11 orang yang mecoba mengejar mimpi menjadi seorang dokter yang sukses

Friday, July 13, 2012

KUSTA


BAB II
TINJUAN PUSTAKA
A.    KUSTA DITINJAU DARI SEGI MEDIS
1.      Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Zulkifli, 2003).
Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang terutama menyerang saraf tepi, kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).


2.      Sejarah
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium Leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini sering kali menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta bukan penyakit keturunan atau kutukan Tuhan.




3.      Penyebaran Penyakit Kusta
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau (Zulkifli, 2003).
Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang (Zulkifli, 2003)
Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Di antara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate < 1/10.000 penduduk. Lebih dari 10.000.000 penderita telah disembuhkan dengan MDT pada akhir tahun 1999 dan 641.091 kasus masih dalam pengobatan pada tahun 2000. Di antara 11 negara penyumbang penderita kusta di dunia, Indonesia menempati urutan ke 4 (empat) setelah India, Brazil, Myanmar (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).
Walaupun ada penurunan yang cukup drasitis dari jumlah kasus terdaftar, namun sesungguhnya jumlah penemuan kasus baru (New case detection) tidak berkurang same sekali. Oleh karena itu, selain angka prevalensi, angka penemuan kasus baru (NCDR) juga merupakan indikator yang harus diperhatiknn. karena walaupun suatu negara telah mencapai eliminasi, tidak berarti bahwa kusta tidak lagi menjadi masalah. Nampaknya kasus kusta akan terus ada setidanya hingga beberapa tahunke dwpan hingga kesinambungan program kusta harus tetap dijamin (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).
Trend situasi kusta di dunia 1985-2000
Angka Prevalensi dan penemuan kasus dunia 1985-2000
Untitled-1

Pada situasi Kusta di Indonesia Untuk menetapkan satu wilayah sebagai daerah low endemic kusta, digunakan indicator penemuan kasus baru (dimana angka tersebut harus di bawah 0,5 per 10.000 atau < 5/100.000) penduduk dengan catatan angka tersebut berada di kisaran nilai stabil tadi selama 3 tahun berturut-turut (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).





Trend Penderita Terdaftar di Indonesia 1370 - 2000


33 








Dari jumlah penemuan kasus baru, tercatat sejumlah propinsi yang angka penemuan kasusnya pertahun stabil di atas nilai 10 per 100.000 penduduk, antara lain : Nangroe Aceh Darusalam, DKI, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua.
Penderita terdaftar di Indonesia pada akhir Juni 2003 sebanyak 16.799 Penderita yang terdiri dari 2.298 PB dan 14.994 MB dengan Angka Prevalensi 0,80 per 10.000 penduduk dan lebih kurang 82 % dari penderita tersebut terdapat di 10 propinsi yaitu :
Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, N.A.D, Papua, DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005)..

4.      Penyebab Penyakit Kusta
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai microbakterium, dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan organism patogen (misalnya Microbacterium tubercolose, mycrobakterium leprae) yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion (Zulkifli, 2003).
Mycobacterium leprae untuk pertama kali ditemukan oleh G.A. Hansen dalam tahun 1873. Waktu pembelahan sangat lama yaitu 12 - 14 hari. DI luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).
5.      Epidemiologi Penyakit Kusta
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a.       Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b.      Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yng penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakitpenyaki terinfeksi lainnya (Zulkifli, 2003).
Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka. Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mocrobakterillm Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
·         Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
·         Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
·         Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
·         Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah
·         Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat

6.      Klasifikasi
Menurut Adi tahun 1997 penyakit kusta dibagi menjadi 2 yaitu :
No
Kelainan kulit dan hasil pemeriksaan bakteriologis
Pausi Basiler
Multi Basiler
1
Bercak (makula)



a.       Jumlah
1-6
Banyak

b.      Ukuran
Kecil dan besar
Kecil-kecil

c.       Distribusi
Unilateral dan Bilateral Simetris
Bilateral atau simetris

d.      Konsistensi
Kering dan kasar
Halus, mengkilat

e.       Batas
Tegas
Kurang tergas

f.       Kehilangan rasa pada bercak
Selalu ada dan jelas
Banyak tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut

g.      Kehilangan kemampuan berkeringat, bulu rontok pada bercak
Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak
Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok
2
Infiltrat



a.       Kulit
Tidak ada
Ada, kadang-kadang tidak ada

b.      Membrana mukosa (hidung tersumbat, perdarahan dari hidung)
Tidak pernah ada
Ada, kadang-kadang tidak ada
3
Ciri-ciri khusus
Central healing
1.      Punch out lession
2.      Madarosis
3.      Ginekomastia
4.      Hidung pelana
5.      Suara sengau
4
Nodulus
Tidak ada
Kadang-kadang ada
5
Penebalan saraf tepi
Lebih sering terjadi dini, asimetris
Terjadi pada yang lanjut bisasanya lebih dari satu, simetris
6
Deformitas
Biasanya asimetris
Terjadi pada stadium lanjut
7
Apusan
BTA negatif
BTA positif

