PENDAHULUAN
Depresi
dapat mengenai siapa saja, tetapi orang-orang dengan penyakit yang serius
seperti stroke memiliki risiko lebih tinggi. Hubungan antara gejala-gejala
depresi dan penyakit serebrovaskuler telah banyak dilaporkan. Beberapa peneliti
bahkan mengusulkan suatu istilah vascular depression yang khusus menggambarkan
kelainan klinis tersebut. Apati, perubahan-perubahan psikomotor, gangguan
kognitif dan gejala neurologis fokal merupakan gejala yang sering dijumpai pada
vascular depression. Seringkali
depresi pasca stroke kurang mendapat perhatian sehingga mudah terlewatkan dan
tidak terdiagnosis. Penderita stroke, anggota keluarga dan teman-temannya,
bahkan kadang-kadang dokter yang merawatnya dapat secara salah menafsirkan
gejala depresi yang dianggapnya sebagai suatu reaksi yang tak terhindarkan yang
timbul karena penderita mendapat serangan stroke. Padahal, diagnosis dan
pengobatan depresi yang baik dapat memberi keuntungan yang nyata pada seseorang
yang sedang dalam penyembuhan. Pengobatan terhadap depresi dapat pula
mempersingkat proses rehabilitasi dan mempercepat penyembuhan kelainan-kelainan
yang ditimbulkan akibat stroke.
Secara umum, stroke dapat terjadi
pada semua kelompok umur, bahkan pada janin yang masih di dalam kandungan
sekalipun. Tetapi tiga perempat dari peristiwa stroke terjadi pada orang-orang
yang sudah berusia 65 tahun atau lebih, sehingga stroke mengakibatkan timbulnya
disabilitas pada orang-orang tua. Umumnya gejala depresi ini timbul dalam waktu
1-2 bulan setelah terjadinya stroke. Di antara faktor-faktor yang berperan
terhadap kejadian dan beratnya depresi pasca stroke adalah lokasi dari lesi di otak,
adanya riwayat depresi di dalam keluarga, dan kondisi kehidupan sosial pra stroke.
Penderita-penderita stroke yang
mengalami depresi berat acapkali kurang responsif terhadap upaya rehabilitasi,
bersifat mudah marah, dan menunjukkan perubahan perilaku atau kepribadian.
Tetapi depresi adalah suatu kelainan yang harus dilihat secara terpisah dari
stroke, dan harus ditangani sedini mungkin bahkan ketika penderita sedang
menjalani proses rehabilitasi. Meskipun gejala-gejala depresi tumpang tindih
dengan gejala pasca stroke, seorang
profesional kesehatan yang terlatih harus mampu mengenali gejala depresi
tersebut, mendiagnosis dan kemudian merancang pengobatannya. 1
ETIOLOGI
Depresi
pasca stroke mempunya etiologi yang sifatnya multifaktorial dengan komponen
reaktif dan organik. Depresi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari proses
infark otak atau dapat terjadi sebagai reaksi akibat cacat atau ketidakberdayaan
yang disebabkan oleh stroke. Perilaku emosional dan reaksi katastrofik lebih
sering dijumpai pada penderita-penderita yang mengalami lesi di daerah hemisfer
kiri sedangkan pada penderita dengan kerusakan hemisfer kanan terdapat pola
reaksi indiferen. Penderita dengan lesi hemisfer kiri 64% menunjukkan gangguan
depresi ringan sampai berat sedangkan kelainan ini hanya dijumpai pada 14%
penderita dengan lesi hemisfer kanan. Mereka juga menemukan bahwa atrofi subkortikal
berkaitan dengan depresi pasca stroke. Penderita-penderita stroke dengan
depresi dan ansietas lebih sering menunjukkan lesi kortikal (sebelah kiri)
dibandingkan dengan kelompok penderita stroke yang hanya dengan depresi saja.
