11 orang yang mecoba mengejar mimpi menjadi seorang dokter yang sukses

Wednesday, July 25, 2012

NYERI DADA


Diagnosis banding

Nyeri dada pasca operasi relatif sering dijumpai. Terpisah dari pasien yang telah menjalani pembedahan toraks, sebab-sebab yang penting untuk dipikirkan adalah infark miokard, angina, emboli paru, pneumonia, pneumotoraks, dan ruptur esofagus (pada mereka yang telah menjalani dilatasi esofagus atau muntah-muntah). 50% pasien yang diberikan suxamethonium mengalami nyeri pada dada, leher dan/atau bahu.
      Seperti pada praktek penyakit dalam, penyakit esofagus jinak (refluks asam atau spasme) lazim dijumpai dan sering diprovokasi oleh pembedahan abdomen. Kadang-kadang kondisi ini sukar dibedakan dari nyeri kardiak jika berdasarkan anamnesis.
       Sebab-sebab yang lebih jarang dari nyeri dada – diseksi aorta, perikarditis, dan nyeri alih (referred pain) dari tulang belakang jarang ditemukan dalam praktek bedah dan hanya membutuhkan sedikit bahasan.
·         Infark miokard akut (AMI) : pikirkan diagnosis ini pada setiap pasien dengan nyeri dada/rasa kencang/tertindih di bagian tengah. Ini lebih cenderung terjadi dengan riwayat IHD terdahulu atau pada kelompok risiko tinggi: diabetes, hipertensi, penyakit pembuluh darah tepi, perokok berat. Pemicu khas adalah hipotensi, hipertensi, perdarahan mayor, hipoksia dan sepsis.
·          Angina : ini biasanya jelas dari anamnesis. Pasien akan memerikan nyeri yang identik dengan angina yang biasa mereka keluhkan. Pemicu adalah sama seperti pada AMI. Perbedaan angina dari AMI adalah berdasarkan EKG dan enzim-enzim jantung.
·         Emboli paru (PE =pulmonary emboli) menyebabkan nyeri dada di tengah dengan dispnea dan hipotensi. Emboli yang lebih kecil menyebabkan infark paru, yang ditandai oleh nyeri pleuritik dan hemoptisis tetapi dispnea lebih ringan dan TD masih terjaga.
·         Pneumonia : pneumonia pasca bedah biasanya tidak menyebabkan gambaran pneumonia lobaris klasik ( nyeri dada pleuritik yang mendadak dengan dispnea dan demam). Biasanya ada dispnea dengan  demam.
·         Pneumotoraks : terjadi paling sering setelah kanulasi vena sentral atau trauma toraks. Pada situasi lain lebih cenderung pada orang muda yang tinggi, kurus, asmatis dan pasien dengan emfisema. Kadang-kadang terjadi setelah prosedur abdomen atau endoskopik toraks.
·         Ruptur esofagus : komplikasi yang mengancam jiwa pada pasien yang baru saja menjalani instrumentasi esofagus, khususnya dilatasi dari suatu striktura, atau mereka yang sudah muntah-muntah hebat. Nyeri khas lebih buruk ketika menelan. Ruptur esofagus sering diikuti oleh udara yang teraba di leher atau mediastinum pada x-foto toraks.
·         Esofagitis dan spasme esofagus: masalah-masalah ini lebih sering dijumpai pada pasca operasi pada pasien yang sudah ada riwayat penyakit ini. Penyakit baru lebih sukar didiagnosis dan mungkin IHD perlu disingkirkan terlebih dulu.
·         Diseksi aorta: dapat terjadi kebetulan pada siatuasi perioperatif, mungkin dicetuskan oleh hipertensi berat. Ciri-cirinya dalah nyeri dada berat yang tidak mereda, menjalar ke punggung, tidak membaik dengan opioid, tanpa ada bukti infark miokard akut. Manajemennya berada di luar lingkup buku ini.
·         Perikarditis : biasa dijumpai setelah kardiotomi. Namun biasanya jarang pada pasien bedah.

