11 orang yang mecoba mengejar mimpi menjadi seorang dokter yang sukses

Thursday, July 19, 2012

GANGGUAN CEMAS MENYELURUH


I.            PENDAHULUAN
Tiap manusia pasti mempunyai rasa cemas, rasa cemas ini terjadi pada saat adanya kejadian atau peristiwa tertentu, maupun dalam menghadapi suatu hal. Misalkan, orang merasa cemas, ketika tampil dihadapan banyak orang atau ketika sebelum ujian berlangsung. Kecemasan yang dimiliki seseorng yang seperti di atas adalah normal, dan bahkan kecemasan ini perlu dimiliki manusia. Akan tetapi kecemasan berubah menjadi abnormal ketika kecemasan yang ada di dalam diri individu menjadi berlebihan atau melebihi dari kapasitas umumnya.1
Individu yang mengalami gangguan seperti ini bisa dikatakan mengalami anxiety disorder (gangguan kecemasan) yaitu ketakutan yang berlebihan dan sifatnya tidak rasional. Seseorang dikatakan menderita gangguan kecemasan apabila kecemasan ini mengganggu aktivitas dalam kehidupan dari diri individu tersebut, salah satunya yakni gangguan fungsi sosial. Misalnya kecemasan yang berlebihan ini menghambat diri seseorang untuk menjalin hubungan akrab antar individu atau kelompoknya.1
II.            DEFINISI 
Menurut Capernito (2001) kecemasan adalah keadaan individu atau kelompok mengalami perasaan gelisah (penilaian atau opini) dan aktivitas sistem saraf autonom dalam berespons terhadap ancaman yang tidak jelas, nonspesifik. Kecemasan merupakan unsur kejiwaan yang menggambarkan perasaan, keadaan emosional yang dimiliki seseorang pada saat menghadapi kenyataan atau kejadian dalam hidupnya. (Rivai, 2000).1,2
Kecemasan adalah perasaan individu dan pengalaman subjektif yang tidak diamati secara langsung dan perasaan tanpa objek yang spesifik dipacu oleh ketidaktahuan dan didahului oleh pengalaman yang baru (Stuart dkk, 1998). Berdasarkan definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan adalah perasaan yang tidak menyenangkan, tidak enak, khawatir dan gelisah. Keadaan emosi ini tanpa objek yang spesifik, dialami secara subjektif dipacu oleh ketidaktahuan yang didahului oleh pengalaman baru, dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.1,2
Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder) merupakan salah satu jenis gangguan kecemasan dengan karakteristik kekhawatiran yang tidak dapat dikuasai dan menetap, biasanya terhadap hal-hal yang sepele/tidak utama. Individu dengan gangguan cemas menyeluruh akan terus menerus merasa khawatir tentang hal-ha yang kecil/sepele. 1,2,3
III.            GAMBARAN TENTANG KECEMASAN
Neale dkk (2001) mengatakan bahwa kecemasan sebagai perasaan takut yang tidak menyenangkan dan apprehension, dapat menimbulkan beberapa keadaan psikopatologis sehingga mengalami apa yang disebut gangguan kecemasan. Walaupun sebagai orang normal, diakui atau tidak, kita dapat saja mengalami kecemasan, namun kecemasan pada orang normal berlangsung dalam intensitas atau durasi yang tidak berkeanjangan sehingga individu dapat tetap memberikan respon yang adaptif.1,3
Untuk memahami kecemasan yang mempengaruhi beberapa area dari fungsi-fungsi individu, Acocella dkk (1996) mengatakan bahwa kecemasan seharusnya melibatkan atau memiliki 3 komponen dasar, yaitu1, 4:
1.        Adanya ungkapan yang subjektif (subjective reports) mengenai ketegangan, ketakutan dan tidak adanya harapan untuk mengatasinya.
2.        Respon-respon perilaku (behavioral rensponses), seperti menghindari situasi yang ditakuti, kerusakan pada fungsi bicara dan motorik dan kerusakan tampilan untuk tugas-tugas kognitif yang kompleks.
3.        Respon-respon fisiologis (physiological responses), termasuk ketegangan otot, peningkatan detak jantung dan tekanan darah, nafas yang cepat, mulut yang kering nausea, diare, dan dizziness.




IV.            ETIOLOGI
Upaya untuk menjelaskan penyebab dari munculnya gangguan kecemasan, Accocella dkk (1976) memaparkan dari beberapa sudut pandang teori. Menurut para ahli psikofarmaka, Gangguan Kecemasan Menyeluruh bersumber pada neurosis, bukan dipengaruhi oleh ancaman eksternal tetapi lebih dipengaruhi oleh keadaan internal individu.2,3,5
Sebagamana diketahui, Sigmund Freud sebagai bapak dari pendekatan psikodinamika mengatakan bahwa jiwa individu diibaratkan sebagai gunung es. Bagian yang muncul dipermukaan dari gunung es itu, bagian terkecil dari kejiwaan yang disebut sebagai bagian kesadaran. Agak di bawah permukaan air adalah bagian yang disebut pra-kesadaran, dan bagian yang terbesar dari gunung es tersebut ada di bawah sekali dari permukaan air, dan ini merupakan alam ketidaksadaran (uncounsciousness). Ketidaksadaran ini berisi ide, yaitu dorongan-dorongan primitif, belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau peraturan-peraturan yang ada dilingkungan. Dorongan-dorongan ini ingin muncul ke permukaan/ ke kesadaran, sedangkan tempat di atas sangat terbatas. Ego, yang menjadi pusat dari kesadaran, harus mengatur dorongan-dorongan mana yang boleh muncul dan mana yang tetap tinggal di ketidaksadaran karena ketidaksesuaiannya dengan superego, yaitu salah satu unit pribadi yang berisi norma-norma sosial atau peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan sekitar. Jika ternyata ego menjadi tidak cukup kuat menahan desakan atau dorongan ini maka terjadilah kelainan-kelainan atau gangguan-gangguan kejiwaan. Neurosis adalah salah satu gangguan kejiwaan yang muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan ego menahan dorongan ide.1,6, 7
Jadi, individu yang mengalami Gangguan Kecemasan Menyeluruh, menurut pendekatan psikodinamika berakar dari ketidakmampuan egonya untuk mengatasi dorongan-dorongan yang muncul dari dalam dirinya secara terus menerus sehingga ia akan mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dalam dirinya dan bisa tetap berhadapan dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini dipergunakan secara kaku, terus-menerus dan berkepanjangan maka hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak adaptif dan tidak realistis.1, 6, 7
Ada beberapa mekanisme pertahanan diri yang bisa dipergunakan oleh individu, antara lain1, 4:
1.      Represi, yaitu upaya ego untuk menekan pengalaman yang tidak menyenangkan  dan dirasakan mengancam ego masuk ke ketidaksadaran dan disimpan di sana agar tidak menganggu ego lagi. Tetspi sebenarnya pengalaman yang sudah disimpan itu masih punya pengaruh tidak langsung terhadap tingkahlaku si individu.
2.      Rasionalisasi, yaitu upaya ego untuk melakukan penalaran sedemikian rupa terhadap dorongan-dorongan dalam diri yang dilarang tampil oleh superego, sehingga seolah-olah perilakunya dapat dibenarkan.
3.      Kompensasi, upaya ego untuk menutupi kelemahan yang ada di  salah satu  sisi kehidupan dengan membuat prestasi atau memberikan kesan sebaliknya pada sisi lain. Dengan demikian, ego terhindar dari ejekan dan rasa rendah diri.
4.      Penempatan yang keliru, yaitu upaya ego untuk melampiaskan suatu perasaan tertentu ke pihak lain atau sumber lain karena tidak dapat melampiaskan perasaannya ke sumber masalah.
5.      Regresi, yaitu upaya ego untuk menghindari kegagalan-kegagalan atau ancaman terhadap ego dengan menampilkan pikiran atau perilaku yang mundur kembali ke taraf perkembangan yang lebih rendah.
Para ahli dari aliran humanistik-eksternal  mengatakan bahwa konsep kecemasan bukan hanya sekedar masalah, yang bersifat individual tetapi juga merupakan hasil konflik antara individu dengan masyarakat atau lingkungan sosialnya.1,6
Jika individu melihat perbedaan yang sangat luas antara pandangannya tentang dirinya sendiri dengan yang diinginkan maka akan`muncul perasaan inadekuat dalam menghadapi tantangan di kehidupan ini, dan hal ini menghasilkan kecemasan. Jadi menurut pandangan humanis eksternalis, pusat kecemasan adalah konsep diri, yang terjadi sehubungan dengan adanya gap antara konsep diri yang sesungguhnya (real self) dan diri yang diinginkan (idea self). Hal ini muncul sehubungan tidak adanya kesempatan bagi individu untuk mengaktualisasikan` dirinya sehingga perkembangannya menjadi terhalang. Akibatnya, dalam menghadapi tantangan atau kendala dalam menjalani hari-hari, di kehidupan selanjutnya, ia akan mengalami kesulitan untuk membentuk konsep diri yang positif. Setiap kita sebenarnya perlu mengembangkan suatu upaya  untuk menjadi diri sendiri (authenticity), sedangkan indivisu yang neurotis, atau mengalami gangguan kecemasan adalah individu yang gagal menjadi  diri sendiri (inauthenticity) karena mereka mengembangkan konsep diri yang keliru/palsu4,7
       Sementara para ahli dari pendekatan behavioristik mengatakan bahwa kecemasan muncul karena terjadi kesalahan dalam belajar, bukan hasil dari konflik intrapsikis, individu belajar menjadi cemas. Ada 2 tahapan belajar yang berlangsung dalam diri individu yang menghasilkan kecemasan yaitu:1, 4, 7
1.      Dalam pengalaman individu, beberapa stimulus netral tidak berbahaya atau tidak menimbulkan kecemasan, dihubungkan dengan stimulus yang menyakitkan (aversive) akan menimbulkan kecemasan (melalui respondent condotioning)
2.      Individu yang menghindar dari stimulus yang sudah terkondisi, dan sejak penghindaran ini menghasilkan pembebasan/terlepas dari rasa cemas, maka respon menghindar ini akan menjadi kebiasaan (melalui operant conditioning)
Dari sudut pandang kognitif, gangguan kecemasan terjadi karena adanya kesalahan dalam mempersepsikan hal-hal yang menakutkan. Berdasarkan dari teori kognitif, masalah yang terjadi dari individu yang mengalami gangguan kecemasan adalah terjadinya kesalahan persepsi atau kesalahan interpretasi terhadap stimulus internal maupun eksternal. Indivisu yang mengalami gangguan kecemasan akan melihat suatu hal yang tidak benar-benar mengancam sebagai sesuatu yang mengancam. Jika individu mengalami pengalaman sensasi dalam tubuh yang tidak biasa, lalu mengintepretasikannya sebagai sensasi yang bersifat catastropic, yaitu suatu gejala bahwa ia sedang mengalami sesuatu hal seperti serangan jantung, maka akan timbul rasa panik. 4,7

V.            MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis bervariasi, diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh ditegakkan apabila dijumpai gejala-gejala antara lain keluhan cemas, khawatir, was-was, ragu untuk bertindak, perasaan takut yang berlebihan, gelisah pada hal-hal yang sepele dan tidak utama yang mana perasaan tersebut mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya, sehingga pertimbangan akal sehat, perasaan dan perilaku terpengaruh. Selain itu spesifik untuk Gangguan Kecemasan Menyeluruh adalah kecemasanya terjadi kronis secara terus-menerus mencakup situasi hidup (cemas akan terjadi kecelakaan, kesulitan finansial), cemas akan terjadinya bahaya, cemas kehilangan kontrol, cemas akan`mendapatkan serangan jantung. Sering penderita tidak sabar, mudah marah, sulit tidur.  3,7,8
     Untuk lebih jelasnya gejala-gejala umum ansietas dapat dilihat pada tabel di bawah:
Tabel 1. Gejala-gejala Gangguan Cemas Menyeluruh:11
Ketegangan Motorik
1.      Kedutan otot/ rasa gemetar
2.      Otot tegang/kaku/pegal
3.      Tidak bisa diam
4.      Mudah menjadi lelah
Hiperaktivitas Otonomik
5.      Nafas pendek/terasa berat
6.      Jantung berdebar-debar
7.      Telapak tangan basah/dingin
8.      Mulut kering
9.      Kepala pusing/rasa melayang
10.  Mual, mencret, perut tak enak
11.  Muka panas/ badan menggigil
12.  Buang air kecil lebih sering
Kewaspadaan berlebihan dan Penangkapan berkurang
13.  Perasaan jadi peka/mudah ngilu
14.  Mudah terkejut/kaget
15.  Sulit konsentrasi pikiran
16.  Sukar tidur
17.  Mudah tersinggung

VI.            DIAGNOSIS
Diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh (DSM-IV halaman 435, 300.02) ditegakkan bila terdapat kecemasan kronis yang lebih berat (berlangsung lebih dari 6 bulan; biasanya tahunan dengan gejala bertambah dan kondisi melemah) dan termasuk gejala seperti respons otonom (palpitasi, diare, ekstremitas lembab, berkeringat, sering buang air kecil), insomnia, sulit berkonsentrasi, rasa lelah, sering menarik nafas, gemetaran, waspada berlebihan, atau takut akan sesuatu yang akan terjadi. Ada kecenderungan diturunkan dalam keluarga, memiliki komponen genetik yang sedang dan dihubungkan dengan fobia sosial dan sederhana serta depresi mayor (terdapat pada 40% atau lebih pasien; meningkatkan resiko bunuh diri. Biasanya pada kondisi ini tidak`ditemukan etiologi stres yang jelas, tetapi harus dicari penyebabnya.2,3, 4
Diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut PPDGJ-III ditegakkan berdasarkan :5
·         Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau “mengambang”).
·         Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
1.      Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit berkonsentrasi, dsb)
2.      Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai); dan
3.      Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb)
·         Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari), khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan Anxietas Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (F.32.-), gangguan anxietas fobik (F.40.-), gangguan panik (F42.0), atau gangguan obsesif-kompulsif (F.42.-) 3,4,7



VII.            PENANGANAN
Terapi pada Gangguan Kecemasan Menyeluruh pada umumnya dapat dilakukan dengan 2 cara yakni terapi psikologis (psikoterapi) atau terapi dengan obat-obatan (farmakoterapi). Angka-angka keberhasilan terapi yang tinggi dilaporkan pada kasus-kasus dengan diagnosis dini. Psikoterapi yang sederhana sangat efektif, khususnya dalam konteks hubungan pasien dengan dokter yang baik, sehingga dapat membantu mengurangi farmakoterapi yang tidak perlu.1,6, 8
Penanganan dengan psikoterapi juga dapat dijelaskan melalui pendekatan psikodinamika, humanistik eksistensialis atau pendekatan behavioristik maupun kognitif.1
Menurut para ahli psikodinamika, karena gangguan ini berakar pada keadaan internal individu sehubungan dengan adanya konflik intrapsikis yang dialami individu sehingga ia mengembangkan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri, maka upaya menanganinya juga terarah pada pemberian kesempatan bagi individu untuk mengeluarkan seluruh isi pikiran atau perasaan yang muncul di dalam dirinya. Asumsinya adalah jika individu bisa menghadapi dan memahami konflik yang dialami, ego akan lebih bebas dan tidak harus terus berlindung di balik mekanisme pertahanan diri yang dikembangkannya.1,7
Teknik dasar yang digunakan disebut free association, individu diminta untuk menjelaskan secara sederhana tentang hal-hal yang ada di dalam pikirannya, tanpa melihat apakah itu logis atau tidak, tepat atau tidak, ataupun pantas atau tidak. Hal-hal dari alam bawah sadar atau tidak sadar yang diungkapkan akan dicatat oleh terapis untuk diinterpretasikan. Tehnik ini juga bisa dimanfaatkan saat menggunakan teknik dream interpretation; individu diminta untuk menceritakan mimpinya secara detail dan tepat. Kedua teknik ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dalam melaksanakan teknik-teknik tersebut di atas, ada dua hal yang biasanya muncul, yaitu apa yang disebut dengan resistance (yaitu individu bertahan dan beradu argumen dengan terapis saat terapis mulai sampai pada bagian sensitif), dan transference (yaitu individu mengalihkan perasaannya pada terapis dan menjadi bergantung.1,5, 7
Sementara para ahli dari pendekatan humanistik eksistesialis yang melihat kecemasan sebagai hasil konflik diri yang terkait dengan keadaan sosial dimana pengembangan diri menjadi terhambat, maka mereka lebih menyarankan untuk membangun kembali diri yang rusak (damaged self). Tekhniknya sering disebut sebagai client centered therapy yang berpendapat bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang positif yang dapat dikembangkan sehingga ia membutuhkan situasi yang kondusif untuk mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin.1,7, 8
Setiap permasalahan yang dihadapi setiap individu sebenarnya hanya dirinyalah yang paling mengerti tentang apa yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, individu itu sendirilah yang paling berperan dalam menyelesaikan permasalahan yang mengganggu dirinya.1,7,8
Karena para ahli melihat kecemasan sebagai sebagai hasil dari belajar (belajar menjadi cemas) maka untuk menanganinya perlu dilakukan pembelajaran ulang agar terbentuk pola perilaku baru, yaitu pola perilaku yang tidak cemas.1,7
Tehnik yang digunakan untuk mengurangi kecemasan adalah systematic desentisitization, yaitu mengurangi kecemasan dengan menggunakan konsep hirarki ketakutan, menghilangkan ketakutan secara perlahan-lahan mulai dari ketakutan yang sederhana sampai ke hal yang lebih kompleks. Pemberian reinforcement (penguat) juga dapat digunakan dengan secara tepat memberikan variasi yang tepat antara pemberian reward- jika ia memperlihatkan perilaku yang mengarah keperubahan ataupun punishment – jika tidak ada perubahan perilaku atau justru menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan rencana perubahan perilaku. Adanya model yang secara nyata dapat dilihat dan menjadi contoh langsung kepada individu juga efektif dalam upaya melawan pikiran-pikiran yang mencemaskan.7, 8
Pendekatan kognitif yang melihat gangguan kecemasan sebagai hasil dari kesalahan dalam mempersepsikan ancaman (misperception of threat) menawarkan upaya mengatasinya dengan mengajak individu berpikir dan mendesain suatu pola kognitif baru. David Clark dkk (dalam Acocella dkk, 1996) mengembangkan desain kognitif yang melibatkan 3 bagian yaitu1 :
1.      Identifikasi interpretasi negatif yang dikembangkan individu tentang sensasi tubuhnya
2.      Tentukan dugaan atau asumsi dan arahkan alternatif intrepretasi, yang noncatastropic.
3.      Bantu individu menguji validitas penjelasan dan alternatif-alternatif tersebut.
Dengan kata lain, para ahli dari pendekatan kognitif ini menyatakan bahwa tujuan dari terapi sebagai upaya menangani gangguan kecemasan adalah membantu individu melakukan intrepretasi sensasi tubuh dengan cara yang noncatastropic1.
Dalam beberapa hal, penanganan terhadap penderita gangguan kecemasan tidak selalu hanya berpegang pada satu tehnik saja, atau hanya mengikuti pendapat salah satu ahli dari suatu pendekatan saja. Terapi yang diberikan dapat sekaligus dengan menggunakan lebih dari satu pendekatan atau lebih dari satu tehnik, asalkan tujuannya jelas dan tahapan-tahapannya juga terinci.1,6,7