Pada kelompok penderita stroke yang hanya dengan depresi saja ini lebih banyak
ditemukan kerusakan subkortikal, sedangkan penderita stroke dengan ansietas
sering berkaitan dengan lesi hemisfer kanan. Selain itu penderita dengan lesi
hemisfer kiri yang memperlihatkan gejala depresi jumlahnya tidak secara
bermakna lebih besar.1
EPIDEMIOLOGI
Selama
sepuluh tahun terakhir sejumlah besar penelitian mengenai prevalensi depresi
pasca stroke telah dilakukan. Dibandingkan
dengan prevalensi depresi yang terdapat pada populasi umumnya, prevalensi
depresi pasca stroke secara bermakna jauh lebih tinggi. Prevalensi depresi
pasca stroke berkisar antara 11-68%, tergantung dari seleksi penderita, kriteria
diagnostik yang digunakan dan lamanya waktu pemeriksaan ulang berikutnya
(follow-up) setelah terjadinya serangan stroke. Dalam sejumlah besar pustaka,
prevalensi depresi pasca stroke berkisar antara 6-22% pada dua minggu pertama,
22-53% setelah 3-4 bulan, 16-47% pada tahun pertama, 19% pada tahun kedua,
9-41% pada tahun ketiga, 35% pada tahun kelima, dan 19% pada tahun ketujuh
pasca stroke. Prevalensi ini semakin meningkat dengan meningkatnya umur
penderita. Ini menunjukkan adanya korelasi positif antara umur dan depresi. Prevalensi
yang paling tinggi terdapat sekitar 3-6 bulan pasca stroke dan tetap tinggi
sampai 1-3 tahun kemudian,tetapi umumnya prevalensi akan menurun sampai
setengahnya setelah satu tahun terjadinya stroke. Penderita stroke yang pada
saat serangan akut tidak menunjukkan tanda-tanda depresi, pada pemeriksaan
ulang yang dilakukan enam bulan kemudian dijumpai sekitar 30%-nya
memperlihatkan gejala depresi. Sementara setengah dari penderita yang mengalami
depresi dalam waktu 2-3 bulan setelah terjadinya serangan stroke akan tetap
menunjukkan tanda-tanda depresi selama kurang lebih satu tahun. Sedangkan
depresi yang terjadi segera yaitu dalam beberapa hari setelah stroke, acapkali
berhubungan dengan remisi spontan.Selain depresi, ansietas juga sering terjadi
mengikuti serangan stroke dan prevalensinya berkisar antara 6-13%. Prevalensi
ini meningkat menjadi lebih tinggi yaitu sekitar 28% bilamana ansietas terdapat
bersama-sama dengan depresi.
Jenis kelamin (gender) juga memegang peranan penting di dalam risiko untuk
terjadinya stroke. Dilaporkan laki-laki memiliki risiko stroke lebih tinggi
dibandingkan perempuan, tetapi oleh karena usia rata-rata perempuan lebih
panjang maka pada suatu tingkat usia tertentu jumlah perempuan yang mengalami
serangan stroke lebih banyak dari laki-laki.Angka prevalensi depresi pasca stroke
adalah 10-25% untuk perempuan dan 5-12% untuk laki-laki. Pada perempuan, adanya
riwayat kelainan psikiatris dan kelainan kognitif sebelum terjadinya stroke
menyebabkan gejala depresi yang timbul menjadi lebih berat, sedangkan pada
laki-laki depresi pasca stroke berhubungan dengan gangguan yang lebih besar
dari aktivitas hidup sehari-hari serta fungsi sosial. 1
Depresi merupakan keadaan medis yang
berbahaya karena mempengaruhi pikiran,perasaan dan kemampuan terhadap ativitas
sehari-hari. Depresi dapat terjadi pada semua usia. Penelitian NIMH
memperkirakan 6% kelompok usia sembilan hingga tujuh belas tahun di Amerika
Serikat dan hampir sepuluh persen dewasa
atau kurang lebih sembilan belas juta orang pada kelompok usia delapan belas
atau lebih terkena depresi setiap tahunnya.2
HUBUNGAN
LETAK LESI DAN STROK
Berbagai
faktor resiko berhubungan dengan depresi pasca stroke termasuk lokasi dan
ukuran strok, dan ukuran ventrikel. Hubungan lokasi strok dan depresi pasca
stroke telah banyak diteliti, namun hasilnya masih terdapat pertentangan.