7.      Patogenesis
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1 (Wahyuni, 2009).
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma (Wahyuni, 2009).
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast (Wahyuni, 2009).
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni, 2009).
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy (Wahyuni, 2009).
8.      Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta
M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional (Wahyuni, 8:2009).

9.       Patogenesis reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi (Wahyuni, 8:2009).
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel (Wahyuni, 8:2009).

10.  Diagnosa Penyakit Kusta
Menyatakan (mendiagnosa seseorang menderita penyakit kusta menimbulkan berbagai masalah baik bagi penderita, keluarga atapun masyarakat disekitarnya). Bila ada keraguan-raguan sedikit saja pada diagnosa, penderita harus berada dibawah pengamatan hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang mendukung bahwa penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan kelasifikasi harus dilihat secara menyeluruh dari segi (Zulkifli, 2003):

a.       Klinis
b.      Bakteriologis
c.       Immunologis
d.      Hispatologis
Namun untuk diagnosa kusta di lapangan cukup dengan ananese dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan bakteriologis (Zulkifli, 2003).
Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran histologis yang khas. Tes-tes serologik bukan treponema untuk sifilis sering menghasilkan positif palsu pada lepra (Zulkifli, 2003).
Diagnosis penyakit kusta hanya dapat didasarkan pada penemuan tanda utama (Cardinal sign); yaitu (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005) :
1.      Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hipopigmentasi) atau kemerah-merahan (eritematous) yang mati rasa (anestesi ).
2.      Penebalan saraf tepi yang disertai dengail gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berguna (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005):
a.    Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b.      Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (Parese) atau kelumpuhan (Para/ise).
c.       Ganggunn fungsi otonom : kulit kerina, retak, pembengkakan (edema) dll
3.              Basil tahan asam (BTA ) positif
Bahan pemeriksaan BTA diambil dari kerokan kulit (skin srnear) asal cuping telinga (rutin) dan bagian aktif suatu lesi kulit. Untuk tu juan tertentu kadang jaringan diambil dari bagian tubuh tertentu (biopsi). Pemeriksaan kerokan kulit hanya dilakukan pada kasus yang meragukan (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).
Untuk mendiagnosis penyakit kusta, minimal harus ditemukan satu Cardinal sign. Tanpa adanya Cardinal sign, kita hanya boleh menyatakan sebagai tersangka (suspek) kusta (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).
Tanda-tanda Tersangka Kusta (Suspek)
1.      Tanda-tanda pada kulit :
a.    Kelainan kulit berupa bercak merah atau putih, atau benjolan
b.      Kulit mengkilap
c.       Bercak yang tidak gatal
d.      Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut
e.       Lepuh tidak nyeri
2.      Tanda-tanda pada saraf :
a.       Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dari nyeri pada anggota badan atau muka.
b.      Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka.
c.       Adanya cacat (deformitas).
d.      Luka yang tidak sakit.
Pemeriksaan skin smear beberapa tahun terakhir tidak diwajibkan dalam program nasional untuk penegakan diagnosis. Saat ini program nasional mengambil kebijakan untuk mengaktifkan kembali pemeriksaan skin smear. Pemeriksaan skin smear banyak berguna untuk mempercepat penegakan diagnosis karena sekitar 7-10% penderita yang datang dengan lesi PB yang meragukan merupakan kasus MB yang dini. Pengambilan skin smear dicakukan oleh wasor kabupaten (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).
Bila dari pemeriksaan skin smear juga tidak ditemukan BTA, maka tersaragka perlu diamati dan diperiksa ulang 3-6 bulan kemudian atau dirujuk ke dokter spesialis kulit hingga diagnosis dapat ditegakkan atau disingkirkan (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).

