BAB II
TINJUAN PUSTAKA
A. KUSTA DITINJAU DARI SEGI MEDIS
1. Definisi
Istilah
kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala
kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan
nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874
sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Zulkifli, 2003).
Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang terutama menyerang saraf tepi,
kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat
(Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).
2.
Sejarah
Penyakit
kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(Mycobacterium Leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya. Penyakit ini sering kali menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah
yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial,
ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta bukan penyakit
keturunan atau kutukan Tuhan.
3.
Penyebaran Penyakit Kusta
Penyakit
ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar
keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang,
penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau (Zulkifli, 2003).
Berdasarkan
pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita
kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke
Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang
India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang
(Zulkifli, 2003)
Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan
endemisitas yang berbeda-beda. Di antara 122 negara yang endemis pada tahun
1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate < 1/10.000 penduduk. Lebih dari 10.000.000 penderita
telah disembuhkan dengan MDT pada akhir tahun 1999 dan 641.091 kasus masih
dalam pengobatan pada tahun 2000. Di antara 11 negara penyumbang penderita kusta
di dunia, Indonesia menempati urutan ke 4 (empat) setelah India, Brazil,
Myanmar (Subdirektorat
Kusta dan Frambosia, 2005).
Walaupun ada penurunan yang cukup
drasitis dari jumlah kasus terdaftar, namun sesungguhnya jumlah penemuan kasus
baru (New case detection) tidak berkurang same sekali. Oleh karena itu, selain angka prevalensi,
angka penemuan kasus baru (NCDR) juga
merupakan indikator yang harus diperhatiknn. karena walaupun suatu negara telah mencapai eliminasi, tidak berarti bahwa
kusta tidak lagi menjadi masalah. Nampaknya kasus kusta akan terus ada
setidanya hingga beberapa tahunke dwpan hingga kesinambungan program kusta
harus tetap dijamin (Subdirektorat
Kusta dan Frambosia, 2005).
Trend situasi kusta di dunia
1985-2000
Angka Prevalensi dan penemuan
kasus dunia 1985-2000
Pada
situasi Kusta di Indonesia
Untuk menetapkan satu wilayah sebagai daerah low endemic kusta, digunakan
indicator penemuan kasus baru (dimana angka tersebut harus di bawah 0,5 per
10.000 atau < 5/100.000) penduduk dengan catatan angka tersebut berada di
kisaran nilai stabil tadi selama 3 tahun berturut-turut
(Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).
Trend Penderita Terdaftar di Indonesia 1370 - 2000
Dari jumlah penemuan kasus baru,
tercatat sejumlah propinsi yang angka penemuan kasusnya pertahun stabil di atas
nilai 10 per 100.000 penduduk, antara lain : Nangroe Aceh Darusalam, DKI, Jawa
Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua.
Penderita terdaftar di Indonesia
pada akhir Juni 2003 sebanyak 16.799 Penderita yang terdiri dari 2.298 PB dan 14.994 MB dengan Angka Prevalensi 0,80
per 10.000 penduduk dan lebih kurang 82 % dari penderita tersebut terdapat di
10 propinsi yaitu :
Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi
Selatan, Jawa Tengah, N.A.D, Papua, DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, Maluku,
Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur (Subdirektorat
Kusta dan Frambosia, 2005)..
4.
Penyebab Penyakit Kusta
Penyakit
kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai microbakterium, dimana
microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang
yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi
oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan
asam”. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan organism
patogen (misalnya Microbacterium tubercolose, mycrobakterium leprae) yang
menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion
(Zulkifli, 2003).
Mycobacterium leprae untuk pertama kali ditemukan oleh
G.A. Hansen dalam tahun 1873. Waktu pembelahan sangat lama yaitu 12 - 14 hari. DI luar tubuh manusia (dalam kondisi
tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari (Subdirektorat
Kusta dan Frambosia, 2005).
5.
Epidemiologi Penyakit Kusta
Cara-cara
penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang
diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput
lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a. Melalui
sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering,
diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b. Kontak
kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya
harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama
dan berulang-ulang.
Klinis
ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yng
penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini
sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakitpenyaki terinfeksi
lainnya (Zulkifli, 2003).
Menurut
Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara
kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka. Menurut Ress (1975) dapat ditarik
kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung
dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mocrobakterillm Leprae dan daya tahan
tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini
adalah :
·
Usia : Anak-anak lebih peka dari pada
orang dewasa
·
Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak
dijangkiti
·
Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih
banyak dijangkiti
·
Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara
endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah
·
Lingkungan : Fisik, biologi, sosial,
yang kurang sehat
6. Klasifikasi
Menurut Adi
tahun 1997 penyakit kusta dibagi menjadi 2 yaitu :
No
|
Kelainan kulit
dan hasil pemeriksaan bakteriologis
|
Pausi Basiler
|
Multi Basiler
|
1
|
Bercak (makula)
|
||
a.
