya.
Bahan vasoaktif
yang dibentuk sel mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskular dan inflamasi. Neutrofil ditarik dan mengeliminasi
kompleks. Bila neutrofil terkepung dijaringan akan sulit untuk memakan komplek
dan akan melepas granulnya. Kejadian ini menimbulkan lebih banyak kerusakan
jaringan. Makrofag yang dikerahkan ketempat tersebut meepas berbagai mediator
antara lain anzim – enzim yang dapat merusak jaringan sekitarnya.
Antigen dapat
berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang
terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari
jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai antigen dalam
jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respon antibodi yang efektif.
Gambar 3 :
reaksi hipersensitifitas tipe III
Makrofag yang
diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan komplek imun sehingga makrofag
dirangsang terus menerus untk melepas berbagai bahan yang dapat merusak
jaringan.
Gambar 4 :
reaksi hipersensitifitas tipe III
Komplek imun yang terdiri atas antigen
dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3 diendapkan dalam membran basal vaskular.
1. Komplek imun menetap
Dalaam keadaan
normal komplek imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit kehati, limpa
dan disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama dihati, limpa dan
paru tanpa bantuan komplement. Pada umumnya komplek yang besar dapat dengan
mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Komplek kecil dan larut
sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi.
Diduga bahwa gangguan fagosit meupakan salah satu penyebab mengapa komplek tersebut
sult dimusnahkan. Meskipun komplek imun berada didalam sirkulasi dalam jangka
waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks
imun tersebut mengendap dijaringan.
2. Komplek
imun mengendap dijaringan
Hal yang
memungkinkan terjadinya pengendapan komplek imun dijaringan ialah ukuran
komplek imun yang kecil dan permeabilitas vasular yang meningkat,
antara lain kare histamin yang dilepas sel mast.
Gambar 5 : komplek imun yang patologik
3. Bentuk reaksi
Reaksi tipe III
mempunyai 2 bentuk :
a. Reaksi Arthus
(bentuk lokal)
Arthus yang menyuntikkan serum kuda kedalam
kelinci intradermal berulangkali menemukan reaksi yang hebat ditempat suntikan.
Mula – mula hanya terjadi eritem yang ringan dan edema dalam 2-4 jam sesudah
suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya. Suntikan kemudian
menimbulkan edema yang lebih besar dan suntikan yan ke 5-6 menimbulkan
perdarahan dan nekrosis yang sulit menyembuh. Hal tersebut disebut reaksi
arthus yang merupakan bentuk dari reaksi komplek imun.
Gambar 6 :
reaksi arthus
Reksi arthus terjadi didinding
bronkus atau alveoli dan menimbulkan reaksi asma lambat yang terjai 7-8 jam
setelah inhalasi antigen yang sering terjadi pada asma akibat kerja. Reaksi
arthus biasanyan memrlukan antigen dan antibodi dalam jumlah besar. Antigen
yang disuntikkan akan membentuk komplek yang tidk larut dan masuk kedalam
sirkulasi atau mengendap dalam dinding pembuluh darah. Bila agregat menjadi
besar, kompelement diaktifkan. C3a dan C5a (anafilaktosis) yang terbentuk
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan terjadi edama. C3a dan C5a
berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai
dikerahkan ditempat reaksi dan menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran
darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan komplek imun dan bersama dengan
trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase
dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdrahan yang disertai dengan nekrosis
jaringan setempat.
Gambar 7 : skema
interaksi molekular , selular dan jaringan pada reaksi arthus
Dengan tehnik imunofluoresen,
antigen, antibodi dan berbagai komplement – komplement dapat ditemukan ditempat
kerusakan pada dinding pembuluh darah. Bila kadar kompelemnt atau jumlah
granulosit menurun (pada hewan, kadar komplement dapat diturunkan dengan bisa kobra), maka
kerusakan khas dari arthus tidak terjadi. Rekasi arthus didalam klinik dapat
berupa vaskulitis.
2. Reaksi serum sicness (bentuk sistemik)
Rekasi bentuk ke 2 disebut serum sicness. Istilah itu berasal dari
Pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada
pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dengan anti serum asal kuda.