11.  Bentuk-bentuk Penyakit Kusta
Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk, yakni bentuk leproma mempunyai kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada tubuh. Untuk ini menular karena kelainan kulitnya mengandung banyak kuman. Bentuk tuber koloid mempunyai kelainan pada jaringan syaraf, yang mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk ini tidak menular karena kelainan kulitnya mengandung sedikit kuman. Diantara bentuk leproma dan tuber koloid ada bentuk peralihan yang bersifat tidak stabil dan mudah berubah-ubah (Zulkifli, 2003).

12.  Pengobatan Penyakit Kusta
Pengobatan penyakit kusta dilakukan dengan Dapson sejak tahun 1952 di Indonesia, memperhatikan hasil yang cukup memuaskan, hanya saja pengobatan mono terapi ini sering mengakibatkan timbul masalah resistensi, hal ini disebabkan oleh karena (Zulkifli, 2003):
a.       Dosis rendah pengobatan yang tidak teratur dan terputus akibat dari lepra reaksi
b.      Waktu makan obat sangat lama sehingga membosankan, akibatnya penderita makan obat tidak teratur
Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan Lamprine (B663), Rifanficin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan kulit yarlg bersisik).
Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu lagi makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh.
Sebelum penderita dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus :
·         Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan RFT secara
·         teliti.
·         Semua bercak masih nampak.
·         Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan tangan.
·         Semua syaraf yang masih tebal.
·         Semua cacat yang masih ada.
·         Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka penderita langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin semar).
·         Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar dibuku register.
Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu (Zulkifli, 2003) :
·         Pengobatan telah selesai.
·         Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar janga sampai luka.
·         Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang untuk periksaan ulang.

13.  Pencegahan Penularan Penyakit Kusta
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur (Zulkifli, 2003).
Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab (Zulkifli, 2003).
Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa (Zulkifli, 2003) :
a.       Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
b.      Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta
c.       Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d.      Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan secara teratur
e.       Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat fisik
Cara pemutusan rantai penularan pada penyakit kusta adalah dengan penentuan kebijaksanaan dan metoda pemberantasan penyakit kusta yang mana hal ini sangat ditentukan oleh pengetahuan epidemiologi kusta dan perkembangan ilmu dan tekhnologi di bidang kesehatan. Kondisi sosial ekonomi diperkirakan memainkan peranan penting dalam upaya pemberantasan kusta. Perbaikan kondisi sosial ekonomi menghasilkan penurunan insidens kusta. Meskipun faktor-faktor yang mendukung penurunan ini tidak diketahui, kondisi perumahan, jumlah manusia dalam satu rumah tangga, dan jumlah anggota keluarga diperkirakan merupakan faktor-faktor penting (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).
Berikut ini adalah bagan dimana kita dapat melakukan intervensi terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sakit kusta dalam rangka memutuskan mata rantai penularan (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).





Untitled-1 














Sumber : (Subdirektorat Kusta dan Frambosia, 2005).

B.     Kusta Ditinjau Dari Segi Kesehatan Masyarakat
Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Demikian pula pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya sendiri, tapi harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap masalah”sehat-sakit” atau kesehatan tersebut. Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, Hendrik L. Blum menggambarkan secara singkat ringkas sebagai berikut :

 








Sumber :  Notoatmodjo (2003)

Keempat faktor tersebut (keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan) di samping berpengaruh langsung kepada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu (tidak optimal), maka status kesehatan akan tergeser ke arah di bawah optimal (Budioro, 2001).
Dalam kamus webster memberi batasan penyakit sebagai keadaan yang tidak nyaman  (discomfort), keadaan dimamna badan terganggu secara nyata, penyimpangan dari keadaan sehat, perubahan dalam badan manusia sehingga penampilan dan fungsi-fungsi vitalnya terganggu (Budioro, 2001)
Kusta merupakan suatu keadaan dimana seorang mengalami keadaan yang tidak nyaman yang ditandai dengan tanda-tanda yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya (Budioro, 2001).
Menurut dr. Budioro dalam bukunya Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat, 2001 Terdapat beberapa faktor-faktor penyebab penyakit antara lain (Budioro, 2001):
1.      Penyebab biologis : misalnya virus, bacteri, ricketsia, fungi, protozoa dan lain- lain termasuk manusia itu sendiri
2.      Penyebab nutrient : protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air
3.      Penyebab kimiawi : baik dalam bentuk badan manusia itu sendiri ( misalnya Diabetes Mellitus, Asidosis dan lain-lain) atau yang berasal dari luar (alergen, logam, gas, debu)
4.      Penyebab fisik : suhu tinggi atau rendah, kelembapan, tekanan udara dan lain-lain.
5.      Penyebab mekanik : rudapaksa, gesekan, benturan, bacokan
6.      Penyebab alamiah : proses penuaan, haid, kehamilan, persalinan dan lain-lain
7.      Penyebab kejiwaan : termasuk didalamnya yang bersifat sosial, ekonomi, budaya, spiritual dan lain-lain