Robinson dkk, yang pertama menyimpulkan terdapat hubungan antara depresi pasca stroke
dan hemisfer stroke kiri meliputi lesi di kortikal frontal dorsolateral kiri
dan ganglia basalis kiri. Robinson dan Szetela juga meneliti hubungan terbalik
antara beratnya depresi pasca stroke dan jarak lesi stroke dengan kutub
frontal. Singh dkk, mereview data dari dua belas penelitian. Mereka mendapatkan
tidak terdapat hubungan antara lokasi stroke dan depresi pasca stroke pada enam
penelitian, dan mereka menemukan sebaliknya pada empat penelitian. Setelah
melengkapi review literatur depresi
pasca stroke. Cummings dan Mega menyimpulkan hubungan antara lokasi stroke
depresi pasca stroke berhubungan dengan onset gejala depresi setelah stroke.
Terdapat frekuensi yang tinggi lesi hemisfer kiri daripada kanan pada pasien
dengan gejala depresi dalam sepuluh hari pertama stroke. Hubungan ini
menghilang jika onset gejala tiga bulan setelah stroke. Selanjutnya dilaporkan
bila gejala depresi tampak lebih dari satu tahun setelah stroke, lesi hemisfer
kanan lebih sering.
Adanya
atropi kortikal dan pelebaran ventrikel telah diteliti faktor resiko yang
potensial untuk depresi pasca stroke. Starkstein dkk membandingkan atropi
subkortikal pada CT Scan otak segera setelah stroke. Pasien dengan depresi
pasca stroke memiliki dejat atropi yang lebih besar daripada yang tidak
menderita depresi pasca stroke.
Suatu
penelitian yang dilakukan terhadap pasien dengan lesi sirkulasi serebri media
dan lesi sirkulasi posterior didapatkan depresi lebih sering pada lesi
sirkulasi media dan perjalanan depresi di regio batang otak/serebelum lebih
pendek. Penemuan ini menunjukkan bahwa mekanisme terjadi depresi akibat lesi di
serebri media berbeda dengan lesi di batang otak / serebelum. Hal ini
disebabkan karena lesi di batang otak biasanya ukurannya kecil dan tidak begitu
merusak jaras biogenik amin. Jaras biogenik amin berperan penting dalam
memodulasi emosi.3
MEKANISME
TERJADINYA DEPRESI PASCA STROKE
Penyebab pasti
depresi pasca stroke belum diketahui. Ada dugaan depresi pasca stroke
disebabkan oleh disfungsi biogenik amin. Badan sel serotoninergik dan
noradrenergik terletak di batang otak dan ia mengirim proyeksinya melalui
bundel forebrain media ke korteks frontal. Lesi yang mengganggu korteks
prefrontal atau ganglia basalis dapat merusak serabut-serabut ini. Ada dugaan
depresi pasca stroke disebabkan oleh deplesi serotonin dan norepinefrin akibat
lesi frontal dan ganglia basalis. Respon biokimia terhadap lesi iskemik
bersifat lateralisasi. Lesi hemisfer. Kiri menyebabkan peninggian regulasi
serotonin karena mekanisme kompensasi yang bersifat protektor terhadap depresi.
Pada
penelitian untuk melihat hubungan beratnya disabilitas dan depresi didapatkan
hubungan bermakna, tetapi hubungan ini tidak konsisten pada penelitian dengan
evaluasi follow up dengan waktu lebih panjang. Hal ini memberi kesan
disabilitas dapat menyebabkan depresi reaktif pada tahap dini setelah stroke,
tetapi kemungkinan tidak menyebabkan depresi pasca stroke dalam jangka waktu
panjang. Pada review literatur oleh Robinson dan Szetela menyimpulkan beratnya
gangguan aktivitas sehari-hari mempunyai pengaruh yang terbatas pada depresi
pasca stroke.
Depresi
pasca stroke juga memiliki hubungan dua arah, tidak hanya pasien dengan stroke
memiliki resiko lebih besar untuk mengalami depresi, tetapi pasien dengan
depresi memiliki resiko dua kali lebih besar untuk mengalami stroke. Meskipun
telah mengontrol faktor resiko lainnya. Peningkatan resiko stroke pada pasien
dengan depresi dapat melalui peningkatan resiko penyakit kardiovaskular,
hipertensi, aritmia jantung, dan diabetes.3
KLASIFIKASI
Depresi menurut Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) terbagi menjadi 4
antara lain :
1. Gangguan
depresi mayor unipolar dan bipolar
2.
Gangguan mood spesifik lainnya :
-
Gangguan distimik depresi
minor.
- Gangguan siklotimik depresi dan hipomanik saat ini atau baru saja
berlalu (secara terus menerus selama 2 tahun).
-
Ganguan depresi atipik
-
Depresi postpartum
-
Depresi menurut musim
3.
Gangguan depresi akibat kondisi medik
umum dan gangguan depresi akibat zat 4.
Gangguan penyesuaian dengan mood depresi; depresi disebabkan oleh stresor psikososial.4
Sedangkan
klasifikasi depresi pasca stroke terdiri atas tiga bentuk antara lain bentuk
ringan, bentuk distimik dan bentuk berat. Depresi pasca stroke bentuk berat dapat menyebabkan gangguan berupa
perasaan ketidakberdayaan yang berkepanjangan dan berlebih-lebihan sehingga
mendorong penderita stroke untuk bunuh diri. Perasaan takut jatuh, terjadinya
serangan stroke ulangan, dan bahkan perasaan tidak nyaman oleh pandangan orang
lain terhadap cacat dirinya dapat
menyebabkan penderita stroke membatasi diri untuk tidak keluar dari
lingkungannya. Keadaan ini selanjutnya dapat mendorong penderita ke dalam
gejala depresi yang berdampak pada motivasi dan rasa percaya dirinya. Maka
terjadilah suatu lingkaran debilitatis yang tidak ada kaitannya dengan
ketidakmampuan fisiknya. Ketidakmampuan fisik (physical disability) bersama-sama dengan gejala depresi dapat
menyebabkan aktivitas penderita stroke menjadi sangat terbatas pada tahun
pertama, namun dukungan sosial dapat mengurangi dampak dari ketidak-mampuan
fisik serta depresi tersebut. Ketidakmampuan fisik yang menyebabkan hilangnya
peran hidup yang dimiliki penderita sebelum sakit dapat menyebabkan gangguan persepsi akan arti diri (personal worth) yang bersangkutan dan
dengan sendirinya mengurangi kualitas hidupnya. Tampaknya, persepsi penderita
yang tidak proporsional mengenai ketidakmampuan fisiknya itu merupakan suatu
faktor kontribusi di dalam meyakini secara berlebihan seluruh cacat yang dideritanya.
Gangguan afek yang mungkin terjadi pada periode akut dari stroke perlu
diwaspadai dan perlu dibedakan dari depresi pasca stroke yang baru akan timbul beberapa
minggu kemudian setelah stroke. Gangguan afek ini sering dikenal dengan
beberapa istilah seperti emosionalisme patologis, gejala menangis-tertawa
patologis, atau labilitas emosional. 1
GAMBARAN
KLINIS
Gambaran
pasien dengan depresi pasca stroke dapat dinilai dari gambarn emosi, kognitif,
vegetatif dan psikomotor. Antara lain sebagai berikut :
Gambaran
emosi
- Mood depresi, sedih atau murung
- Iritabilitas, ansietas
- Ikatan emosi berkurang
- Menarik diri dari hubungan
interpersonal
- Preokupasi dengan kematian
- Ide-ide bunuh diri atau bunuh diri
Gambaran kognitif
- Mengeritik diri sendiri, perasaan
tak berharga, rasa bersalah
- Pesimis, tak ada harapan, putus
asa
- Bingung, konsentrasi buruk
- Tak pasti dan ragu-ragau
- Berbagai obsesi
- Keluhan somatik
- Gangguan memori
- Ide-ide mirip waham
Gambaran Vegetatif
- Lesu dan tak ada tenaga
- Tak bisa tidur atau banyak tidur
- Tak mau makan atau banyak makan
- Penurunan berat badan atau
penambahan berat badan
-
Libido terganggu
- Variasi diurnal
Gambaran Psikomotor
- Retardasi psikomotor
- Agitasi psikomotor
Selain itu tanda-tanda depresi dapat
juga sebagai berikut :
- Tidak atau lambat bergerak
- Wajah sedih dan selalu berlinang
air mata
- Kulit dan mulut kering
- Konstipasi 4
DIAGNOSIS
Diagnosis
depresi yang berhubungan dengan stroke dan atau kondisi medis kronis lainnya
ditegakkan berdasar kriteria diagnosis menurut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, fourth edition).
Minimal didapatkan lima dari gejala-gejala berikut di bawah yang telah
berlangsung selama periode dua minggu dan menggambarkan suatu perubahan nyata dari
fungsi sebelumnya.
1. Mood
yang depresif sepanjang hari
2. Kehilangan
minat atau kesenangan dalam segala hal atau aktivitas
3. Penurunan
berat badan ketika tidak sedang melaksanakan diet atau penurunan atau
peningkatan selera makan hampir setiap hari
4. Insomnia
atau hipersomnia hampir setiap hari
5. Agitasi
atau retardasi psikomotor hampir setiap hari
6. Lelah
atau kehilangan energi hampir setiap hari
7. Perasaan
tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan
8. Kehilangan
kemampuan untuk berpikir dan berkonsentrasi
9.
Pikiran berulang tentang kematian,
pikiran bunuh diri, atau rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri5
Sedangkan
menurut PPDGJ III depresi pasca stroke termasuk dalam gangguan depresif organik
(F06.32). Gejala klinis depresi pasca stroke hampir sama dengan gejala depresi
fungsional. Depresi mayor dan minor sering kita jumpai dalam depresi pasca
stroke. Berdasarkan PPDGH III, diagnosis depresi berdasarkan(-) :
a.
Gejala
Utama
-
Afek depresif
-
Kehilangan minat dan kegembiraan
-
Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya
keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata setelah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas
b.
Gejala
lainnya
-
Konsentrasi dan perhatian berkurang
-
Harga diri dan kepercayaan diri
berkurang
-
Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak
berguna
-
Pandangan masa depan yang suram dan
pesimistis
-
Gagasan atau perbuatan membahayakan diri
atau bunuh diri
-
Tidur terganggu
-
Nafsu makan berkurang
Sedangkan untuk
episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya dua minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode
lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung
cepat.6
DIFERENSIAL
DIAGNOSIS
Berdasarkan
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ke III
menunjukkan gejala-gejala yang mirip dengan depresi pasca stroke antara lain :
1. Episode
depresif ringan (F32.0) dengan pedoman diagnostik :
-
Sekurang-kurangnya ada dua gejala dari
tiga gejala utama depresi
-
Ditambah sekurang-kurangnya dua dari
tiga gejala lainnya
-
Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan
dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya
2. Episode
depresif sedang (F32.1)
-
Sekurang-kurangnya harus ada dua dari
tiga gejala utama
-
Ditambah sekurang-kurangnya tiga dan
sebaiknya empat dari gejala lainnya
-
Menghadapi kesulitan nyata untuk
meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga
3. Episode
depresif berat tanpa gejala psikotik (F32.2)
-
Semua tiga gejala utama harus ada
-
Ditambah sekurang-kurangnya empat dari
gejala lainnya, dan beberapa di anataranya harus berintensitas berat
-
Bila ada gejala penting (misalnya
agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau
atau tidak mampu melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian,
penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresid berat masih dibenarkan
-
Sangat tidak mungkin akan mampu
meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada
taraf yang sangat terbatas.6
PENATALAKSANAAN
Terapi
depresi pasca stroke dikatakan berhasil jika terdapat penurunan nilai Hamilton Depression Rating Scales (HDRS)
lebih dari 50% setelah pengobatan. Dalam pemilihan obat perlu diperhatikan
hal-hal berikut :
1. Mengetahui
efek pada masalah klinisnya
2. Mengetahui
efek penyakit dasarnya
3. Mengetahui
implikasi akibat efek samping obat
4. Mengetahui
interaksi dengan obat somatik lainnya
5. Pemakaian
obat oral/parenteral
6. Mengetahui
fungsi hati/ginjal dan dosis yang diberikan
7.
Mengetahui masalah ilmu dasar yang
mendasarinya
Selain
itu perlu
pemeriksaan medik dan psikiatrik untuk menyisihkan depresi sekunder. Tanyakan
tentang gambaran-gambaran vegetatif dan evaluasi potensi untuk bunuh diri.
Apakah pasien :
1.
Mengalami ketidakmampuan akibat gangguan ini
2.
Mempunyai lingkungan rumah yang destruktif atau
dukungan lingkungan yang terbatas
3.
Mempunyai ide-ide bunuh diri
4. Mempunyai
praktik medik terkait yang memerlukan pengobatan atau perawatan.
Semua
pasien depresi mesti mendapatkan psikoterapi, beberapa memerlukan tambahan
terapi fisik. Jenis terapi bergantung dari diagnosis, berat penyakit, umur
pasien, respons terhadap terapi sebelumnya.5
a.
Psikofarmaka
Obat
anti depresi yang digunakan pada pasien depresi pasca stroke adalah SSRI (Selective Serotonin Reuptake
Inhibitors). Contoh : Sertraline, Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine,
Duloxetine, Citalopram.
Namun obat-obat anti depresan juga memiliki efek
samping berupa :
-
Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan
berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun,dll)
-
Efek anti kolinergik (mulut kering,
retensi urin, penglihatan kabur, konstipasi, sinus takikardia, dll)
-
Efek anti adrenergik alfa (perubahan
EKG, hipotensi)
-
Efek neurotoksis (tremor halus,
gelisah,agitasi, insomnia)
Efek
samping yang tidak berat (tergantung daya toleransi dari penderita) biasanya berkurang
2-3 minggu bila tetap diberikan dengan dosis yang sama.
Pada
keadaan overdosis atau intoksikasi trisiklik dapat timbul “Atropine Toxic
Syndrome” dengan gejala : eksitasi SSP, hipertensi, hiperpireksia, konvulsi, toxic confusional state (confusion,delirium,disorientation)
Tindakan
untuk keadaan tersebut :
-
Gastric lavage (hemodialisis tidak
bermanfaat oleh karena obat trisiklik bersifat “protein binding” , forced
diuresis juga tidak bermanfaat oleh karena renal “excretion of free drug”
rendah
-
Diazepam 10 mg (im) untuk mengatasi konvulsi
-
Prostigmine 0,5-1,0 mg (im) untuk mengatasi
efek anti kolinergik (dapat diulangi sampai 30-45 menit sampai gejala mereda)
-
Monitoring EKG untuk deteksi kelainan
jantung7
Psikoterapi
Psikoterapi
yaitu terapi yang digunakan untuk menghilangkan keluhan-keluhan dan mencegah
kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptif. Terapi ini
dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan profesional antara terapis dengan
pasien. Psikoterapi untuk depresi pasca stroke dapat diberikan secara individu,
kelompok, atau pasangan sesuai dengan gangguan psikologik yang mendasarinya.
Beberapa pasien dan klinisi sangat meyakini manfaat intervensi psikoterapi
tetapi ada pula yang sebaliknya yaitu tidak percaya. Berdasarkan hal ini,
keputusan untuk melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi oleh penilaian dokter
atau pasiennya. 4
Jenis
psikoterapi yang diberikan pada pasien depresi pasca stroke dapat berupa terapi kognitif yaitu pasien belajar untuk berhadapan
dengan keadaan personal depresi, terapi
kelompok, psikoterapi psikoanalitik, terapi keluarga dan terapi perkawinan.
Semuanya dapat dikombinasikan dengan farmakoterapi.9
Rehabilitasi
Stroke
Rehabilitasi unit stroke mencakup sebuah paket perawatan kompleks yang meningkat termasuk status neuropsikiatri. Prinsip dari rehabilitasi stroke yaitu :
1. Pendidikan
2. Perawatan fisik (misalnya oksigen,larutan garam intravena)
3. Rehabilitasi fisik (misalnya mobilisasi segera)
4. Dukungan dan penyemangat (misalnya pengerahan segera)
5. Dukungan dan penyemangat (misalnya teknik motivasi)
6. Pencegahan untuk komplikasi yang dapat dihindari (misalnya dengan penggunaan antibiotik dan antipiuretik)
7. Pengenalan segera dan perawatan untuk komplikasi tak terhindarkan
8. Intervensi Neuropsikiatrik8
Faktor yang Mempengaruhi Rehabilitasi Stroke
|
Penentu tingkat keparahan
- Tingkat dan lokasi stroke - Gangguan kesadaran - Serum glukosa
Faktor Resiko
- Usia lanjut - Penyakit yang menyertai - Status gizi - Riwayat stroke - Serum albumin
Komplikasi
- Afasia - Gangguan kesadaran - Depresi - Inkontinensia8
|
PROGNOSIS
Hasil
akhir dari pengobatan pasien dengan episode depresif adalah bervariasi secara umum berdasarkan follow up yang lebih baik. Resiko relaps
akan berulang jika pengobatan antidepressan diteruskan hingga enam bulan
setelah akhir episode depresif.9
DAFTAR
PUSTAKA
1.
R.Suwantara, Jeanette. Depresi pasca-stroke : epidemiologi, rehabilitasi. Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia. 2004. Page
150-155
2.
Annonimous. Depression
and Stroke. Departement of Health
and Human Services National Institutes of
Health. Available from : http://www.mentalhelp.net
3.
Nurmiati, Amir. Depresi
Pasca Stroke : Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. Halaman 133-140
4.
Nurmiati, Amir. Cermin Dunia Kedokteran No.149 : Diagnosis dan Penatalaksanaan Depresi Pasca
Stroke. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2005.
Halaman 8-13
5.
Meifi. Agus,Darmady. Majalah Kedokteran Damianus.Vol 8 No.1 : Stroke dan Depresi Pasca
Stroke. Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2009. Halaman 17-26.
6.
Maslim, Rusdi. Buku
Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas
Kedokteran Unika Atma Jaya. 2001.
7.
Maslim, Rusdi. Panduan
Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya. 2001.
8.
Mitchell, Alex J. Neuropsychiatry and Behavioural Neurolgy Explained. Elsevier Health
Science Right Departement. Philadelphia,USA. 2004. Page 318-320.
9.
K.Puri, Basant. Laking, Paul J. Treasaden, Ian H. Textbook of Psychiatry second edition.
Elsevier Health Science Right Departement. Philadelphia,USA. 2002. Page
178-180.