Kerusakan patologis pada infeksi korinebakterium dan klostridium disebabkan
eksotoksin yang dilepas, sedang kumannya sendiri tidak invansif dan tidak
berati.
Sekitar 1-2 minggu setelah
serum kuda diberikan, timbul panas dan gatal, bengka-bengkak, kemerahan dan
rasa sakit dibeberapa bagian badan, sendi dan kelenjar getah bening.
4. Penyakit komplek imun
Komplek imun
lebih mudah untuk diendapkan ditempat – tempat dengan tekanan darah yang
meninggi dan disertai putaran arus, misalnya dalam kapilae glomerulus,
bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan korpus silier mata. Pada LES ,
ginjal merupakan tempat endapan kompelk imun. Pada artritis rematoid, sel
plasma dalam sinovium membentuk anti-IgG dan menimbulkan komplek imun disendi. 5
IV. REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV
Reaksi tipe IV
diperantai oleh kontak sel-sel T yang telah disensitisasi oleh imunogen yang
sesuai. Reaksi ini cenderung terjadi dalam 12 – 24 jam setelah pajanan awal
keimunogen. Sel – sel CD4 (sel T penolong) melepaskan sitokin yang menarik dan
merangsang makrofag untuk membebaskan mediator – mediator peradangan. Apabila
imunogen menetap, maka kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses ini dapat
berkembang menjadi reaksi granulomatosa kronik misalnya berkumpulnya sel – sel
mononukleus didaerah kerusakan jaringan.
Berbagai imunogen,
seperti virus , bakteri , fungus , hapten dan obat, dapat memicu reksi tipe IV.
Basil tuberkel tampaknya menyebabkan respon seluler yang menyebabkan
limfotoksisitas.reaksi IV merupakan penyebab utama penolakan yang terjadi pada
beberapa transplantasi organ,. Apabila jaringan hidup dari 1 orang keorang
lain, baik sepotong kulit atau suatu organ keseluruhan, maka kecuali atau donor
dan rsipien identik secaragenetik, jaringan yang ditandur akan dianggab oleh
sel imun resipien sebagai benda asing dan nonself. Setelah suatu fase induksi
yang singkat, limfosit yang secara spesific tersentisisasi keantigen MHC dari
donor akan meyerbu tandur. Limfosit –limfosit ini menyebabkan destruksi atau
atau penolakan tandur melalui sejumlah mekanisme yang melibatkan
limfositoksisitas langsung atau rekrutmen makrofag. Walaupun sel T berperan
penting dalam menolak tandur, namun pada bebrapa keadaan imunoglobulin berperan
penting. Tipe reaksi penolakan ini membatasi kemampuan kita mengganti organ
yang cacat pada seseorang dengan organ yang diambil dari orang lain.5
DERAJAT
HIPERSENSITIVITAS
1. Ringan
Rasa tidak enak,
rasa penuh dimulut, hidung tersumbat, edema pre-orbita, kulit gatal, mata
berair.
2. Sedang
Rasa tidak enak,
rasa penuh dimulut, hidung tersumbat, edema pre-orbita, kulit gatal, mata
berair dan bronkospasme.
3. Berat
a.
Gelisah, kesadaran menurun
b.
Pucat, keringat banyak, akral dingin
c.
Jantung berdebar, nyeri dada, takikardi, takipneu
d.
Tekanan darah menurun, oliguri
PENATALAKSANAAN
1.Ringan
Stop alergen,
beri antihistamin.
2. Sedang
1.
Stop alergen, beri antihistamin
2.
Beri aminofilin atau inj.Adrenalin 1/1000 0,3 ml
sc/im, dapat diulang tiap 10-15 menit sampai sembuh, maksimal 3 kali.
3.
Amankan jalan nafas, oksigenasi.
3. Berat
a.
Seperti derajat sedang ditambah : posisi terlentang,
kaki diatas
b.
Infus Nacl 0,9 % / D5%
c.
Hidrokortison 100mg atau deksametason iv tiap 8 jam
d.
Bila gagal : beri difendidramin HCL 60-80 mg iv
secara pelan . 3 menit
e.
Jika alergen adalah suntikan, pasang manset diatas
suntikan (dilepas tiap 10-15 menit) dan beri adrenalin 0,1 – 0,5 ml im pada
bekas suntikan
f.
Awasi tensi , nadi, suhu tiap 30 menit
g.
Setelah semua diupayakan , jika dalam 1jam tidak ada
perbaikan rujuk ke RSUD 6,7,8
Sedangkan Departemen
Kesehatan RI dalam Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas membagi penanganan
syok anafilaktik dalam beberapa tahap sebagai berikut : 9
A. Penanganan
Utama dan Segera
1. Hentikan
pemberian obat / antigen penyebab
2. Baringkan
penderita dengan posisi tungkai lebih tinggi dari kepala
3. Berikan
Adrenalin 1 : 1000 (1mg/ml)
·
Segera seelah IM pada otot deltoideus, dengan dosis
0,3 – 0,5 ml (anak : 0,01 ml/kgBB),
dapat diulang tiap 5 menit
·
Pada tempat suntikan atau sengatan dapat diberikan
0,1-0,3 ml pemberian adrenalin IV apabila terjadi tidak ada respon pada
pemberian secara IM, atau terjadi kegagalan sirkulasi dan syok, dengan dosis :
0,5 ml adrenalin 1:1000 (1mg/ml) diencerkan dalam 10ml larutan garam faal dan
diberikan selama 10 menit.
4. Bebaskan
jalan nafas dan awasi vital sign sampai syok teratasi
5. Pasang infus
dengan larutan Glukosa faal bila tekanan darah sistole < 100 mmHg
6. Pemberian
oksigen 5-10 L/menit
7. Bila
diperlukan rujuk pasien ke RSU terdekat dengan pengawasan tenaga medis
B. Penanganan
Tambahan
1.
Pemberian antihistamin :
Difhenhidramin
injeksi 50mg , dapat diberikan bila timbul urtikaria.
2.
Pemberian kortikosteroid
Hydrokortison
inj 7 – 10 mg/ kg bb , dilanjutkna 5mg/ kg bb setiap 6 jam atau dexamethason 2
– 6 mg/ kg BB untuk mencegah reaksi berulang.
3.
Pemberian aminofilin IV, 4-7 mg/kgBB selama 10-20
menit bila terjadi tanda – tanda bronkospasme, dapat diikuti dengan infuse 0,6
mg/kgBB/jam, atau bronkodilator aerosol (terbutalin,salbutamol)
C.Penanganan penunjang
·
Tenagkan penderita, istirahat dan hindarkan
pemanasan
·
Pantau tanda – tanda vital secara ketat sedikitnya
pada jam pertama.
SIMPULAN
Alergi atau
hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang
umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan
terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau
berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut
allerge.
Hipersensitivitas memiliki 4 reaksi, yaitu type I: reaksi anafilaksis, type II:
Reaksi sitotoksik, type III: Reaksi imun kompleks, dan type IV: Reaksi tipe
lambat.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Stiehm ER. Immunologic
disorders in infants and children. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders, 1989
2. Guyton, Hall,
Fisiologi Kedokteran, edisi 9, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997 : 567 - 568
3. Barata Widjaya,
KG, Imunologi Dasar, edisi 5, Balai Penerbit FKUI, 2002 ; 135 -166
4. Barata Widjaya,
KG, Imunologi Dasar, edisi 7, Balai Penerbit FKUI, 2006 ; 155 -174
5. Price, SA,
Patofisiologi, edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006: 102 – 105
6. Syok
anafilaktik, RSU DR Slamet-FK Yarsi,2009: 26-29 idmgarut.worldpress.com/2009/01/29/syok-anafilaktik
diunduh tanggal 1 Desember 2011
7. Syok
anafilaktik, bagian anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin,2010:18-21
www.scribd.com/doc/45207924/syok-anafilaktik-TBM-2010
diunduh tanggal 1 Desember 2011
8. syok
anafilaktik, protap kegawatan puskesmas, 2006: 15-19 http://puskesmaspalaran.wordpress.com/2006/11/05/syok-anafilaktik/
diunduh tanggal 1 desember 2011
9. Departemen
Kesehatan RI, Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas, 2002: 19-23