1.      Kependudukan
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi (Depkes RI, 2009).
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit (Depkes RI, 10:2006).
Umur saat didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa umur saat didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi kusta. sesuai dengan penelitian Brigitte Ranque, et.al (1997), yang menyimpulkan bahwa umur saat didignosa kusta lebih dari 15 tahun merupakan faktor risiko terjadinya reaksi kusta, sedangkan umur kurang dari 15 tahun cenderung lebih sedikit mengalami reaksi kusta. Hal ini disebabkan karena dalam sistem imun anak, Th2 diduga kuat mampu mengatasi terjadinya infeksi sehingga frekuensi reaksi kusta lebih kecil terjadi pada anak. Sedangkan pada orang dewasa ketersediaan sel T memori lebih banyak dan menyebabkan frekuensi terjadinya reaksi kusta lebih tinggi dan dapat memicu reaksi silang antara antigen M. leprae dengan antigen non M. leprae seperti M. Tuberculosis (Ranque B, 2004).
Schollard D.M, et.al (1994), yang menyatakan bahwa reaksi kusta tipe I ternyata banyak dialami oleh penderita kusta masa adolesens hingga usia yang lebih tua. Reaksi kusta tipe II lebih banyak terjadi pada penderita kusta dalam masa dekade kedua kehidupannya. Hal ini disebabkan karena pengaruh endokrin yang menyebabkan perubahan imunologi pada penderita kusta (Schollard D.M, 1997).

2.      Lingkungan
Faktor lingkungan pada populasi dengan kusta merupakan faktor resiko. Populasi seseorangdengan kusta umumnya berasal dari lingkungan sanitasi tempat tinggal yang buruk. Populasi dengan kusta umumnya terkait dengan higiene sanitasi lingkungan penderita yang buruk yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi keluarga terutama pada anak. Anak sangat rentan terhadap paparan lingkungan yang kurang mendukung dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya sehingga berisiko untuk terkena penyakit infeksi dalam jangka waktu cepat maupun lambat yang tergantung pada status nutrsisi dan imunitas (Anderson, E., & Mc Farlane, J., 2004). Seseorang pada umumnya tertular kusta dari kontak dan tinggal serumah dengan penderita kusta. Muchtar (2007) menyebutkan hasil tes MLPA memberikan hasil positif 65% pada penderita kusta anak dan 34% positif pada kontak serumah.
Kusta sebagain besar diderita di daerah pemukiman kumuh, pemenuhan personal hygiene yang kurang, dan keadaan sosial ekonomi yang rendah. Pemeliharaan lingkungan rumah dan tempat tinggal penderita yang kontak langsung secara terus menerus dapat dilakukan untuk mengurangi kemunduran keadaan kusta.
Rumah sehat merupakan situasi yang ideal untuk menghindari terjadi penularan dan perkembangan penyakit kusta.  Rumah disebut sehat apabila memenuhi syarat – syarat :
                                i.            Kesehatan
Suatu rumah disebut memenuhi syarat kesehatan apabila :
Cukup hawa dan aliran udara segar, berarti mempunyai ventilasi yang cukup.
·         Kekuatan bangunan
o   Rumah dengan struktur dan kontruksi bangunan yang cukup kuat sesuai dengan keadaan setempat
o   Rumah yang menggunakan bahan yang cukup kuat, tidak mudah rapuh dan tidak khawatir dapat ambruk sewaktu – waktu.
·          Keterjangkauan
o   Secara sosial ekonomis, terjangkau oleh pemilik atau penghuni, baik ongkos / biaya sewa, membeli atau membangun.
                              ii.            Kriteria Rumah Sehat
Rumusan yang dikeluarkan oleh APHA (American Public Health Association) bahwa persyaratan rumah sehat :
a)      Harus memenuhi kebutuhan – kebutuhan physiologis
b)      Harus memenuhi kebutuhan – kebutuhan psycologis
c)      Harus terhindar dari penyakit menular
d)     Harus terhindar dari kecelakaan – kecelakaan
Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a)      Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu.