I.
Pendahuluan
Gagal ginjal adalah
suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.1 Gagal ginjal
biasanya dibagi menjadi dua kategori yang luas yaitu kronik dan akut. Gagal
ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat
(biasanya berlangsung beberapa tahun), mengakibatkan tertumpuknya sisa-sisa
metabolik yang toksik serta gangguan keseimbangan air, elektrolit, dan asam
basa.2 Sebaliknya, gagal ginjal akut terjadi dalam beberapa hari
atau minggu.3
Gagal ginjal kronik
ditandai dengan uremia berkepanjangan.4 Gagal ginjal kronik terjadi
setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal. Sebagian
besar penyakit ini merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral,
meskipun lesi obstruktif pada traktus urinarius juga dapat menyebabkan gagal ginjal
kronik. Pada awalnya, beberapa penyakit ginjal terutama menyerang glomerulus
(glomerulonefritis), sedangkan jenis yang lain terutama menyerang tubulus
ginjal (pielonefritis atau penyakit polikistik ginjal) atau dapat juga
mengganggu perfusi darah pada parenkim ginjal (nefrosklerosis). Namun, bila
proses penyakit tidak dihambat, maka pada semua kasus seluruh nefron akhirnya
hancur dan diganti dengan jaringan parut. 3
Gagal ginjal terminal
dapat disebabkan oleh penyakit ginjal, namun empat penyebab utama gagal ginjal
terminal yaitu diabetes (34%), hipertensi (21%), glomerulonefritis (17%), dan
penyakit polikistik ginjal (3,5%)3
Terapi konservatif
diberikan kepada penderita gagal ginjal kronik dengan tujuan mencegah
perburukan progresif ginjal dan mencegah timbulnya komplikasi. Namun, pada
stadium gagal ginjal terminal, terapi pengganti ginjal merupakan terapi
pilihan. 3
II.
Insidens
dan Epidemiologi
Gagal ginjal kronik
merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan ireversibel yang
berasal dari berbagai penyebab. Kegagalan ginjal dalam melaksanakan
fungsi-fungsi vital menimbulkan keadaan yang disebut uremia atau penyakit
ginjal stadium akhir (end stage renal
disease, ESRD). ESRD (didefinisikan sebagai individu yang terus menerus
menjalani dialisis jangka panjang atau transplantasi) adalah penyebab utama
mortalitas dan morbiditas di Amerika Serikat. Diabetes dan hipertensi
bertanggungjawab terhadap proporsi ESRD yang paling besar, terhitung secara
berturut-turut sebesar 34% dan 21% dari total kasus. Glomerulonefritis adalah
penyebab ESRD tersering yang ketiga (17%). Infeksi nefritis tubulointerstisial
(pielonefritis kronik atau nefropati refluks) dan penyakit ginjal polikistik
(PKD) masing-masing terhitung sebanyak 3,4% dari ESRD (U.S Renal Data System,
2000). Dua puluh satu persen penyebab ESRD sisanya relatif tidak sering
terjadi.3
Data dari European Dialysis and Transplantation
Association (EDTA) menunjukkan penyebab gagal ginjal kronik dari 41.132
penderita yang didialisis dan transplantasi adalah sebagai berikut:2
1. Glomerulonefritis
(48,4%)
2. Pielonefritis
(19,8%)
3. Penyakit
ginjal sistemik (8,4%)
4. Penyakit
renovaskular (2,9%)
5. Nefropati
obat (3,2%)
6. Hipoplasia
kongenital (1,5%)
7. Nefropati
herediter (1,5%)
8. Nekrosis
korteks dan tubulus (0,6%)
9. Penyebab
lain (11,7%)
Empat faktor risiko
utama dalam perkembangan ESRD adalah usia, ras, jenis kelamin dan riwayat
keluarga. Insidensi gagal ginjal diabetikum sangat meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. ESRD yang disebabkan oleh nefropati hipertensi 6,2 kali
lebih sering terjadi pada orang Afrika-Amerika daripada orang Kaukasia. Secara
keseluruhan, insidensi ESRD lebih besar pada laki-laki (56,3%) daripada
perempuan (43,7%) walaupun penyakit sistemik tertentu pada ESRD (seperti
diabetes mellitus dan SLE) lebih sering terjadi pada perempuan. Riwayat
keluarga adalah faktor risiko dalam perkembagan diabetes mellitus dan
hipertensi. PKD diwariskan secara dominan autosomal herediter, dan terdapat
berbagai variasi dari penyakit ginjal terkait-seks atau resesif yang jarang
terjadi. 3
III. Anatomi dan Fisiologi
Saluran kemih terdiri
dari organ pembentuk urin, yaitu ginjal dan struktur-struktur yang menyalurkan
urin dari ginjal ke luar tubuh. Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk
seperti kacang yang terletak di belakang rongga abdomen, satu di setiap sisi
kolumna vertebralis.5 Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan
ginjal kiri karena tertekan ke bawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi
iga kedua belas. Sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi iga
kesebelas.3 Setiap ginjal dipasok (diperdarahi) oleh arteri renalis
dan vena renalis yang masing-masing masuk dan keluar ginjal di lekukan medial
dan menyebabkan organ ini berbentuk seperti buncis. Ginjal mengolah plasma yang
mengalir masuk ke dalamnya untuk menghasilkan urin, menahan bahan-bahan
tertentu dan mengeliminasi bahan-bahan yang tidak diperlukan ke dalam urin.
Setelah terbentuk, urin mengair ke sebuah rongga pengumpul sentral, pelvis
ginjal, yang terletak pada bagian dalam sisi medial di pusat kedua ginjal.
Kemudian, urin disalurkan ke dalam ureter, sebuah duktus berdinding otot polos
yang keluar dari batas medial dekat dengan pangkal arteri dan vena renalis.
Terdapat dua ureter, yang menyalurkan urin dari setiap ginjal ke sebuah kadung
kemih.5 Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya sekitar 10
sampai 12 inchi (25 hingga 30 cm). Fungsi satu-satunya adalah menyalurkan urin
ke vesika urinaria.3 Vesika urinaria atau kandung kemih, yang
menyimpan urin secara temporer, adalah sebuah kantung berongga yang dapat
diregangkan dan volumenya disesuaikan dengan mengubah-ubah status kontraktil
otot polos di dindingnya.5 Vesika urinaria terletak di belakang
simfisis pubis.3 Secara berkala, urin dikosongkan dari vesika
urinaria ke luar tubuh melalui uretra. Uretra pada wanita berbentuk lurus dan
pendek, berjalan secara langsung dari leher kandung kemih ke luar tubuh. Pada
pria, uretra jauh lebih panjang dan melengkung dari kandung kemih ke luar
tubuh, melewati kelenjar prostat dan penis.5 Panjang uretra pada
wanita sekitar 1½ inchi (4 cm) dan pada laki-laki sekitar 8 inchi (20 cm).
Muara uretra keluar tubuh disebut meatus urinarius. 3
Gambar 1
Anatomi Ginjal6
Setiap ginjal terdiri
dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran makroskopik yang dikenal
sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Susunan
nefron di dalam ginjal membentuk dua daerah khusus yaitu daerah sebelah luar
yang tampak granuler, korteks ginjal dan daerah bagian dalam yang berupa
segitiga bergaris-garis, piramida ginjal, yang secara kolektif disebut medula
ginjal. Setiap nefron terdiri dari komponen vaskuler dan komponen tubulus, yang
keduanya secara struktural dan fungsional berkaitan erat. Bagian dominan pada komponen
vaskuler adalah glomerulus, suatu berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi
sebagian air dan zat terlarut dari darah yang melewatinya. Cairan yang sudah
terfiltrasi ini kemudian mengalir ke komponen tubulus nefron. Komponen tubulus
berawal dari kapsul Bowman, suatu invaginasi berdinding rangkap yang melingkupi
glomerulus untuk mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus.
Dari kapsul Bowman, cairan yang difiltrasi mengalir ke dalam tubulus proksimal,
yang seluruhnya terletak di dalam korteks dan sangat bergelung. Segmen
berikutnya, lengkung Henle, membentuk lengkung tajam berbentuk U yang terbenam
ke dalam medulla ginjal yang kemudian mengalir ke tubulus distal, selanjutnya
ke duktus atau tubulus pengumpul, dengan satu duktus pengumpul menerima cairan
dari sekitar delapan nefron yang berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke
dalam medulla untuk mengosongkan cairan isinya (yang telah berubah menjadi
urin) ke dalam pelvis ginjal.5
Gambar 2
Struktur
Nefron7
1.
Glomerulus
2.
Tubulus proksimal yang berkelok
3.
Tubulus proksimal lurus
4.
Lengkung Henle pars descendens
5.
Lengkung Henle pars ascendens (tipis)
6.
Lengkung Henle pars ascendens (tebal)
7.
Apparatus juxtaglomerulus
8.
Tubulus distal yang berkelok
9.
Tubulus distal lurus
10.
Tubulus pengumpul
Ginjal melaksanakan
tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan ekskretoriknya:5
·
Filtrasi glomerulus, perpindahan
non-diskriminatif plasma bebas-protein dari darah ke dalam tubulus
·
Reabsorpsi tubulus, perpindahan selektif
konstiuen-konstituen tertentu dalam filtrat ke darah kapiler peritubulus.
Zat-zat utama yang secara aktif direabsorpsi adalah Na+, sebagian
besar elektrolit lain, dan nutrien organik, misalnya glukosa dan asam amino.
Zat terpenting yang direabsorpsi secara pasif adalah Cl-, H2O
dan urea.
·
Sekresi tubulus, perpindahan yang sangat
spesifik zat-zat tertentu dari darah kapiler peritubulus ke dalam cairan tubulus.
Segala sesuatu yang difiltrasi atau disekresikam tetapi tidak direabsorpsi akan
diekskresikan sebagai urin
Ginjal
melakukan berbagai fungsi yang ditujukan untuk mempetahankan homeostasis.
Berikut ini adalah fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal:5
1. Mempertahankan
keseimbangan H2O dalam tubuh
2. Mengatur
jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion cairan ekstraseluler, termasuk Na+,
Cl-, K+, HCO3-, Ca++, Mg++,
SO4, PO4, dan H+.
3. Memelihara
volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam pengaturan jangka
panjang tekanan darah arteri.
4. Membantu
memelihara keseimbangan asam basa tubuh dengan menyesuaikan pengeluaran H+
an HCO3- melalui urin.
5. Memelihara
osmolaritas berbagai cairan tubuh, terutama melalui pengaturan keseimbangan H2O
6. Mengekskresikan
produk-produk sisa dari metabolisme tubuh, misalnya urea, asam urat dan
kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat-zat sisa tersebut bersifat toksik
teruama bagi otak.
7. Mengekskresikan
banyak senyawa asing, misalnya obat, zat penambah pada makanan, pestisida, dan
bahan-bahan eksogen non-nutrisi lainnya yang berhasil masuk ke dalam tubuh.
8. Mensekresikan
eritropoetin
9. Mensekresikan
renin
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
IV. Etiologi
Penyebab gagal ginjal
kronik yang tersering dapat dibagi menjadi delapan kelas seperti yang tercantum
pada tabel berikut.
Tabel 1
Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal
Kronik3
Klasifikasi Penyakit
|
Penyakit
|
Penyakit infeksi tubulointerstisial
|
Pielonefritis kronik atau refluks
nefropati
|
Penyakit peradangan
|
Glomerulonefritis
|
Penyakit vaskular hipertensif
|
Nefrosklrerosis benigna
Nefrosklerosis manigna
Stenosis asrteri renalis
|
Gangguan jaringan ikat
|
Lupus eritematous sistemik
Poliarteritis nodosa
Sklerosis sistemik progresif
|
Gangguan kongenital dan herediter
|
Penyakit ginjal polikistik
Asidosis tubulus ginjal
|
Penyakit metabolic
|
Diabetes
Gout
Hiperparatiroidisme
Amiloidosis
|
Nefropati toksik
|
Penyalahgunaan analgesik
Nefropati timah
|
Nefropati obstruktif
|
Traktus urinarius bagian atas: batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal
Traktus urinarius bagian bawah:
hipertrofi prostat, striktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria
dan uretra.
|
V.