Jumlah
|
1-6
|
Banyak
|
|
b.
Ukuran
|
Kecil
dan besar
|
Kecil-kecil
|
|
c.
Distribusi
|
Unilateral
dan Bilateral Simetris
|
Bilateral
atau simetris
|
|
d.
Konsistensi
|
Kering
dan kasar
|
Halus,
mengkilat
|
|
e.
Batas
|
Tegas
|
Kurang
tergas
|
|
f.
Kehilangan rasa pada bercak
|
Selalu
ada dan jelas
|
Banyak
tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut
|
|
g.
Kehilangan kemampuan berkeringat, bulu rontok pada
bercak
|
Bercak
tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak
|
Bercak
masih berkeringat, bulu tidak rontok
|
|
2
|
Infiltrat
|
||
a.
Kulit
|
Tidak
ada
|
Ada,
kadang-kadang tidak ada
|
|
b.
Membrana mukosa (hidung tersumbat, perdarahan dari
hidung)
|
Tidak
pernah ada
|
Ada,
kadang-kadang tidak ada
|
|
3
|
Ciri-ciri khusus
|
Central
healing
|
1.
Punch out lession
2.
Madarosis
3.
Ginekomastia
4.
Hidung pelana
5.
Suara sengau
|
4
|
Nodulus
|
Tidak
ada
|
Kadang-kadang
ada
|
5
|
Penebalan saraf tepi
|
Lebih
sering terjadi dini, asimetris
|
Terjadi
pada yang lanjut bisasanya lebih dari satu, simetris
|
6
|
Deformitas
|
Biasanya
asimetris
|
Terjadi
pada stadium lanjut
|
7
|
Apusan
|
BTA
negatif
|
BTA
positif
|
7. Patogenesis
Masuknya
M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan
melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah
tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang
dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua
adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul
kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya
kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi
Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1
(Wahyuni, 2009).
Th
1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag(
fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan
C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan
proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di
dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif
oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara
kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors
akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus
diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan
membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan
sel epitelioid ini akan membentuk granuloma (Wahyuni, 2009).
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan
mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL
4akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL
13 akan mengaktifasi sel mast (Wahyuni, 2009).
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya
sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan
respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan
lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2
akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni,
2009).
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini
berasal dari sum – sum tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non
limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang
strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta
organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk
bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan
oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya
molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC
akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya
ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh DC
matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan
diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda
lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan
terhadap leprosy (Wahyuni, 2009).
8. Patogenesis Kerusakan Saraf pada
Pasien Kusta
M.Leprae memiliki bagian G domain of
extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengansel
schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II
setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1
dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat
adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag.
Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus – menerus untuk
menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak
mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang
rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf
tepi. Sel schwann merupakan APC non professional (Wahyuni, 8:2009).
9.
Patogenesis reaksi
Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam
perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau
bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu
reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering
disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV (
Delayed Type Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada
BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan
perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua
yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi
pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan
biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana
terjadi pergeseran ke arah lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler)
dan biasanya terjadi pada awal terapi (Wahyuni, 8:2009).
Reaksi kusta tipe
II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi
tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering
terjadi pada pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk
kompleks imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada
komples imun dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim
lisosom akan melisis sel (Wahyuni, 8:2009).
10. Diagnosa
Penyakit Kusta
Menyatakan
(mendiagnosa seseorang menderita penyakit kusta menimbulkan berbagai masalah
baik bagi penderita, keluarga atapun masyarakat disekitarnya). Bila ada
keraguan-raguan sedikit saja pada diagnosa, penderita harus berada dibawah
pengamatan hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang mendukung bahwa
penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan kelasifikasi harus dilihat secara
menyeluruh dari segi (Zulkifli, 2003):
a. Klinis
b. Bakteriologis
c. Immunologis
d. Hispatologis
Namun
untuk diagnosa kusta di lapangan cukup dengan ananese dan pemeriksaan klinis.
Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan
bakteriologis (Zulkifli, 2003).
Kerokan
dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi
kuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan
teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran
histologis yang khas. Tes-tes serologik bukan treponema untuk sifilis sering
menghasilkan positif palsu pada lepra (Zulkifli, 2003).
Diagnosis penyakit kusta hanya dapat didasarkan pada
penemuan tanda utama (Cardinal sign); yaitu (Subdirektorat
Kusta dan Frambosia, 2005) :
1.
Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hipopigmentasi) atau
kemerah-merahan (eritematous) yang mati rasa (anestesi ).
2.
Penebalan saraf tepi yang disertai dengail gangguan
fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).
Gangguan fungsi saraf ini bisa berguna (Subdirektorat
Kusta dan Frambosia, 2005):
a.
Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b.
Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (Parese)
atau kelumpuhan
(Para/ise).
c.
Ganggunn fungsi otonom : kulit kerina,
retak, pembengkakan (edema) dll
3.
Basil tahan asam (BTA ) positif
Bahan pemeriksaan BTA diambil
dari kerokan kulit (skin srnear) asal cuping telinga (rutin) dan bagian
aktif suatu lesi kulit. Untuk tu juan tertentu kadang jaringan diambil dari bagian
tubuh tertentu (biopsi). Pemeriksaan kerokan
kulit hanya dilakukan pada kasus yang meragukan (Subdirektorat
Kusta dan Frambosia, 2005).
Untuk mendiagnosis penyakit kusta, minimal harus ditemukan
satu Cardinal sign. Tanpa adanya Cardinal sign, kita hanya boleh menyatakan sebagai tersangka (suspek) kusta (Subdirektorat Kusta dan Frambosia,
2005).
Tanda-tanda Tersangka Kusta
(Suspek)
1. Tanda-tanda pada kulit :
a.
Kelainan kulit berupa bercak merah atau putih, atau
benjolan
b.
Kulit mengkilap
c. Bercak yang tidak gatal
d.
Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau
tidak berambut
e.
Lepuh tidak nyeri
2. Tanda-tanda pada saraf :
a.
Rasa
kesemutan, tertusuk-tusuk dari nyeri pada anggota badan atau muka.
b.
Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka.
c.
Adanya cacat (deformitas).
d.
Luka yang tidak sakit.
Pemeriksaan skin smear beberapa tahun terakhir tidak diwajibkan dalam program nasional untuk penegakan diagnosis. Saat ini program nasional
mengambil kebijakan untuk mengaktifkan kembali pemeriksaan skin
smear. Pemeriksaan skin smear banyak
berguna untuk mempercepat penegakan diagnosis karena sekitar 7-10% penderita yang datang dengan lesi PB yang meragukan
merupakan kasus MB yang dini.
Pengambilan skin smear dicakukan oleh wasor kabupaten (Subdirektorat Kusta dan Frambosia,
2005).
Bila dari pemeriksaan skin smear
juga tidak ditemukan BTA, maka tersaragka perlu diamati dan diperiksa ulang 3-6
bulan kemudian atau dirujuk ke dokter spesialis kulit hingga diagnosis dapat
ditegakkan atau disingkirkan (Subdirektorat
Kusta dan Frambosia, 2005).
11. Bentuk-bentuk
Penyakit Kusta
Penyakit
kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk, yakni bentuk leproma mempunyai
kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada tubuh. Untuk ini menular
karena kelainan kulitnya mengandung banyak kuman. Bentuk tuber koloid mempunyai
kelainan pada jaringan syaraf, yang mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk ini
tidak menular karena kelainan kulitnya mengandung sedikit kuman. Diantara
bentuk leproma dan tuber koloid ada bentuk peralihan yang bersifat tidak stabil
dan mudah berubah-ubah (Zulkifli, 2003).
12.
Pengobatan Penyakit Kusta
Pengobatan
penyakit kusta dilakukan dengan Dapson sejak tahun 1952 di Indonesia,
memperhatikan hasil yang cukup memuaskan, hanya saja pengobatan mono terapi ini
sering mengakibatkan timbul masalah resistensi, hal ini disebabkan oleh karena (Zulkifli,
2003):
a. Dosis
rendah pengobatan yang tidak teratur dan terputus akibat dari lepra reaksi
b. Waktu
makan obat sangat lama sehingga membosankan, akibatnya penderita makan obat tidak
teratur
Selain
penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan Lamprine
(B663), Rifanficin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan
kulit yarlg bersisik).
Setelah
penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan
menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu lagi makan
obat MDT dan dianggap sudah sembuh.
Sebelum
penderita dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus :
·
Mengisi dan menggambarkan dengan jelas
pada lembaran tambahan RFT secara
·
teliti.
·
Semua bercak masih nampak.
·
Kulit yang hilang atau kurang rasa
terutama ditelapak kaki dan tangan.
·
Semua syaraf yang masih tebal.
·
Semua cacat yang masih ada.
·
Mengambil skin semar (sesudah skin
semarnya diambil maka penderita langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu
hasil skin semar).
·
Mencatat data tingkat cacat dan hasil
pemeriksaan skin semar dibuku register.
Pada
waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi penjelasan tentang
arti dan maksud RFT, yaitu (Zulkifli, 2003) :
·
Pengobatan telah selesai.
·
Penderita harus memelihara tangan dan
kaki dengan baik agar janga sampai luka.
·
Bila ada tanda-tanda baru, penderita
harus segera datang untuk periksaan ulang.
13. Pencegahan
Penularan Penyakit Kusta
Hingga
saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan
bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan
menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor
pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan
dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada
penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur
(Zulkifli, 2003).
Pengobatan
kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai
penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang
berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh
manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam
hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya
tempat-tempat yang lembab (Zulkifli, 2003).
Ada
beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat
menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh
kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting
sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang,
materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan
pengajaran bahwa (Zulkifli, 2003) :
a. Ada
obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
b. Sekurang-kurangnya
80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta
c. Enam
dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d. Kasus-kasus
menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan secara teratur
e. Diagnosa
dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat fisik
Cara
pemutusan rantai penularan pada penyakit kusta adalah dengan penentuan kebijaksanaan dan metoda pemberantasan
penyakit kusta yang mana hal ini sangat ditentukan oleh pengetahuan epidemiologi kusta dan perkembangan ilmu dan tekhnologi
di bidang kesehatan. Kondisi sosial ekonomi diperkirakan memainkan peranan
penting dalam upaya pemberantasan kusta. Perbaikan kondisi sosial ekonomi menghasilkan penurunan insidens
kusta. Meskipun faktor-faktor yang mendukung penurunan ini tidak diketahui, kondisi
perumahan, jumlah manusia dalam satu rumah tangga, dan jumlah anggota keluarga diperkirakan merupakan
faktor-faktor penting (Subdirektorat
Kusta dan Frambosia, 2005).
Berikut ini adalah bagan dimana
kita dapat melakukan intervensi terhadap faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya sakit kusta dalam rangka memutuskan mata rantai penularan (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).
Sumber : (Subdirektorat
Kusta dan Frambosia, 2005).
B.
Kusta
Ditinjau Dari Segi Kesehatan Masyarakat
Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang
sangat kompleks, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar
kesehatan itu sendiri. Demikian pula pemecahan masalah kesehatan masyarakat,
tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya sendiri, tapi harus dilihat dari
seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap masalah”sehat-sakit” atau kesehatan
tersebut. Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, Hendrik L. Blum
menggambarkan secara singkat ringkas sebagai berikut :
Sumber
: Notoatmodjo (2003)
Keempat faktor tersebut (keturunan,
lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan) di samping berpengaruh langsung
kepada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan
akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara
bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Salah satu faktor saja berada
dalam keadaan yang terganggu (tidak optimal), maka status kesehatan akan
tergeser ke arah di bawah optimal (Budioro, 2001).
Dalam kamus webster memberi batasan
penyakit sebagai keadaan yang tidak nyaman
(discomfort), keadaan dimamna badan terganggu secara nyata, penyimpangan
dari keadaan sehat, perubahan dalam badan manusia sehingga penampilan dan
fungsi-fungsi vitalnya terganggu (Budioro, 2001)
Kusta merupakan suatu keadaan dimana
seorang mengalami keadaan yang tidak nyaman yang ditandai dengan tanda-tanda
yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya (Budioro, 2001).
Menurut dr. Budioro dalam bukunya
Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat, 2001 Terdapat beberapa faktor-faktor
penyebab penyakit antara lain (Budioro, 2001):
1. Penyebab
biologis : misalnya virus, bacteri, ricketsia, fungi, protozoa dan lain- lain
termasuk manusia itu sendiri
2. Penyebab
nutrient : protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air
3. Penyebab
kimiawi : baik dalam bentuk badan manusia itu sendiri ( misalnya Diabetes Mellitus,
Asidosis dan lain-lain) atau yang berasal dari luar (alergen, logam, gas, debu)
4. Penyebab
fisik : suhu tinggi atau rendah, kelembapan, tekanan udara dan lain-lain.
5. Penyebab
mekanik : rudapaksa, gesekan, benturan, bacokan
6. Penyebab
alamiah : proses penuaan, haid, kehamilan, persalinan dan lain-lain
7. Penyebab
kejiwaan : termasuk didalamnya yang bersifat sosial, ekonomi, budaya, spiritual
dan lain-lain
1.
Kependudukan
Hanya
sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal
ini disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman
obligat intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan
seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor
infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari
studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe
penyakit yang berkembang setelah infeksi (Depkes RI, 2009).
Sebagian
besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat
ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan
hanya 30% yang dapat menjadi sakit (Depkes RI, 10:2006).
Umur
saat didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun. Hasil analisis multivariat
menunjukkan bahwa umur saat didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun merupakan
faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi kusta. sesuai dengan
penelitian Brigitte Ranque, et.al (1997), yang menyimpulkan bahwa umur saat
didignosa kusta lebih dari 15 tahun merupakan faktor risiko terjadinya reaksi
kusta, sedangkan umur kurang dari 15 tahun cenderung lebih sedikit mengalami
reaksi kusta. Hal ini disebabkan karena dalam sistem imun anak, Th2 diduga kuat
mampu mengatasi terjadinya infeksi sehingga frekuensi reaksi kusta lebih kecil
terjadi pada anak. Sedangkan pada orang dewasa ketersediaan sel T memori lebih
banyak dan menyebabkan frekuensi terjadinya reaksi kusta lebih tinggi dan dapat
memicu reaksi silang antara antigen M. leprae dengan antigen non M.
leprae seperti M. Tuberculosis (Ranque B, 2004).
Schollard
D.M, et.al (1994), yang menyatakan bahwa reaksi kusta tipe I ternyata banyak
dialami oleh penderita kusta masa adolesens hingga usia yang lebih tua. Reaksi
kusta tipe II lebih banyak terjadi pada penderita kusta dalam masa dekade kedua
kehidupannya. Hal ini disebabkan karena pengaruh endokrin yang menyebabkan
perubahan imunologi pada penderita kusta (Schollard D.M, 1997).
2. Lingkungan
Faktor lingkungan pada populasi
dengan kusta merupakan faktor resiko. Populasi seseorangdengan kusta
umumnya berasal dari lingkungan sanitasi tempat tinggal yang buruk. Populasi
dengan kusta umumnya terkait dengan higiene sanitasi lingkungan penderita yang
buruk yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi keluarga terutama
pada anak. Anak sangat rentan terhadap
paparan lingkungan yang kurang mendukung dalam masa pertumbuhan dan
perkembangannya sehingga berisiko untuk terkena penyakit infeksi dalam jangka waktu
cepat maupun lambat yang tergantung pada status nutrsisi dan imunitas
(Anderson, E., & Mc Farlane, J., 2004). Seseorang pada umumnya tertular kusta dari kontak dan tinggal serumah dengan penderita kusta.
Muchtar (2007) menyebutkan hasil tes MLPA memberikan hasil positif 65% pada
penderita kusta anak dan 34% positif pada kontak serumah.
Kusta sebagain besar diderita
di daerah pemukiman kumuh, pemenuhan personal hygiene yang kurang, dan keadaan
sosial ekonomi yang rendah. Pemeliharaan lingkungan rumah dan tempat tinggal
penderita yang kontak langsung secara terus menerus dapat dilakukan untuk
mengurangi kemunduran keadaan kusta.
Rumah sehat merupakan
situasi yang ideal untuk menghindari terjadi penularan dan perkembangan
penyakit kusta. Rumah disebut sehat
apabila memenuhi syarat – syarat :
i.
Kesehatan
Suatu rumah disebut memenuhi syarat
kesehatan apabila :
Cukup hawa dan aliran udara segar,
berarti mempunyai ventilasi yang cukup.
·
Kekuatan
bangunan
o
Rumah
dengan struktur dan kontruksi bangunan yang cukup kuat sesuai dengan keadaan
setempat
o
Rumah
yang menggunakan bahan yang cukup kuat, tidak mudah rapuh dan tidak khawatir
dapat ambruk sewaktu – waktu.
·
Keterjangkauan
o
Secara
sosial ekonomis, terjangkau oleh pemilik atau penghuni, baik ongkos /
biaya sewa, membeli atau membangun.
ii.
Kriteria Rumah Sehat
Rumusan yang dikeluarkan oleh APHA (American
Public Health Association) bahwa persyaratan rumah sehat :
a)
Harus
memenuhi kebutuhan – kebutuhan physiologis
b)
Harus
memenuhi kebutuhan – kebutuhan psycologis
c)
Harus
terhindar dari penyakit menular
d)
Harus
terhindar dari kecelakaan – kecelakaan
Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a) Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan,
penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang
mengganggu.