Prioritas dini

·         Nilai dan kelola ABC.
·         Berikan O2 pada kecepatan tinggi melalui masker wajah jika pasien tidak bernapas atau mengalami sesak hebat. Periksa saturasi O2 dengan pulse oximetry.
·         Cek sirkulasi.
·         Akses vena. Jika pasien hipotensi dan tidak ada tanda-tanda edema paru, berikan infus cepat (NaCl 0,9%, gelatin, starch) seperti disebut pada bab hipotensi. Periksa tanda-tanda perdarahan operasi.
·         Cek masuknya udara pada kedua sisi: jika didiagnosis tension pneumohotrax, lakukan dekompresi sebagaimana diuraikan pada Bab 37.
·         Sambungkan pasien ke monitor EKG.
·         Minta EKG 12-sadapan. Jangan mengandalkan pada monitor untuk diagnosis akurat.
·         Pesan X-foto toraks.
·         Setelah manajemen awal, luangkan waktu untuk anamnesis dan periksa pasien dengan seksama.

Anamnesis

Mencakup riwayat penyakit dahulu dan faktor-faktor risiko. Jika ada distres, pasien mungkin tidak bisa memberikan riwayat yang koheren. Apakah pasien mengalami nyeri serupa sebelumnya, apakah diselidiki dan apa yang terjadi? Periksa informasi yang dicatat di bagian pendaftaran.
       Biasanya nyeri kardiak bisa dibedakan dari nyeri pleuritik dan esofagus berdasarkan gambaran klinik. Walaupun demikian, setelah operasi banyak pasien memperlihatkan gejala tidak khas dan penyelidikan lanjut sering diperlukan. Tanyakan secara spesifik gejala-gejala penyerta (dispnea, hemoptisis, muntah-muntah), faktor-faktor eksaserbasi dan pereda. Urutan kejadian yang tepat yang memicu nyeri dada bisa didapat dari perawat atau dari penelusuran kartu observasi.

Pemeriksaan fisik

Nilai sirkulasi (nadi, TD, pefusi tepi, JVP), cak bising jantung baru (khas pada infark miokard yang mempengaruhi katup mitral), dan cari tanda-tanda fisik dalam dada. X-foto toraks akan membantu menegakkan diagnosis pada banyak pasien. Walaupun demikian, foto toraks pasca operasi sering abnormal, sehingga bisa mengacaukan gambaran klinik.

Pemeriksaan penunjang

·         EKG 12-sadapan: diagnostik untuk AMI pada 50% kasus pada onset. Bisa normal pada angina jika nyeri telah mereda. EKG normal selama nyeri dada hebat membantah adanya angina. Depresi ST mencolok selama angina mengindikasikan AMI yang mungkin mengancam. Aritmia dapat mencetuskan angina.
·         Gas darah arteri: kombinasi nyeri dada sentral, x-foto toraks bersih, dan hipoksia akut lebih diagnostik untuk emboli paru pada pasien pasca bedah.
·         X-foto toraks membantu diagnosis ruptur esofagus, pneumonia, pneumotoraks. Edema paru yang mungkin tidak terbukti secara klinik mungkin terlihat dengan x-foto toraks.
·         Hb : perdarahan/hemodilusi bisa merupakan pemicu untuk angina atau MI.
·         Uji saring lengkap untuk sepsis jika pireksia. Sepsis pada setiap tempat dapat mencetuskan angina atau MI pada pasien dengan IHD yang melandasi.
·         Pengukuran enzim jantung serial : diagnosis retrospektif dari AMI bisa didasarkan atas enzIm-emzim jantung, dengan riwayat nyeri dada dan perubahan gelombang ST/T pada EKG. CK dapat meninggi pada pasca bedah karena kerusakan otot: ukur fraksi MB.

Infark miokard (MI)

Diagnosis

Ditegakkan hanya pada EKG dan perubahan enzim jantung. Perkembangan blok cabang berkas kiri pada EKG yang menyertai nyeri kardiak memiliki makna diagnostik sama seperti tampilan gelombang Q.

Manajemen

·         Nyeri: atasi nyeri dengan morfin atau diamorfin iv dalam dosis  yang bisa dinaikkan setiap 2,5 mg
·         Aspirin: berikan aspirin 300 mg po atau nasogastrik (atau dengan supositoria jika tidak bisa oral.
·         CCU: pindahkan pasien ke CCU atau ICU untuk pemantauan irama.
·         Faktor pemicu: atasi setiap faktor yang mungkin telah mencetuskan infark: perdarahan, hipotensi, hipoksia, sepsis.
·         Trombolisis dikontraindikasikan dalam 4-5 hari setelah pembedahan mayor. Pada bedah saraf lebih lama. Trombolisis pada pasien pasca bedah harus diberikan dengan persetujuan dokter bedah senior.
·         Heparin  umumnya aman pada pasca bedah dan bisa diberikan jika trombolisis dikontraindikasikan.
·         Elektrolit : cek Mg2+, Ca2+ dan K+. Kelainan-kelainan elektrolit ini biasa didapatkan setelah operasi, dan merupakan predisposisi untuk aritmia.
·         Nitrat : atasi nyeri yang berlanjut dengan nitrat iv.
·         Rujukan ke ahli panyakit dalam: tim penyakit dalam harus mengambil alih masalah jantung. Jika pasien dirawat di bangsal bedah, beritahu spesialis jantung sehingga pasien bisa dirujuk untuk rehabilitasi jantung dan penyelidikan lanjut sesuai kebutuhan.
·         Arteriografi koroner dengan stenting pembuluh darah yang tersumbat mungkin bisa dikerjakan di rumah sakit spesialis.

Angina

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan AMI telah disingkirkan, dan mungkin perubahan EKG selama nyeri.
     Penyelidikan lanjut seperti treadmill testing dan arteriografi koroner umumnya tidak sesuai pada pasca bedah dini, namun angina tak-stabil dengan depresi ST yang mencolok dapat memberi firasat akan terjadi infark miokard, dan pasien-pasien ini mungkin membutuhkan arteriografi koroner selama masuk RS dengan indikasi operasi.

 

Manajemen

·         Nitrat: jika nitrat sublingual tidak segera meredakan nyeri, mulai pemberian infus nitrat: isosorbid dinitrat 0,1% ( 1 mg/ml) harus diinfus dengan kecepatan awal 2 mg/jam, dan ditingkatkan secara progresif jika nyeri menetap. TD harus dipantau setiap 30 menit selama infus nitrat: kurangi dosis jika TD sistolik turun di bawah 100 mmHg. Mungkin ini harus dilakukan di bangsal bedah normal tetapi lebih aman jika pasien dipindah ke CCU/HDU/ICU.
·         Opioid: atasi nyeri dengan morfin atau diamorfin iv dalam dosis yang ditingkatkan setiap 2,5 mg jika tidak mereda dengan nitrat.
·         Aspirin: beri aspirin 300 mg po atau nasogastrik (atau dengan supositoria jika tidak bisa oral)
·         Faktor pemicu: atasi setiap faktor yang mungkin telah mencetuskan angina: perdarahan, hipotensi, hipoksia, sepsis.
·         Rujuk ke spesialis penyakit dalam

Emboli paru (PE)

Diagnosis

·         Hipoksia:  PE adalah penyebab paling mungkin dari hipoksia akut dengan x-foto toraks bersih pada pasien pasca bedah. Obstruksi jalan napas (asma atau emfisema) harus disingkirkan.
·         EKG: inversi gelombang T lebih sering daripada pola ‘S1-Q3-T3’ .  Biasa ada takikardia.
·         X-foto toraks. Perubahan-perubahan kecil –efusi pleura kecil, atelektasis lazim didapat.
·         Scan paru: PE minor lebih sukar didiagnosis. Scan isotop paru mungkin membantu, tetapi kecuali hasilnya normal scan isotop tidak bisa menyingkirkan keberadaan PE.
·         Spiral CT : ini adalah test diagnostik terbaik untuk PE tetapi belum tersedia secara luas. Ini merupakan CT scan toraks yang bisa memvisualisasikan arteri pulmonalis lebih akurat dan lebih cepat daripada angiogram pulmonalis.
·         Arteriografi pulmonalis:  ini masih merupakan tes ‘standar emas’ untuk PE, namun memakan waktu dan merepotkan. Arteriografi pulmonalis jarang dibutuhkan pada pasien bedah.
·         Pada banyak pasien, diagnosis PE ditegakkan dengan dasar probabilitas: risiko yang berkaitan dengan pembedahan, skenario klinik dan scan paru yang konsisten dengan diagnosis.

Manajemen

·         O2 : berikan O2 aliran tinggi dengan masker. Pantau pulse oximetry.
·         Cairan: awali resusitasi cairan seperti untuk pasien hipotensi jika TD rendah. Tekanan vena yang meninggi adalah khas PE mayor dan pada situasi ini tidak menunjukkan kelebihan cairan. Diuretik berbahaya.
·         Antikoagulasi : awali heparin dan warfarin sesudahnya seperti untuk DVT (trombosis vena dalam). INR target adalah sama.
·         Trombolisis bisa dipertimbangkan pada pasien yang tak stabil, namun risiko perdarahan mayor setelah pembedahan dapat menyingkirkannya kecuali pada keadaan khusus.
·         Caval filter: Kadang-kadang antikoagulasi dikontraindikasi-kan pada pasien bedah. Jika pasien demikian terbukti memiliki tromboemboli, suatu filter sementara atau permanen dapat dimasukkan melalui kulit ke dalam vena cava inferior.
·         Embolektomi emergensi: bisa dilakukan (jarang) untuk PE yang mengancam jiwa

Pneumonia

Diagnosis

Biasanya ditegakkan dengan x-foto toraks. Demam dan sputum purulen biasanya ada. Dapat dijumpai nyeri pleuritik. Hasil lab menunjukkan infeksi (WCC, CRP) akan meninggi.

Manajemen

Rujuk ke Bab 41.

Pneumotoraks

Nyeri dada (+ dispnea) pada pasien bedah dapat disebabkan oleh pneumotoraks spontan. Lebih sering pneumotoraks pada pasien bedah disebabkan trauma atau iatrogenik. X-foto toraks biasanya bersifat diagnostik, namun pneumotoraks kecil bisa luput kecuali jika diambil foto ketika ekspirasi.  Manajemen dibahas pada Bab 41.

Ruptur esofagus

Diagnosis

Ditegakkan dengan x-foto toraks dan riwayat yang khas. X-foto toraks akan memperlihatkan cairan bersama gas. Udara sering terlihat di mediastinum dan jaringan leher. Bubur barium bersifat  diagnostik.

Manajemen

·         Puasakan pasien (nil-by mouth).
·         Akses iv dan resusitasi cairan
·         Antibiotik: gentamisin 3-5 mg/kg iv (dosis tunggal) plus metronidazol 500 mg iv setiap 8 jam plus cefotaxime 1 g iv setiap 8 jam.
·         Pembedahan : manajemen bersama ahli endoskopi untuk dilatasi. Hindari pemasangan pipa nasogastrik.

Esofagitis dan spasme esofagus

Diagnosis

·         Anamnesis: biasanya nyeri serupa dengan yang dialami sebelumnya
·         Singkirkan sebab kardiak jika ragu.
·         Ex juvantibus dengan antasid dikenal dan aman
·         Dapat diperberat oleh AINS.

Manajemen

·         Supresi asam : biasanya terbaik dengan penghambat pompa proton (misal lansoprazol 30 mg, omeprazol 20 mg). Jika puasa, pantoprazol 40 mg iv (lambat) atau ranitidin 50 mg tds iv.
·         Prokinetik : metoklopramid atau cisapride (hindari bersama eritromisin) keduanya berguna.

Bacaan lanjut

Goldhaber SZ (1998). Pulmonary embolism. New England Journal of Medicine 339:93-104.