Pendahuluan
Secara
fisiologik dua minggu setelah terjadinya fertilisasi, konseptus akan
mensisntesis dan mengsekresikan
hormone hCG (hormone chorionic gonadotropi) yang akan memelihara aktivitas
progestogenik dari Corpus luteum; dan dalam 2-3 minggu berikutnya konseptus juga
akan mensintesis semua hormon steroid
yang diperlukan untuk kehamilan.
Meskipun corpus luteum tetap aktip selama
kehamilan, fungsinya sangat menurun setelah kehamilan 4-5 minggu dan dalam
pengeluaran progesteron total fungsinya menjadi tidak signifikan. Namun
demikian masih didapatkan kadar progesteron dalam darah yang tinggi pada wanita
hamil oleh karena adanya sekresi progesteron yang exklusif dari komponen extra
embrionaldari konseptus. Hal ini
ditunjukkan pada kehamilan yang patologk , misalnya pada mola hydatidosa,
meskipun tanpa adanya jaringan embrional masih terdapat progesteron walaupun kadarnya sedikit lebih rendah
dibanding pada kehamilan normal. Penelitian klinik menunjukkan bahwa pada
pasien-pasien yang telah diangkat ovariumnya pada kehamilan awal oleh karena
sebab tertentu menunjukkan bahwa placenta mampu mensintesis progesteron yang
cukup untuk menyokong kehamilan 5-6 minggu. Tampaknya trofoblas sendiri juga
merupakan sumber penghasil progesteron.
Sekresi progesteron pada
akhir kehamilan mencapai 200 mg/hari dan konsentrasinya dalam darah meningkat.
Meningkatnya konsentrasi progesteron tersebut
berkaitan dengan kenaikan transcortin sampai 3 kalinya sehingga akan
meningkatkan proporsi progesteron yang terikat dalam plasma darah. Sedang
kenaikan transcortin sendiri dipicu oleh efek langsung estrogen di hepar.
Akibat kenaikan transcortin juga akan menyebabkan terjadinya kenaikan kadar
kortisol dalam kehamilan.
Pada kehamilan normal
terdapat periode plateau (luteal-placental shift) yaitu sedikit
penurunan konsentrasi progesteron dalam darah pada kehamilan 6-9 minggu.
Keadaan plateau tersebut disebabkan
oleh karena turunnya kadar 17α-hydroxy progesterone
yaitu pgesteron yang dihasilkan oleh ovarium digantikan dengan progesteron yang
dihasilkan oleh plasenta. Maka dari itu setelah kehamilan 6-9 minggu placenta
akan mengambil alih dukungan utama progestogenik dalam kehamilan ( Rosenfield
and Fathala, 1990).
Pregnenolone dan
progesteron melalui plecenta masuk dalam sirkulasi darah ibu sehingga konsentrasinya
dalam pembuluh darah tali pusat fetus dan ibu
meningkat.
Hasil metabolit utama
dari progesteron adalah pregnandiol, namun demikian pemeriksaan kadar
prenandiol pada urine wanita hamil tidak dapat dipakai sebagai indikator untuk
menunjukkan kesehatan janin oleh karena janin sendiri tidak berperan dalam
sintesis progesteron.
Konseptus tidak hanya
mensekresi progesteron selama kehamilan, tetapi juga mensekresi estrogen dalam
kadar yang tinggi, namun demikian estrogen pada kehamilan bukanlah dalam bentuk
estradiol 17β tetapi dalam bentuk estriol yaitu sutau estrogen yang potensinya
lemah.
Implantasi
Proses
implantasi blastokis dalam endometrium menyangkut serangkaian kejadian yang
kompleks. Implantasi membutuhkan perkembangan konseptus yang sinkron dengan
reseptivitas uterus, dimulai dengan aposisi, adesi dan invasi yang diikuti
dengan transformasi endometrium ke jaringan disidua, sampai terbentuknya
placenta yang sempurna. Proses implantasi tersebut merupakan kejadian yang
paling kritis dalam pertumbuhan kehamilan.
Aposisi
merupakan fase orientasi blastokis dalam rongga uterus, sedang adesi merupakan
suatu fenomena yang progresif untuk
melekatkan embrio pada endometrium dan merupakan permulaan terjadinya hubungan
embrio-maternal yang diatur oleh sitokin (CFS-1, LIF dan IL-1) dan molekul-2
adesi (Cross et al, 1994). Invasi merupakan proses penetrasi yang dalam dari
trfoblas embrional kedalam desidua maternal dan arteria spirales endometrium
(Blankenship et al, 1993).
Pada manusia
diperkirakan antara 30-70% konseptus atau hasil konsepsi hilang sebelum atau
saat terjadinya implantasi tanpa wanita menyadari bahwa dirinya sudah hamil. Konseptus
yang hilang tersebut 50% disebabkan oleh karena terjadinya defect genetik pada sedangkan yang 50% lagi tidak diketahui sebabnya (Kenedy, 1997).
Sebagian besar
pengetahuan tentang fisiologi implantasi didapat dari penelitian yang dilakukan
pada hewan karena apabila dilakukan pada
manusia dianggap tidak etis; akibatnya sangat sulit untuk mengetahui apakah hasil
penelitian yang didapat dari hewan tersebut dapat diekstrapolasikan pada
manusia.
Pada berbagai
macam spesies telah dibuktikan bahwa kebutuhan sinkronisasi antara perkembangan
embrional dan perkembangan endometrium diperlukan. Untuk keberhasilan implantasi,
interaksi atau sinkronisasi antara embrio dan endometrium telah dimulai pada
saat embrio dan endometrium mencapai perkembangan pada stadium yang optimal
yaitu embrio pada stadium blastokist dan
endometrium pada stadium reseptivitas. Pada penelitian-penelitian binatang yang
dilakukan percobaan embrio transfer menunjukkan secara jelas bahwa angka
implantasi tertinggi didapatkan bila siklus reproduksi dari embrio donor
sinkron dengan siklus penerima.
Sinkronisasi uterus
dan blastokis dapat dicapai melalui pengaruh hormon ovarium progesteron dan
estrogen. Progesteron akan memacu terjadinya ”pre-reseptive stage” yang responsif terhadap estrogen. Dalam
uterus, estrogen atau estradiol akan terikat pada reseptornya dan menyebabkan
terjadinya reseptivitas uterus. Hal tersebut akan menjadi pendorong uterus
untuk memproduksi growth factors seperti
epidermal growth factors (EGF), heparin-binding EGF (HB-EGF), dan leukemia
inhibiting factor (LIF). Protein-protein tersebut dengan pengaruh hoxa-10
akan menyebabkan ekspresi ensim-ensim cyclo-oxigenase (COX enzym) yaitu enzym utama yang mensintesa prostaglandin.
Enzym COX-2 tampaknya sangat penting perannya
pada proses implantasi tersebut oleh karena pada percobaan tikus bila
didapatkan defect enzym COX-2 endometrium tidak dapat menerima
embrio, sehingga prostaglandin (terutama prostacyclin) sangat penting perannya
untuk mendukung kemampuan uterus menerima blastokist meskipun mekanismenya
belum diketahui dengan jelas (Gilbert, 2003).
HB-EGF diduga amat penting perannya dalam proses implantasi karena hanya disekresi
oleh sel-sel pada tempat-2 tertentu yaitu pada tempat yang potensial untuk terjadinya blastocyst
attachement pada tikus yaitu pada permukaan epitel rongga uterus. HB-EGF mampu untuk menstimulir
pertumbuhan trophoblas dan daerah perlekatan blastokis (zona hatching of blasocyst) (Martin et al, 1998).
Aktivitas
blastokis juga dipicu oleh estrogen dari ovarium meskipun tidak secara
langsung. Estrogen dimetabolisir dalam uterus menjadi 4-hydroxyestradiol-17β (catecholestrogen). Catecholestrogen tersebut yang membuat endometrium menjadi kompeten
untuk terjadinya implantasi, diduga dengan menginduksi expresi molekul sel
adesi ( cell adhesion molecules) dan reseptor-receptor growth factor pada permukaan selnya (Paria
et al, 1998).
Trofoblas dari blastokis
memproduksi interleukin-1b. Jaringan
uterus mengadung reseptor-reseptor untuk growth
factor tersebut dan IL-1 diperlukan untuk memelihara uterus dalam stadium yang
mampu menerima embrio (uterine
receptivity). Bila tidak didapatkan reseptor IL-1 atau reseptor IL-1 tidak
berfungsi maka tidak akan terjadi adesi antara uterus dan trofoblas.
Progesteron
Progesterone adalah
hormon steroid yang paling penting pada proses implantasi embryo manusia sampai
berfungsinya placenta, sementara estrogen berperan sebagai faktor pendukung,
bukan merupakan faktor yang esensial (Chek, 2002). Maka dari itu pada terapi
dukungan fase luteal (luteal phase
support) untuk stimulasi ovarium, progesterone sering digunakan sebagai
preparat tersendiri tanpa estrogen. Pendekatan tersebut tidak dapat menunjukkan
peran yang petensial dari estrogen pada periode pre-implantasi. Pada studi yang
dilakukan oleh Sharana dan McClamockn
(1999) menunjukkan pentingnya estradiol dalam fase luteal pada outcome kehamilan. Turunnya kadar estradiol pada pertengahan fase
luteal setelah stimulasi GnRH-a/HMG
menunjukkan peningkatan kejadian abortus
(pregnancy losses) dan rendahnya
angka implantasi. Maka dari itu masih diperlukan penelitian lebih lanjut tentang
manfaat suplementasi estradiol pada fase luteal.
Pada wanita hamil telah
terjadi perubahan hormonal yang sangat signifikan, ditunjukkan dengan kenaikan
kadar estradiol dan progesteron segara terjadinya fertilisasi dan implantasi.
Kenaikan kadar estradiol dalam kehamilan akan menyebebkan terjadinya hipertrofi
uterus dan perkembangan placenta serta fetus. Sedang kenaikan kadar
progesrteron sangat penting dalam
proses adesi dan implantasi pada awal kehamilan serta mencegah laktasi dan
kontraksi myometrial pada kehamilan.
Kehamilan juga
mempengaruhi proses hemostasis, menyebabkan meningkatnya proses coagulasi darah
(haemoconcentration) yang ditunjukkan
dengan meningkatnya kadar fibrinogen dan antigen faktor VII, serta meningkatkan
aktivitas protein C-resistance
(APC-resistance).
Hemostasis dalam
kehamilan diduga disebabkan oleh karena terjadinya gangguan keseimbangan antara
proses implantasi dan pembentukan placenta. Mekanisme kehamilan dapat memicu
perubahan hormonal sehingga berefek pada proses hemostatis belum jelas. Salah
satu kemungkinannya adalah bahwa dalam kehamilan terjadi perubahan-perubahan
faktor coagulasi yang disebabkan oleh karena estrogen, seperti halnya pada
wanita-2 yang menggunakan pil kontrasepsi atau pil sulih hormon pada menopause.
Pada kasus-2 dengan
abortus spontan didapatkan kadar estrogen, progesteron, fibrinogen
dan antigen faktor VII rendah dibandingan dengan kontrol, namun demikian
hubungan antara faktor-2 coagulasi dengan abortus spontan menurun setelah di-just dengan progesteron. Hal ini
membuktiokan bahwa progesteron menjadi modulator hubungan antara konsentrasi
yang rendah dari faktor-2 coagulasi dengan abortus spontan, sehingga
progesteron tampaknya menjadi marker
utama untuk terjadinya abortus spontan pada wanita ( Nelson et al, 2002).
Luteal
phase defect (LPD)
Luteal phase defect (LPD) atau luteal phase insufficiency (LPI) dapat
disebabkan oleh salah satu atau beberapa hal berikut : 1). Terjadinya
konsentrasi suprafisiologik dari estradiol sebagai akibat dari maturasi
multifolikuler. 2). Konsentrasi progesteron suprafisiologik segera setelah
ovulasi sebagai akibat dari corpus luteum
yang multiple. 3). Terjadinya supresi pada sekresi LH endogen pada fase luteal
sebagai akibat dari supresi glandula hipofise melalui pemakaian GnRH agonist
(Ludwig and Diedrich, 2001).
Pemberian
estrogen dosis tinggi setelah hubungan sexual dikenal sebagai metode
kontrasepsi yang baik, apalagi kalau ditambahkan progestogen, yang disebut
dengan “morning after pill” atau “emergency contraception”. Mekanisme
kerjanya tidak jelas, tetapi diduga mempengaruhi corpus luteum yang menyebabkan terjadinya defect fase luteal. Pada manusia telah terbukti bahwa pemakaian ethinylestradiol dapat menurunkan kadar
progesteron dan memendekkan fase luteal. Meskipun mekanisnya belum jelas
kemungkinan tersbesar terjadinya defect fase luteal adalah sebagai akibat
terganggunya fungsi glandula pituitari yang disebabkan oleh naiknya konsentrasi
serum estradiol setelah stimulasi ovarium sebagai akibat maturasi multifolikuler.
Ada dua macam LPD, pada tipe pertama berhubungan dengan keluarnya oosit
sebelum folikel masak yang akan memberikan respon baik terhadap terapi follicle maturing drug (FMD) (clomiphen
citrate atau gonadotropin) untuk proses konsepsi, namun demikian tidak sepenuhnya
dapat memperbaiki problema , sehingga ancaman terjadinya abortus dapat terjadi kecuali kalau diberikan
dukungan dengan pemberian progesteron.
Tipe kedua adalah bila folikel masak , sehingga FMD tidak efektip dan terapi yang baik adalah hanya
suplementasi progesteron. ( (Check, 2002). Ada kemungkinan bahwa defect fase luteal sebagai akibat dari
keluarnya telur dari folikel yang belum masak (tipe satu) disebabkan oleh
karena rendahnya kadar progesteron pada pertengahan fase luteal, maka dari itu
pada folikel yang matur perlu dilakukan biopsi endometrial untuk menegakkan
diagnosanya.
Pada
saat “down regulated cycle” dari
glandula pituitaria, secara bersamaan terjadi pula penurunan kadar hormon
steroid. Penurunan yang tiba-2 dari hormon steroid tersebut dapat mengganggu
reseptivitas endometrium dan proses implantasi. Namun demikian kemungkinan lain
dapat pula disebabkqn oleh karena terjadinya invasi trofoblas yang prematur.
Invasi trofoblas yang prematur setelah
control ovarian hyperstimulation (COH) dan transfer embrio (IVF-ET)
tersebut ditunnjukkan melalui deteksi progesteron
–induced blocking factor (PIBF). PIBF yang positip berkaitan dengan negative preganany out come. Maka dari itu diperlukan dukungan fase luteal
pada program IVF.
Dukungan fase luteal (luteal phase suipport)
Pada akhir-akhir ini pemakaian hormon steroid
dalam tehnologi reproduksi modern digunakan terutama untuk menstimulasi siklus
endometrium dan mendukung fase luteal (luteal
phase support) pada program fertilisasi invitro. Dukungan fase luteal
adalah suatu terminologi yang dipakai untuk pemberian hormon pada fase kedua
dari stimulasi ovarium pada program tehnologi reproduksi bantuan (asssisted reproductive technology).
Obat yang dipakai umumnya adalah progesteron, estrogen dan human chorionic gonadotrophin (hCG). Pemberian progesteron and
estrogen cukup efektif sedang hCG dipakai untuk menstimulasi expresi hormon-2
tersebut di corpus luteum. Meskipun
peran estrogen pada fase folikuler telah diketahui dengan baik tetapi efek
pemberian estrogen pada fase luteal pada manuasia masih kontroversial.
Pemberian estrogen pada fase luteal akan menekan sekresi progesteron endogen
dari corpus luteum sehingga tidak
berguna pada proses implantasi (Tay and
Lenton, 2003).
Pada dekade akhir-2 ini
perhatian terhadap mekanisme jalannya obat dalam tubuh manusia meningkat sehubungan
dengan kebutuhan dosis yang optimal. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan efek
terapetik dan meminimalkan efek samping yang mungkin terjadi akibat pemberian obat.
”The first uterine pass effect” adalah suatu konsep pemberian obat intra vaginal yang ditujukan langsung ke
uterus, sehingga konsentrasinya tinggi didalam uterus dan absorsi sistemiknya
sangat kecil, sehingga konsentrasinya dalam plasma darah rendah dan efek
sampingnya juga rendah (De ziegler et al 1992).
Pemakaian progesteron
alami sangat terbatas pada manusia, bila diberikan secara oral absorbsinya
rendah karena akan mengalami metabolisme yang cepat di hepar (first-pass liver metabolism) dan secara
farmakokinetik akan menyebabkan degradasi progesteron pada penurunan metabolit 5α dan 5β. Dukungan progesteron pada
program IVF sangat diperlukan. Meskipun pemberian intravaginal dan
intramuskuler “pregnancy rates are comparable” , pada pemberian intramuskuler
kadar progesteron dalam plasma darah meningkat tajam, selain itu suntikan intra
muskuler progesteron sering menimbulkan rasa sakit dan reaksi lokal , sehingga wanita lebih
menyukai pemberian intravaginal (Penzias, 2002).
Untuk mengatasi bio-availabilitas
oral yang rendah dari progesteron alami tersebut diciptakan berbagai jenis
progesteron sintetis dalam bentuk “micronized
progesterone”. Dengan pemberian micronized
progeterone intravaginalis (uterine
first-pass effect) dapat
meningkatkan kadar hormon progesteron intrauterina 10 kali lebih tinggi dan
konsentrasinya dalam plasma darah 7 kali lebih rendah dibanding dengan
pemberian secara sistemik,. (De Ziegler et al, 1992, Balasch et al, 1996,
Bulleti et al, 1997,). Pemberian progesteron intravaginal secara profilaktis
akan menurunkan kontraksi uterus dan
angka persalinan prematur pada wanita dengan resiko tinggi untuk terjadinya
persalinan prematur ( ACOC Committee, 2003, Da Fonseca et al, 2003). Oleh
karena progesteron sama efektifnya dengan hCG untuk mendukung fase luteal dan
selain itu rendahnya kemungkinan terjadinya efek over hyperstimulation syndrome (OHSS) serta pemberian intravaginal
juga sama efektifnya dengan pemberian secara intramuskuler, maka pemberian
progesterone intravaginal dapat dijadikan standar untuk mendukung fase luteal (luteal phase support) pada program
fertilisasi invitro (Ludwig and Diedrich, 2001).
Kesimpulan :
- Pada prinsipnya dukungan fase luteal (luteal phase support ) diperlukan untuk optimalisasi hasil
dari program IVF.
- Dukungan fase sosial dengan hCG tidak lebih baik dibanding dengan
progesteron
- Suplementasi hCG pada pemberian progesteron tidak memberikan
keuntungan pada dukungan fase luteal.
- Dibanding dengan progesteron, pemakaian hCG untuk dukungan fase luteal
akan lebih meningkatkan terjadinya sindroma hiperstimulasi ovarium serta
komplikasinya..
- Pemakaian estradiol untuk dukungan fase luteal mungkin tidak
bermanfaat, dan masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
- Pemakaian progesteron oralis efeknya lebih rendah dibanding dengan
pemberian secara intra muskuler dan intra vaginal.
- Meskipun belum didapatkan studi perbandingan langsung antara
keuntungan dan kerugian pemberian progesteron intra muskuler dan intra
vagina, tetapi tidak ada alasan untuk mengharapkan kerugian pada pemberian
progesteron intra vaginal..
Referensi :
1. Balasch
J., Fabregues F., Ordi J., Crues M., Penarrubia J., Casamitjana R., Manau D.,
and Vanrell JA., Further data favoring the
hypothesis of uterine first-pass effect of vaginally administered micronized
progesterone, Gynecol. Endocrinol.
10: 421-26, 1996.
2. Bulleti C., De Zeigler D., Flamigni C.,
Giacomucci E., Polli V., Bolelli G., and Francesschetti F., Targeted drug
delivery in gynecology: the first uterine pass effect, Human Reprod., Vol.12, 5: 1073-79, 1997.
3. Check JH.,
Progesterone therapy versus follicle maturing drugs-possible opposite
effects on embryo implantation, Clin Exp
Obstet Gynecol, ISSN 0390-6663, XXIX, n.1, 2002.
4. Committee opinion. , Use of progesterone to
reduce preterm birth, ACOC committe on
Obstet. Practice. Vol 102, 5:1115-6, 2003.
5. Da Fonseca EB., Bittar RE., Carvalho MHB., and
Zugaib M., Prophylactic administration of progesterone by vaginal suppository
to reduce the incidence os spontaneous preterm birth in women at increased risk
: a Randomized placebo-controlled double-blind study, Am.J Obstet Gynecol , 188:419-24, 2003.
6. De Ziegler D., Bulleti C., De Mons tier B., and
Jaaskelainen AS., The first uterine effect, Suplied
by the British Library-“The world’s knowledge.
7. Gilbert FS., Implantation, Dev.Bio, 7th ed.: 1-9, 2003.
8. Kennedy TG.,
Physiol0gy of Implantation., Infitro
Fertil and assisted Reprod., 10th world Cong., 1997.
9. Ludwig M., and Diedrich K., Evaluation of
optimal luteal phsase phase support protocol in IVF, Acta Obstet Gynecol Scand, 80:452-=66, 2001.
10. Ludwig M., Finas A., Katalinic A., Strik
D.,Kowalcek I., Schwartz P., Felberbaum R., Kopker W., Schopper B., Al Hasani
S., and Diedrich K., Prospective, randomized study to evaluate thr success
rates using hCG, vaginal progesterone or a combination of both for luteal phase
support, Acta Obstet Gynecol Scad,
80: 574-82, 2001.
11. Martin KL., Barlow DH., and Sargent IL.,
Heparin-binding epidermal growt factor significantly improves human blastocyst
development and hatching in serum-free medium.Human Reprod. 13:1645-52 , 1998.
12. Nelson DB., Ness RB., Grisso JA.,and Cushman
M., Sex hormone, hemostasis and early pregnancy loss, Arch.Gynecol.Obstet., 267: 7-10, 2002..
13. Paria, BC., Lim., Das SK., Reese J., and Dey
SK., Moleculer signaling in uterine receptivity for implantation. Semin. Cell Devel.Bio. 11:67-76, 2000.
14. Penzias AS., Luteal phase support,
Fertil. Steril. , vol.27, 2: 318-23, 2002.
15. Rosenfield A.,and Fathala MF., Reprod physiol:
Menstruation and transport of the ovum, fertilization, implantation, pregnancy
and lactation, The FIGO manual of huma
reprod, 1:70-89, 1990.
16. Tay PYS., and Lenton EA., Inhibition of
progesterone secretion by oestradiol administration in the luteal phase of
assisted conception cycles, Med J
Malaysia, Vol 58, 2:187-195, 2003.
1 comment:
but hold in head, though, that the theme of blogging for fun is to just
now let yourself publish freely roughly anything gorgeous too, so I had a go at recreating it.
Also visit my page :: click here
Post a Comment