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit
ginjal kronik pada awalnya bergantung pada penyakit yang mendasarinya, tetapi
dalam perkembangan selanjutnya, proses yang terjadi kurang lebih sama.1
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan penimbunan
zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit.
Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal
ginjal krronik mungkin minimal karena nefron sisa yang sehat mengambil alih
fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi,
reabsorpsi dan sekresinya serta mengalami hipertrofi.8 Pengurangan
massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nephrons)
sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan
intrakapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.1 Seiring
dengan peyusutan nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran
darah ginjal mungkin berkurang.8 Adanya peningkatan aktivitas aksis
renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi
jangka panjang aksis renin-angiotnsin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya penyakit ginjal
kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat
variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstisial.1
Gagal ginjal kronik
selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR. Stadium-stadium gagal ginjal
kronik didasarkan pada tingkat GFR yang tersisa dan mencakup:2,8
·
Tahap I
Pada tahap ini penurunan fungsi
ginjal tidak seberapa dan disebut Diminished
Renal Reserve/penurunan cadangan ginjal, di mana GFR turun 50% dari normal.
Faal ekskresi dan reabsorpsi tubulus masih cukup baik untuk mempertahankan
homeostasis tubuh.
·
Tahap II
Tahap ini disebut insufisiensi
ginjal, di mana GFR turun menjadi 20-35% dari normal.nefron-nefron yang tersisa
sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang mereka
terima.
·
Tahap III
Gagal ginjal, di mana GFR kurang
dari 20% normal, semakin banyak nefron yang mati.
·
Tahap IV
Penyakit ginjal stadium akhir, di
mana GFR menjadi kurang dari 5% dari
normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal
diteukan jaringan parut dan atrofi tubulus.
VI. Diagnosis
1.
Gambaran Klinis
Gejala-gejala
klinis akibat gagal ginjal kronik dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 2
Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik
9,10
Umum
|
Fatigue, malaise, gagal tumbuh, debil
|
Kulit
|
Pucat, mudah lecet, rapuh, leukonikia
|
Kepala dan leher
|
Faktor uremik, lidah kering dan
berselaput
|
Mata
|
Fundus hipertensif, mata merah
|
Kardiovaskular
|
Hipertensi, kelebihan cairan, gagal
jantung, perikarditis uremik, penyakit vascular
|
Penapasan
|
Hiperventilasi asidosis, edema paru,
efusi pleura
|
Gastrointestinal
|
Anoreksia, nausea, gastritis, ulkus
peptikum, colitis uremik, diare
|
Kemih
|
Nokturia, poliuria, haus, proteinuria,
peyakit ginjal yang mendasarinya
|
Reproduksi
|
Penurunan libido, impotensi, amenore,
infertilitas, ginekomastia, galaktore
|
Saraf
|
Letargi, malaise, anoreksia, tremor,
mengantuk, kebingungan, flap,
mioklonus, kejang, koma
|
Tulang
|
Hiperparatiroidisme, defisiensi
vitamin D
|
Sendi
|
Gout, pseudogout, kalsifikasi ekstra
tulang
|
Hematologi
|
Anemia, defisisensi imun, mudah
mengalami perdarahan
|
Endokrin
|
Multipel
|
Berdasarkan
stadium gagal ginjal, gambaran klinis sebagai beikut: 2,8
·
Pada penurunan cadangan ginjal, tidak
tampak gejala-gejala klinis. Tidak jarang ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan urin rutin, seperti misalnya ada hematuria mikroskopis,
lekosituria.
·
Pada insufisiensi ginjal, dapat timbul
poliuria karena ginjal tidak mampu memekatkan urin. Mungkin penderita tampak
lesu, lelah, sakit kepala, anoreksia, nyeri di daerah abdomen, gangguan
pertumbuhan.
·
Pada gagal ginjal, pengeluaran urin
turun akibat GFR yang sangat rendah. Hal ini menyebabkan peningkatan volume
ketidakseimbangan elektrolit, asidosis metabolik azotemia, dan uremia
· Pada
penyakit ginjal stadium akhir, terjadi azotemia dan uremia berat. Asidosis
metabolic memburuk, yang secara mencolok merangsang pernapasan. Timbul
hipertensi, anemia, osteodistrofi, hiperkalemia, essefalopati uremik, pruritus
(gatal). Dapat terjadi gagal jantung kongestif dan perikarditis. Tanpa
pengobatan terjadi koma (koma uremikum), kejang dan kematian.
2. Gambaran
Laboratoris 9
Kreatinin
plasma akan meningkat seiring dengan penurunan laju filtrasi glomerulus. Pada
gagal ginjal terminal, konsntrasi kreatinin di bawah 1 mmol/L. Konsentrasi
ureum plasma kurang dapat dipercaya karena dapat menurun pada diet rendah
protein dan meninggi pada diet tinggi protein, kekurangan garam dan keadaan
katabolik. Biasanya konsentrasi ureum pada gagal ginjal terminal adalah 20-60
mmol/L.
Terdapat
penurunan bikarbonat plasma (15-25 mmol/L), penurunan pH, dan peningkatan anion
gap. Konsentrasi natrium biasanya normal, namun dapat meningkat atau menurun
akibat masukan cairan inadekuat atau berlebihan. Hiperkalemia adalah tanda
gagal ginjal yang berat, kecuali terdapat masukan berelebihan, asidosis tubular
ginjal atau hiperaldosteronisme.
Terdapat
peningkatan konsentrasi fosfat plasma dan peningkatan kalsium plasma. Kemudian
fosfatase alkali meningkat. Dapat terjadi peningkatan parathormon pada
hiperparatiroidisme.
Pada
pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat sel Burr
pada uremia berat. Leukosit dan trombosit masih dalam batas normal.
Pemeriksaan
mikroskopik urin menunjukkan kelainan sesuai penyakit yang mendasarinya.
Bersihan kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi
glomerulus dan turun menjadi kurang dari 5ml/menit pada gagal ginjal terminal.
Dapat ditemukan proteinuria 200-1000 mg/hari.
3.
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologik penyakit ginjal kronik
meliputi:
a. Foto
polos abdomen.
Setiap pemeriksaan traktus
urinarius sebaiknya dibuat terlebih dahulu foto polos abdomen. Yang harus
diperhatikan pada foto ini adalah bayangan, besar (ukuran), dan posisi kedua
ginjal. Dapat pula dilihat kalsifikasi dalam kista dan tumor batu radioopak dan
perkapuran dalam ginjal.11 Pada gagal ginjal kronik bisa tampak
radioopak,1 kalsifikasi renal bilateral (nefrokalsinosis), atau
obstruksi batu uretra. 12
Gambar 3
Foto polos
abdomen posisi lateral. Gagal ginjal kronik. Panah hitam: osteodistrofi ginjal.
Panah putih: kalsifikasi aorta dan cabang arteri-arteri besar. 13
b. Pielografi
intravena (IVP)
Pemeriksaan IVP memerlukan
persiapan, yaitu malam sebelum pemeriksaan diberikan kastor oli (chatarsis) atau laksans untuk
membersihkan kolon dari feses yang menutupi daerah ginjal. Untuk mendapatkan
keadaan dehidrasi ringan, pasien tidak diberikan cairan (minum) mulai dari jam
10 malam sebelum pemeriksaan. Usus akan berpindah sehingga bayangan kedua
ginjal dapat dilihat melalui lambung yang terisi gas. Bahan kontras Conray (Meglumine iothalamat 60% atau hypaque
sodium/sodium diatrizoate 50%), urografin 60 atau 75 mg% (methyl glucamine diatrizoate), dan
urografin 60-70 mg%. Sebelum pasien disuntik urografin 60 mg% harus dilakukan
terlebih dahulu uji kepekaan. Dapat berupa pengujian subkutan atau intravena.
Dosis urografin 60 mg% untuk orang dewasa adalah 20 ml. Tujuh menit setelah
penyuntikan dibuat fllm bucky antero-posterior
abdomen. Foto berikutnya diulangi pada 15, 30 menit dan 1 jam. Sebaiknya segera
setelah pasien disuntik kontras, kedua ureter dibendung, baru dibuat foto 7
menit. Kemudian bendungan dibuka, langsung dibuat foto di mana diharapkan kedua
ureter terisi. Dilanjutkan dengan foto 15, 30 menit. Pada kasus tertentu dibuat
foto 6, 12, dan 24 jam.11
Pada gagal ginjal kronik, IVP
sering dikhawatirkan dapat menimbulkan pengaruh toksik oleh kontras terhadap
ginjal yang sudah mengalami kerusakan, juga kontras yang sering tidak bisa
melewati filter gromelurus.1
c. Pielografi
antegrade atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi.
Indikasi pielografi retrograde
adalah untuk melihat anatomi traktus urinarius bagian atas dan lesi-lesinya.
Hal ini dikerjakan apabila IVP tidak berhasil menyajikan anatomi dan lesi-lesi
traktus urinarius bagian atas. Keistimewaan pielografi retrograde berguna untuk
melihat fistel. Pielografi retrograde memerlukan prosedur sistoskopi. Kateter
dimasukkan oleh seorang ahli urologi. Kerjasama antara ahli urologi dan
radiologi diperlukan, karena waktu memasukkan kontras, posisi pasien dapat
dipantau (dimonitor) denga fluoroskopi atau televisi. Udara dalam kateter
dikeluarkan, kemudian 25% bahan kontras yang mengandung jodium disuntikkan,
dengan dosis 5-10 ml, ini di bawah pengawasan fluoroskopi. Harus dicegah
pengisian yang berlebihan, sebab risiko ekstravasasi ke dalam sinus renalis
atau intravasasi ke dalam kumpulan tubulus. Ekstravasasi kontras dapat menutupi
bagian-bagian yang halus dekat papilla. Rutin dibuat proyeksi frontal dan
oblik. Kemudian kateter diangkat di akhir pemeriksaan, lalu dibuat foto polos
abdomen. Jika ada obstruksi dibuat lagi foto 15 menit kemudian.11
d. Ultrasonografi
Gelombang suara berfrekuensi tinggi
(ultrasonik) akan diarahkan ke abdomen dipantulkan oleh permukaan jaringan yang
densitasnya berbeda-beda. Pada gagal ginjal kronik, ginjal bisa
memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya
hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi 1
Gambar 4
Gagal ginjal kronik: ginjal mengecil dan korteks
menipis18
e. Pemeriksaan
pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.1
Renografi merupakan teknik asli dari proses penilaian ginjal memakai
radionuklida menggunakan hipuran 131I yang diekskresi oleh sekresi
tubulus. Pencitraan radionuklida digunakan untuk berbagai tujuan tertentu dalam
penilaian ginjal, tetapi kegunaannya yang utama adalah untuk mengevaluasi
tranplantasi ginjal.3
Gambar 5
Renogram: Gagal
ginjal (A) sebelum tranplantasi (B) sesudah tranplantasi14
f. CT-Scan
Pada
CT, ginjal akan tampak transversal oval pada kedua kutub dan bayagan bulan
sabit di daerah hilus. Densitas parenkim 10-30 HU (Hounsfield) bergantung pada stadium hidrasi. Pada foto polos tampak
densitas yang homogen. Dengan menyuntikkan kontras urografin 50 ml, maka di
daerah korteks tampak opak, medula piramid tampak tampak hipodens pada fase
arterial yang dini.11 Rata-rata pada pasien gagal ginjal kronik dan
uremia, tomography menghasilkan
opasifikasi yang cukup dari ginjal yang bernilai diagnostik. Akan tetapi,
jarang dibutuhkan karena informasi yang diberikan sama dengan yang dihasilkan
ultrasonografi dan pyelografi retrograde. 12
Gambar 6
CT Scan: Laki-laki 53 tahun dengan
PKD dan gagal ginjal kronik15
Foto radiologi diindikasikan pada pasien dengan
oliguria yang tidak dapat dijelaskan atau gangguan fungsi/gagal ginjal yang
onsetnya baru (kreatinin serum >2 mg/dl). Pertanyaan klinis yang paling
sering muncul adalah apakah gagal ginjal ini disebabkan oleh obstruksi atau
penyakit ginjal yang diakibatkan obat-obatan. Karena kontras yang digunakan
dalam IVP maupun CT Scan dapat menurunkan fungsi ginjal, maka pemeriksaan
radiologi pilihan untuk gagal ginjal kronik yaitu ultrasonografi.16,17 Selain
itu, dengan ultrasonografi dapat dilakukan penilaian terhadap ukuran ginjal
sebab ultrasonografi merupakan prosedur pilihan yang digunakan untuk menilai
ukuran ginjal 10 . Ultrasonografi akan memperlihatkan lokasi dan
ukuran kedua ginjal. Ukuran ginjal yang normal pada gagal ginjal menunjukkan
kondisi akut. Ginjal yang kecil mengindikasikan adanya keadaan kronis.17 Gagal
ginjal kronik mengakibatkan ginjal menyusut.18 Ultrasonografi juga memperlihatkan
ada tidaknya lesi fokal pada ginjal atau kista ginjal yang difus, kalsifikasi, juga
dapat digunakan untuk mengetahui lokasi ginjal untuk biopsi ginjal prekutaneus.12,17
Normalnya, korteks ginjal memiliki densitas ekoik yang sama dengan hepar atau
sedikit lebih ekoik dibading jaringan hepar. Pada gagal ginjal kronik, korteks
ginjal menipis dan pada gagal ginjal terminal, ginjal akan terlihat lebih kecil
lagi dan hiperekoik sehingga akan sulit dibedakan dengan jaringan di sekitarnya.18
Pada kasus penyakit ginjal akibat obat-obatan, korteks ginjal akan lebih
ekoik dibanding hepar. Hal ini mungkin merupakan hasil dari fibrosis dan scarring.16
Gambar
7
Gagal ginjal kronik: penipisan korteks dengan
densitas ekoik yang normal (sebelah kanan) atau hiperekoik (sebelah kiri)18
VII.
Diagnosis
Banding
Gagal
ginjal akut merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan fungsi ginjal
yang menurun secara cepat (biasanya dalam beberapa hari) yang menyebabkan
azotemia yang berkembang cepat. Laju filtrasi glomerulus yang menurun dengan
cepat menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan
kadar nitrogen urea darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa hari. Gagal
ginjal akut biasanya disetai oleh oligouria. Gagal ginjal akut menyebabkan
timbulnya gejala dan tanda menyerupai sindrom uremik pada gagal ginjal kronik,
yang mencerminkan terjadinya kegagalan fungsi regulasi, ekskresi dan endokrin
ginjal. Namun demikian, osteodistrofi ginjal dan anemia bukan merupakan
gambaran yang lazim terdapat pada gagal ginjal akut karena awitannya akut.3
VIII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
penyakit ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama terdiri
dari tindakan konservatif yang ditujukan untuk meredakan atau memperlambat
perburukan progresif gangguan fungsi ginjal. Tindakan konservatif dimulai bila
penderita mengalami azotemia. Tahap kedua pengobatan dimulai ketika tindakan konservatif
tidak lagi efektif dalam mempertahankan kehidupan. Pada keadaan ini terjadi
penyakit ginjal stadium akhir atau gagal ginjal terminal, dan satu-satunya pengobatan
yang efektif adalah dialisis intermitten atau transplantasi ginjal.3
1.
Penatalaksanaan konservatif 3
·
Penentuan dan pengobatan penyebab
·
Pengoptimalan dan rumatan keseimbangan
garam dan air
·
Koreksi obstruksi saluran kemih
·
Deteksi awal dan pengobatan infeksi
·
Pengendalian hipertensi
·
Diet rendah protein, tinggi kalori
·
Pengendalian keseimbangan elektrolit
·
Pencegahan dan pengobatan penyakit
tulang ginjal
·
Modifikasi terapi obat dengan perubahan
fungsi ginjal
·
Deteksi dan pengobatan komplikasi
2.
Terapi penggantian ginjal 3
·
Hemodialisis
·
Dialisis peritoneal
·
Transplantasi ginjal
IX.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat
muncul antara lain hipertensi, hiperkalemia, anemia, asidosis, osteodistrofi
ginjal, hiperurisemia, neuropati perifer, gagal jantung, hiperfosfatemia, hipokalemia,
hiperpatairoid, dan malnutrisi. 1,3
Gambar
8
Osteodistrofi ginjal: foto tibia-fibula
posisi lateral pada pasien anak dengan gagal ginjal kronik memperlihatkan
distal tibia yang membengkok19
DAFTAR PUSTAKA
1.
Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam:
Sudoyo AW et al, eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi
Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. h.570-573.
2.
Rauf S, Dr.dr. Catatan Kuliah Nefrologi
Anak. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUH; 2000. h.73-75.
3.
Wilson LM. Anatomi dan Fisiologi Ginjal dan
Saluran Kemih. Dalam: Price SA, Wilson LM, eds. Patofisiologi Volume 2. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2003. h.865, 867-868, 912, 917-918, 965.
4.
Cotran RS, Rennke H, Kumar V. Ginjal dan
Sistem Penyalurnya. In: Kumar, Cotran, Robbins, editors. Buku Ajar Patologi Vol.2. Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG; 2007. h.590
5. Sherwood
L. Fisiologi Manusia: Dari Sel Ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2001. h.462-464, 464, 502-503.
6.
Dugdale
DC, MD. Kidney Anatomy. (Online). 2010. [Cited: 23 Februari 2011]. Available
from http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/1101.htm
7.
Tsugita A, et al. Human Kidney Glomerulus Proteome and Proposition
of a Method for Native Protein Profiling. (Online). [Cited: 23
Februari 2011]. Available from http://www.codata.org/codata02/05bio/Tsugita-slides.pdf
8.
Corwin EJ, BSN, PhD. Buku Saku
Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997. h.490-491.
9.
Mansjoer A, et al. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 1999. h.532.
10.
Eisenberg RL, Margulis, AR. The Right
Imaging Study: A Guide for Phycians. Third Edition. New York: Spinger; 2008.
h.282.
11.
Budjang N. Traktus Urinaria. Dalam:
Ekayuda I, ed. Radiologi Diagnostik.Edisi
Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. h.283-289.
12.
Eisenberg RL, Johnson, NM. Comprehensive
Radiographic Pathology. USA: Mosby; 2007. h.263-264.
13. Nadelo
LA, et al. Kidney Transplantation, Surgical Complication: Imaging. 2010.
(Online). [Cited: 24 Februari 2011]. Available from http://emedicine.medscape.com/article/378801-imaging
14.
D’Cunha PT, et al. Rapid resolution of Proteiuria
of Native Kidney Origin: Result. 2005. (Online). [Cited: 24 Februari 2011].
Available from http://www.medscape.com/viewarticle/498010_3
15. Bernard
NG. Autosomal Dominant Polycystic Kidney Disease. 2008. (Online). [Cited: 24
Februari 2011]. Available from http://www.radpod.org/2008/01/01/autosomal-dominant-polycystic-kidney-disease/
16.
Mettler FA Jr, MD, MPH. Essential of
Radiology. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. h.123.
17.
Kabala JE. The Urogenital Tract: Anatomy
and Investigation. In: David Sutton, ed. Textbook
of Radiology and Imaging Volume 2.
Seventh Edition. Philadelphia: Elsevier; 2003. h. 976-977.
18.
Bates J. Abdominal Ultrasound: How, Why
and When. Second Edition. Philadelphia: Elsevier; 2004. h.177.
19. Klinel
MJ, MD. Osteomalacia and Renal Osteodystrophy. (Online). 2010. [Cited: 23
Februari 2011]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/392997-overview
1 comment:
Informasinya sangat bagus meskipun bahasanya terlalu sulit diingat bagi yg awam, terima kasih
Post a Comment